Rivalitas Indonesia, China, Jepang, dan India di Indo-Pasifik

Oleh :
Hardi Alunaza SD
Staf Pengajar Prodi Hubungan Internasional FISIP Untan/Staf Kantor Urusan Internasional Universitas Muhammadiyah Pontianak

Bagi para pendukung konsep Indo-Pasifik, pertumbuhan hubungan ekonomi, kebutuhan mengenai kerja sama dan koordinasi politik serta keamanan yang lebih besar tentu saja membutuhkan suatu perluasan konsep di kawasan. Indonesia dan India dianggap penting dalam proses regionalisasi karena dipandang sebagai pengadopsi awal dari ide munculnya Indo-Pasifik. Inisiatif yang dilakukan oleh Indonesia terhadap pengembangan kawasan didasarkan pada kekhawatiran pada sektor keamanan dan ekonomi yang didominasi oleh adanya persaingan antara China dan AS. Sementara itu, isu kebangkitan Indonesia sebagai pendatang baru dalam kalangan pemain utama di kawasan ini masih dinilai kontroversial. Terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang masih rentan dengan gejolak akibat pengaruh perkembangan dalam dan luar negeri, Indonesia sama seperti halnya India yang kehadirannya tidak dapat diabaikan. Indonesia diperhitungkan akan hadir sebagai kekuatan besar baru dalam tatanan dunia dan rivalitas major powers dalam konstelasi perpolitikan global.
Implikasi luas akibat persaingan negara-negara yang merupakan kekuatan baru yang hadir di kawasan tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Indonesia. Sebab beberapa tahun terakhir, China dan India hadir sebagai kekuatan adidaya baru yang mungkin saja dapat menggeser posisi AS. Kehadiran dan peran keduanya semakin diperhitungkan di kawasan khususnya hubungan China dan India dengan negara-negara di Asia Tenggara. Di sisi lain, kehadiran Jepang menyusul posisi China dan India yang semakin disanjung keberadaannya sejak 1980. Ketiga negara ini diakui sebagai kekuatan besar di Asia yang dimaknai bahwa peran negara tersebut sebagai adidaya dalam ekonomi, politik, dan militer. Posisi ketiganya juga sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan dunia.
Secara lebih spesifik, China dan India dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5 persen, menjadikan kehadiran dan peran mereka semakin dicari oleh negara yang berkepentingan di kawasan. Di luar mereka, Indonesia kemudian juga menarik perhatian karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih bisa bertahan di sekitar angka atas bersama Taiwan dan Korea Selatan. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia menjadi harapan dan tumpuan dunia dalam membantu proses pemulihan ekonomi dunia di masa depan. Langkah Jokowi meluncurkan gagasan poros maritim dunia membuat Indonesia yang kaya akan sumber daya alam menjadi berpotensi untuk diperebutkan banyak negara besar di kawasan, terutama China, India, dan Jepang yang tengah berkontestasi dalam memperebutkan sumber-sumber investasi baru.
Sebagai sebuah fakta dan konsekuensi bahwa kehadiran China sebagai major powers baru dengan kebijakan ekspansifnya menimbulkan kekhawatiran dan juga tantangan dari major powers lainnya. Padahal konsep major powers itu sendiri bersifat terbuka, yang artinya negara dengan kekuatan baru atau lama bisa keluar masuk dari kategori ini. Secara definisi diartikan sebagai negara kekuatan utama di tingkat regional dan global yang dilihat dari perspektif ekonomi, politik, dan militer yang dimilikinya yang ditopang dengan kemampuan kontrol atas sumber daya alam yang dimiliki, termasuk sumber daya yang berada di negara lain. Sebagai contoh ketika Jepang merefleksikan kekhawatiran yang terus meningkat atas kehadiran dan sikap China yang semakin agresif di jalur perairan dan perdagangan internasional yang dipandang sangat strategis dan vital yakni Laut China Selatan. Sebagai konsekuensi dari semakin pentingnya makna dan posisi Laut China Selatan yang terletak antara Samudera Hindia dan Pasifik, menjadikan konsep Indo-Pasifik menjadi semakin realistis dan penting bagi negara lain selain China, Jepang, India, dan AS yang saling terbuka dan berani menunjukkan eksistensi dan kekuatannya agar dapat menambah popularitas sebagai major powers di mata dunia internasional.
Jika melihat rivalitas China dengan India, Jepang justru ingin terlibat secara mendalam melalui Indian Ocean Rim Association (IORA) yang tengah mengampanyekan IORA dan ingin menjadi motor penggeraknya. Dari perspektif India, secara politik dan keamanan, India berkepentingan untuk hadir di dua Samudera, baik itu Pasifik maupun Hindia terkait upaya mendukung pengembangan kepentingannya dalam bidang ekonomi. India tampaknya menyambut baik upaya penjajakan dan tawaran kerja sama keamanan dan militer dari pihak China dan juga AS dalam rangka mendukung stabilitas di kawasan. Pemerintah AS belakangan dilaporkan serius merangkul India untuk lebih berperan di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Laut China Selatan yang tengah mengalami eskalasi ketegangan akibat manuver agresif China, namun tidak terkait langsung dengan kepentingan India.
Menghadapi perkembangan India yang telah memperlihatkan dirinya secara terbuka sebagai kekuatan nuklir baru di dunia, China yang juga telah menjadi rival India di kawasan berupaya menjegal niat India tersebut. Oleh karena itu, China saat ini berada di garis depan dan terang-terangan dalam menentang masuknya India dalam kelompok Nuclear Suppliers Group (NSG). Sikap dan langkah China ini tentu saja bertentangan dengan sikap dan langkah AS, sekutu baru India yang semakin harmonis dan mendukung niat baik India untuk bergabung menjadi bagian dari NSG. Masuknya India ke dalam NSG dipandang kontroversial dan sekaligus mengkhawatirkan China, mengingat India belum menjadi negara peratifikasi traktat anti proliferasi senjata nuklir.
Kekhawatiran China semakin bertambah setelah mengetahui India sepakat dengan Jepang untuk memperkuat kerja sama ekonomi, energi, dan pertahanan di tengah meningkatnya kecemasan sekutu-sekutu AS pasca terpilihnya Donald Trump. Ketidakpastian dan perbedaan akan arah kebijakan luar negeri AS sebagai rival terbesar China yang selama ini menjadi penjamin stabilitas dan keamanan dunia, terutama di Asia, telah membuat hubungan India dan Jepang semakin merekat. Sebagai bukti, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah menggelar pertemuan di Tokyo pada 11 November 2016. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang sangat kontroversial, di antaranya Jepang telah menyetujui penjualan peralatan tenaga nuklir sipil dan teknologi ke India. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan pertama yang dilakukan Jepang dengan negara bukan anggota Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Sehingga apa yang dikatakan PM Modi bahwa kesepakatan nuklir sipil itu menandai kedalaman sejarah tingkat hubungan kedua negara. Sebab, pasca penandatanganan kesepakatan, PM Abe telah meminta mitranya untuk melawan serangan ekonomi dan militer oleh China.
Sementara bagi Indonesia, dengan kehadiran China yang merambah berbagai sektor dan mendominasi seperti serbuan berbagai produk manufaktur, industri strategis, tenaga kerja, yang didukung dengan belanja militer yang semakin meningkat setiap tahun, Indonesia sudah harus memperhitungkan China sebagai bagian dari ancaman keamanan. Sehingga, politik luar negeri yang dibangun untuk menjalin kerja sama dengan beberapa negara dengan kekuatan besar di Asia harus bersifat pragmatis dan menyesuaikan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sebagai konsekuensinya, paradigma atau doktrin politik luar negeri yang bebas aktif perlu disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan mengikuti kepentingan yang selama ini terancam. Dalam hal ini, persepsi mengenai siapa musuh dan kawan yang tengah dan akan dihadapi dapat terus diperbaharui dan disesuaikan.
Selain paradigma politik luar negeri yang masih bersifat tidak pragmatis, kesulitan pemerintah dalam melindungi negara dari ancaman yang datang dari negara lain semakin besar. Hal tersebut disebabkan karena konsep Minimum Essential Forces (MEF) yang masih terus dipertahankan. Indonesia masih berada pada posisi yang sadar dan kaya akan sumber daya tetapi tidak berusaha memaksimalkan peran serta dalam memperjuangkan kepentingannya di saat negara besar seperti China, Jepang, dan India terus berkutat memperbesar kemajuan di negara masing-masing. Padahal jika melihat secara posisi, Indonesia berada pada posisi yang sangat strategis di kawasan, apalagi jika posisi ini kemudian menjadi dasar untuk meningkatkan kerja sama dengan India dan China, serta Jepang. Seharusnya Indonesia sebagai sebuah negara yang secara geografis berada pada titik tengah antara Samudera Hindia dan juga Samudra Pasifik melihat sebuah celah untuk memainkan peranan yang lebih di dalam konsep kawasan baru ini. Konstruksi geopolitik Indonesia berkenaan dengan proses memobilisasi pengetahuan geografis, gagasan tentang politik dan identitas nasional menjadi pembangunan visi geopolitik Indonesia dalam kawasan Indo-Pasifik. Hal tersebut akan memiliki implikasi untuk kedua representasi identitas nasional dan hubungan internasional, sehingga kawasan Indo-Pasifik akan menyediakan geopolitik wawasan baru yang jauh dari nilai-nilai kontestasi antar negara kuat.

——— *** ———-

Tags: