Riuh e-KTP WNA

Wajib memiliki e-KTP untuk WNA (Warga Negara Asing) riuh menjadi “komoditas” politik. Namun dipastikan WNA tidak memiliki hak politik (mencoblos) dalam pemilu legislatif maupun pilpres. Juga tidak dapat dipilih menduduki jabatan publik dalam pemerintahan. Termasuk tidak dapat menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Juga tidak bisa diangkat menjadi anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) maupun Polri.
Pemerintah memiliki kewajiban mendata seluruh penduduk Indonesia, tak terkecuali WNA. UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Perubahan terhadap UU Nomor 23 tahun 2006), memberi definisi tentang “penduduk.” Pada pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-2, dinyatakan, “Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”Sehingga orang asing memiliki Kartu Tanda Penduduk (e-KTP).
Secara tekstual, kewajban WNA memiliki e-KTP juga diatur dalam UU Kependudukan tahun 2013. Pada lasal 63 ayat (1), dinyatakan, “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.”Maka, setiap WNA yang telah memenuhi syarat, wajib memiliki e-KTP. Jika dilanggar akan dihukum.
e-KTP untuk WNA hampir tidak beda dengan milik WNI. Termasuk memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan). Bedanya hanya pada kolom “Kewarganegaraan.”Serta tidak berlaku seumur hidup, karena disesuaikan dengan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP). Menjadi riuh, bermula di Cianjur kasus. Seorang WNA NIK-nya tercantum dalam DPT Pemilu 2019, kelurahan Muka.
Ternyata, terjadi kesalahan pengetikan entry data. NIK milik WNA tertukar dengan milik WNI yang tinggal di kelurahan berbeda. Sehingga WNI yang tertukar NIK tidak memiliki hak mencoblos. Menjadi riuh. Sekaligus warning,bahwa masyarakat turut memantau pelaksanaan pemilu. Terutama kalangan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di TPS. Namun juga bisa dituding bertujuan men-diskredit-kan KPU (Komisi Pemilihan Umum) selaku penyelenggara pemilu.
UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah mengatur hak pilih dalam pemilu (dan pilpres). Pada pasal 1 (tentang Pengertian Istilah) angka ke-34, dinyatakan, “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.” Maka jelas, WNA bukan obyek pemilu untuk memilih maupun dipilih. Hak pilih dalam pemilu, diatur pada pasal 198. Termasuk WNI yang telah dicabut hak politiknya oleh Pengadilan.
Peraturan hak pilih dalam Pemilu, telah diatur rinci. Tidak mungkin dibobol. Prosedurnya melalui RT (Rukun Tetangga), sampai menjadi DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu). Setidaknya selama 14 bulan DP4 diproses, diteliti, dibanding, diverifikasi, dan di-mutakhir-kan. Proses panjang itu tercantum dalam pasal 204. Toh, masih dinyatakan sebagai DPS (Daftar Pemilih Sementara).
Pada pasal 204 ayat (4), dinyatakan, “Dalam melaksanakan pemutakhiran data pemilih, Pantarlih memberikan kepada pemilih tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih.” Pada pasal 205 ayat (1), tertulis, Pantarlih terdiri dari perangkat kelurahan/ desa, RW (Rukun Warga), RT, dan warga masyarakat. Keanggotaan Pantarlih dikukuhkan oleh PPS (Panitia Pemungutan Suara, tingkat kelurahan/ desa). PPS juga wajib memperbaiki DPS.
DPS yang diperbaiki akan dikukuhkan menjadi DPT (Daftar Pemilih Tetap) oleh KPUD (Kabupaten dan Kota). DPT dikirim pada perwakilan parpol, dan dipajang di Kelurahan. Bisa pula terdapat daftar pemilih tambahan, karena pergeseran data. Bukan menambah pemilih baru. Seperti WNI yang “kehilangan”NIK (dan hak pilih), bisa memiliki hak coblos lagi.

——— 000 ———

Rate this article!
Riuh e-KTP WNA,5 / 5 ( 1votes )
Tags: