Ritual Nyadran Desa Candirejo Kabupaten Nganjuk Menghormati Pu Sindok

Warga Desa Candirejo Kecamatan Loceret, berbondong-bondong mendatangi kompleks Candi Lor untuk mengadakan ritual nyadran untuk mengenang jasa Pu Sindok.(ristika/bhirawa)

Nganjuk, Bhirawa
Kepulan asap dupa serta tebaran bunga tujuh rupa memberikan naunsa masa lalu di lokasi Candi Lor yang berada Desa Candirejo Kecamatan Loceret. Bertepatan pasaran Pon, bulan Ruwah penanggalan Jawa, warga warga desa setempat selalu melakukan ritual nyadran di Candi peninggalan Pu Sindok.
Tradisi nyadran di Desa Candirejo hingga kini masih terus terjaga. Hal tersebut nampak dalam perayaan nyadranan yang dilaksanakan sebagai tradisi tahunan tersebut berlangsung sederhana.
Kepala Desa Candirejo, Ronny Giat Brahmanto, tradisi Sadranan sebagai simbol kerukunan masyarakat desa setempat. “Tradisi Sadranan di desa Kalongan berlangsung setiap Ruwah sebelum datangnya bulan Ramadan,” kata Ronny.
Meski sederhana, namun pelaksanaan tradisi tersebut cukup khidmat. Ratusan warga tumpah ruah dalam kegiatan yang dipusatkan di pemakaman umum desa setempat. Semua usia, baik tua muda, laki-laki dan perempuan berkumpul di area Candi Lor.
“Sehari sebelum nyadran, warga sudah bergotong-royong membersihkan lahan di sekitar area candi untuk pelaksanaan acara ini,” katanya.
Upacara bersih desa dengan ritual selamatan berupa sesaji serta puluhan nasi buceng di kompleks Candi Lor ini bertujuan menghormati jasa cikal-bakal seorang tokoh yang membuka Desa Candirejo pertama kali.
Menurutnya, tradisi sadran merupakan salah satu media efektif untuk warga dapat berkumpul dan bersilaturahmi. “Karena yang biasanya malas kumpulan pun, kalau nyadran pasti datang hadir. Yang mangkel-mengkel pun akhirnya ketemu di sini, makan bareng berdoa bareng,” katanya.
Setiap keluarga yang datang membawa makanan berupa nasi dan aneka jajanan. Selain itu mereka membawa makanan berupa lauk pauk serta ayam panggang. Selain makanan, warga juga membawa bunga untuk keperluan nyekar dan uang sedekah yang dikumpulkan untuk menyiapkan ubo rampe dan biaya pemeliharaan makam.
“Masakan khasnya adalah setiap orang membawa ayam panggang satu ekor utuh,” ujarnya.
Kemudian Ronny menceritakan kisah turun-temurun tentang cikal bakal Desa Candirejo, dimana seorang tokoh yang pertama kali membabat tanah Desa Candirejo adalah Pu Sindok, yaitu seorang Raja Medang keturuan Raja Mataram Kuna dari Jawa Tengah. Pada abad ke-X, Pu Sindok bersama pengikutnya sempat tiba di Desa Candirejo. Saat itu masih bernama Kakatikan Sri Jayamerta.
Pu Sindok bersama pengikutnya dikejar-kejar oleh prajurit Swarna Dwipa Sriwijaya bersama sekutunya, yaitu Raja Wura-wari dari Luwaram. Sampai di Kakatikan Sri Jayamerta, Pu Sindok dibantu oleh Samgat Pu Sindok bersama rakyat sipil Sri Jayamerta berhasil mengalahkan prajurit dari tanah Melayu tersebut.
Atas jasanya mengalahkan musuh, rakyat Sri Jayamerta mendapat anugerah dari Pu Sindok, sebagai Sima Swatantra, bebas dari membayar pajak. Pemberian hak swatantra iitu ditulis pada sebuah prasasti yang dikenal dengan sebutan prasasti Candi Lor berangka tahun 937 Masehi, 10 April.
Selain membangun sebuah prasasti yang disebut Jayastambha atau tugu kemenangan itu, Pu Sindok juga memerintahkan untuk membangun sebuah bangunan tempat suci sebagai persembahan kepada Sang Hyang Prasadha di Kakatikan Sri Jayamerta. Bangunan suci berupa candi bata itu dikenal dengan sebutan Candi Lor.
“Nyadran atau bersih desa ini dilaksanakan setiap tahun, untuk menghormati cikal-bakal yang membabat desa Candirejo dan sekitarnya ini, dengan cara selamatan di kompleks Candi Lor,” terang Ronny.
Candi Lor sendiri adalah sebuah bangunan berupa reruntuhan puing-puing batu bata yang diperkirakan sebagai peninggalan Raja Medang Pu Sindok. Bangunan yang dikenal sebagai Candi Lor itu diperkirakan dibangun pada abad ke X, diatas tanah sawah Kakatikan Sri Jayamerta dan merupakan bangunan suci sebagai pemujaan bhatara umat Hindu.
Sesuai tugu prasasti bernama Jayastambha, yaitu sebuah tugu simbol kemenangan. Pada tugu Jayastambha itu menceritakan tentang pemberian anugerah Raja Pu Sindok atas dharma Samgat Pu Anjukladang, karena tanah sawah Kakatikan Sri Jayamerta dengan luas 6 lamwit miliknya, diwakafkan sebagai bangunan suci untuk pemujaan bhatara di Sang Hyang Prasada. Sehingga tanah sawah kakatikan tersebut ditetapkan sebagai sima swatantra, terbebas dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Sedangkan pajak yang didapat, selanjutnya dibagi tiga, satu bagian untuk bangunan suci, satu bagian untuk punta jataka – petugas yang merawat sima, dan satu bagian untuk pengumpul pajak.(ris)

Tags: