Roadmap Pancila Sakti

Pancasila sebagai dasar (filosofi) negara, masih teruji kokoh didukung hampir seluruh rakyat Indonesia. Walau harus diakui sebagian (sekelumit) minoritas radikal masih berupaya mengganti Pancasila. Tak terkecuali kalangan PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan intelektual masih ada yang sepakat mengubah dasar negara. Sekaligus menafsirkan Sila Pancasila secara sepihak, di luar pemahaman umum. Ironisnya, musuh Pancasila membonceng asas demokrasi (kerakyatan) yang dijamin Pancasila.
Radikalisme “kanan” maupun ekstremitas “kiri” akan selalu memperoleh perlawanan sengit mayoritas rakyat. Dua kali Pancasila mengalami percobaan pergantian dengan idiologi lain. Pertama, pada 18 September 1948, PKI mendirikan Republik Soviet Indonesia. Itu bukan sekadar kudeta, melainkan juga teror kerusuhan sosial. Banyak tokoh masyarkat diculik dan dibunuh, termasuk guru-guru agama (Islam) di kampung-kampung.
Tentara masih sibuk (gerilya) menghadapi penjajah, sehingga hanya terdapat cadangan 2 brigade Siliwangi. Maka perlawanan rakyat menjadi kekuatan utama melawan ekstrem “kiri,” yang nyata-nyata anti agama-agama. Tidak sepakat dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh agama bangkit melawan PKI. Kekuatan rakyat berhasil meredakan pemberontakan PKI tahun 1948. Namun salahnya, negara tidak membubarkan PKI.
PKI tumbuh sebagai partai kader, dengan sayap ke-pemuda-an, perempuan, dan sayap seni budaya. Melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dipentaskan seni tradisional. Lakon drama paling terkenal bertema “Matine Gusti Allah,” yang mengolok-olok agama Islam. Serta lako “Pernikahan Paus,” yang menista ajaran Nasrani. Kedua lakon dipentaskan melalui seni kethoprak (di Yogya), serta ludruk di Jawa Timur.
Penistaan agama melalui pentas seni budaya oleh PKI, bukan isapan jempol. Melainkan diabadikan oleh pelaku sejarah “perang” budaya. Misalnya, Taufik Ismail, mengabadikannya dalam “Tirani dan Banteng: Dua Kumpulan Puisi” (yayasan Ananda, 1993). Puisinya yang berjudul “Catatan Tahun 1965,” menulis, “… genjer-genjer jadi nyanyian // … // Matine Gusti Allah dipentaskan … .”
Dokumentasi olok-olok penistaan agama juga dinyatakan oleh Profesor RM Soedarsono (guru besar Ilmu Budaya UGM). Dalam buku berjudul “Teater Tradisional Indonesia: Indonesia Indah Jilid 6,” ditulis, lakon penistaan ajaran agama dipentaskan di Gunung Kidul (DIY) pada 14 Juli 1964 oleh Lekra. Menurut Profesor Soedarsono, dua lakon tersebut bersifat agitatif, dan provokatif menebar kebencian.
Begitu pula sastrawan Ajip Rosidi, men-dokumentasi-kan dalam bukunya “Anak Tanah Air, Secercah Kisah” (1985). Dinyatakan, bahwa lakon yang penistaan agama dipentaskan oleh kelompok ludruk di Jawa Timur. Di beberapa daerah, pementasan ludruk dengan lakon penistaan agama berhasil dibubarkan oleh kelompok pemuda NU (Nahdlatul Ulama) GP Ansor. Disertai tawur sosial kedua kelompok.
PKI dengan berbagai sayap organisasi kemasyarakatan, semakin tumbuh pesat. Sampai menjadi parpol dengan posisi empat besar dalam Pemilu tahun 1955, memperoleh 39 kursi DPR, dan 80 kursi Konstituante. Posisi ini di bawah PNI, dengan 57 kursi DPR, dan 119 kursi Konstituante. Serta Partai Masyumi (57 DPR dan 112 Konstituante), dan Partai Nahdlatul Ulama (NU), dengan 45 kursi DPR, dan 91 Konstituante).
Terlepas dari kritisi “perang” internal jajaran TNI pada 1 Oktober 1965, hari itu dinyatakan sebagai hari “kesaktian” Pancasila. Ajaran komunisme dilarang di Indonesia, dan pembubaran PKI, berdasar Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966. Serta dikuatkan dengan TAP MPR Nomor I Tahun 2003. Tetapi kesaktian Pancasila, bukan hanya sukses pada ujian percobaan penggantian sebagai dasar negara. Juga bukan sekadar menjadi asas tunggal.
Kesaktian Pancasila wajib menjadi peta jalan, me-realisasi arah usaha menuju cita-cita proklamasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Roadmap Pancila Sakti,5 / 5 ( 1votes )
Tags: