Risiko Aktivitas Sekolah di Tengah Pandemi

Oleh :
Setyati Rahayu, SE
Pendidik di SMAN 1 Baureno Bojonegoro

Pemerintah melalui Kemendibud telah memutuskan tahun ajaran baru tahun 2020/2021 bagi anak sekolah dimulai 13 Juli 2020 lalu. Ditengah pandemi korona dan perkembangan jumlah kasus yang terus merangkak naik. Data terakhir kasus anak di Jawa Timur yang terkonfirmasi positif Covid-19 sejumlah kisaran 700 kasus. Kondisi ini merupakan alarm bagi kesehatan dan keselamatan anak. Mengapa anak menjadi salah satu prioritas atensi para pihak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) maupun aktivitas pemerhati anak lain. Korona telah mengubah sikap dan perilaku termasuk sistem pendidikan dan pengajaran di tanah air. Pihak Kemendikbud terus berpikir keras, memutar otak, berinovasi dan mencari terobosan bagaimana sistem pendidikan, proses belajar mengajar tetap berlangsung dalam kondisi darurat kesehatan seperti pandemi korona. Pembuat kebijakan pendidikan dituntut untuk merekontruksi sistem belajar mengajar jarak jauh melalui sistem daring/ online atau tanpa tatap muka.

Pada awal kasus ini proses belajar mengajar melalui media online, meski terjadi gegar teknologi dan hambatan lain seperti biaya pulsa internet naik, jaringan yang tidak stabil dan merata, ketersediaan gadget, peralatan PC dan laptop setiap siswa hingga beban anak didik yang kian berat sehingga berdampak dari sisi perkembangan psikologis tentu menjadi catatan, apalagi sudah hampir tiga bulan anak-anak harus terkungkung di rumah (stay at home) yang tidak mudah untuk memberikan ruang belajar sekaligus bermain ketika di rumah saja. Sejumlah anak dan orang tua juga tak luput dilanda rasa jenuh (boring). Kondisi ini dapat dipahami mengingat karakteristik manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi dalam berbagai bentuk hubungan antar individu dan berkelompok. Gambaran aktivitas diatas merupakan langkah awal sebagai bentuk manifestasi implementasi belajar mengajar tetap berlangsung meski dalam kondisi bencana.

Metode tatap muka dan interaksi langsung di sekolah tentu berdampak pada potensi penularan virus corona. Dunia anak terutama masa pendidikan dasar, mulai PAUD, TK, setingkat Sekolah Dasar hingga setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama merupakan kelompok yang paling rentan, mengingat pola pikir dan pemahaman usia mereka masih belum sepenuhnya mengerti, memahami dan mengimplementasikan protokol kesehatan seperti jaga jarak (social, phisycal distancing), cuci tangan pakai sabun, cek suhu tubuh, membuka ventilasi ruangan, penggunaan hand sanitizer – desinfektan dan penggunaan masker secara benar. Selain itu sepanjang aktivitas bersekolah mulai dari berangkat dari rumah hingga kembali ke rumah. Setidaknya ada beberapa titik kritis yang kemungkinan sulit dikontrol atau diawasi oleh sekolah yang dikawatirkan terjadi klaster penularan baru antara lain pertama, kala berangkat ke sekolah. Sejak anak berangkat ke sekolah selama perjalanan termasuk jika menggunakan kendaraan umum tentu sangat riskan tertular. Mulai pengemudi dan interaksi penumpang lain.

Kedua, selama di lingkungan sekolah. Jumlah anak dibanding jumlah guru tentu tidak selalu mengawasi tingkah laku setiap anak, apalagi secara karakteristik insting berkelompok, bergerombol diyakini akan terjadi. Tidak ada yang dapat menjamin anak-anak tidak berinteraksi secara berkelompok dan bergerombol satu sama lain. Kondisi ini tak dapat dihindari, meski sebelum masuk halaman sekolah dilakukan cek suhu. Ketiga, meski sekalipun daerah termasuk katagori hijau namun mobilitas orang tua maupun anggota keluarga lain memiliki akivitas di luar daerah, bekerja atau aktivitas yang dilakukan di daerah yang berrisiko tentu akan menjadi potensi penularan anak di rumah yang pada akhirnya secara tak langsung juga menjadi sumber penularan. Selain itu infrastruktur yang belum memadai di lingkungan sekolah juga merupakan kendala serta dibutuhkan pengawasan sekolah secara ketat termasuk keberadaan kantin sekolah, ketersediaan sarana cuci tangan yang memadai, akses air bersih hingga arena bermain dan aktivitas belajar mengajar lainnya.

Meski demikian tahun ajaran baru dapat berjalan sesuai dengan rencana namun untuk masa masuk sekolah sangat berrisiko terjadinya penularan secara masif. Secara kajian kesehatan, aspek kesehatan usia anak identik dengan aspek keselamatan dan menyangkut urusan “nyawa” anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Dapat dibayangkan bila terjadi satu dua kasus tentu hampir dapat dipastikan akan menular sangat cepat apalagi sistem imunitas anak cenderung masih belum optimal termasuk para pendidik dan orang tua serta ditambah lagi risiko potensi penularan melalui jalur transportasi umum misalnya. Oleh karena itu sangat wajar bila orang tua was-was dan kawatir bila masih dalam kondisi pandemi anak-anak masuk sekolah.

Prasyarat bila dimungkinkan masuk sekolah harus mengacu pada indikator-indikator kajian epidemiologi antara lain, pertama adalah angka penularan sudah nol (zero tolerance) atau disebut zero rate transmitions dan rate reproductive efective. Meski wilayah tersebut merupakan zona hijau namun tidak menjamin bahwa tidak ada potensi penularan virus mengingat saat ini pergerakan atau mobilitas masyarakat antar daerah sangat tinggi sehingga perlu tingkat kewaspadaan tinggi. Kedua, selama 14 hari terjadi penurunan kasus secara berturut-turut dan konsisten. Hal ini dikarenakan masa inkubasi virus dalam rentang waktu 14 hari sesuai standar WHO. Berbagai wacana digulirkan agar bagaimana proses belajar mengajar di sekolah tetap berjalan dari pembagian shift masuk, pembagian pengaturan jarak tempat duduk, hingga pembagian waktu pembelajaran dengan protokol kesehatan ketat namun secara realitas kesehatan anak sekolah akan sulit menjamin terhindar dari ancaman penularan monster virus Covid-19. Kewaspadaan dan prinsip kehati-hatian merupakan langkah yang harus dikedepankan dalam upaya memutus mata rantai penularan sebelum keberadaan vaksin ditemukan.

———– *** ———-

Tags: