Roadmap Sepakbola Setelah Sanksi FIFA

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Indonesia sudah resmi diberi sanksi oleh FIFA (Federasi sepakbola seluruh dunia). Yakni, tidak boleh mengikuti pertandingan sepakbola even internasional. Serta larangan menerima bantuan dalam bentuk pendanaan maupun program dari FIFA serta konfederasi Asia (AFC). Namun terdapat prasyarat untuk pencabutan sanksi: mengembalikan eksistensi PSSI. Tetapi agaknya, pemerintah akan kukuh menempuh cara lain. Termasuk menggelar KLB (Kongres Luar Biasa) untuk membentuk PSSI baru.
Presiden Jokowi maupun Menpora, menjamin liga sepakbola akan segera bergulir. Serta pembinaan berjenjang tetap dilakukan, diantaranya melalui kompetisi.  “Melihat permasalahannya harus lebih lebar. Kita ini hanya ingin ikut di ajang internasional atau berprestasi di ajang internasional?” Begitu pernyataan presiden Jokowi, menanggapi warning FIFA berkaitan dengan sanksi kepada Indonesia. Pemerintah (dan masyarakat) akan menggenjot prestasi internasional, bukan hanya sekadar  ikut kejuaraan internasional.
Presiden juga memapar posisi Indonesia pada peringkat FIFA. Pada empat tahun terakhir (2012 sampai 2015), Indonesia berkutat pada peringkat ke-160-an. Sedangkan negara tetangga ASEAN yang lain (Vietnam, Myanmar dan Timor Leste) malah naik peringkat. Namun sebenarnya, “nasib” peringkat Indonesia yang jeblok juga diikuti oleh Singapura dan Malaysia. Pada tataran ASEAN, peringkat Indonesia melorot ke peringkat ke-7. Hanya diatas Timor Leste, Brunei dan Laos.
Padahal sebelum reformasi, Indonesia pernah memiliki peringkat terbaik (ke-76) pada September 1998. Lalu dinamika “naik-turun” peringkat, sampai pada posisi  ke-81 pada Januari 2003. Setelah itu terus melorot, per-Mei 2015 berada pada posisi ke-159. Peringkat pada FIFA, dalam setahun dapat berubah beberapa kali, disesuaikan dengan hasil pertandingan internasional. Masing-masing even memiliki skor untuk mengubah peringkat. Tertinggi, tentu, Piala Dunia, disusul Olympiade, serta pertandingan level kawasan (Asia dan ASEAN).
Sehingga harus diakui, problem per-sepakbola-an Indonesia, adalah prestasi. “Mimpi” paling buruk adalah, ketika dibantai 10 gol tanpa balas oleh Bahrain dalam lanjutan kualifikasi pra Piala Dunia putaran ketiga, di stadion Manama, Bahrain. Akhir bulan Pebruari 2012 saat itu (usia bulan Pebruari 29 hari), seolah menjadi skor terburuk yang pernah dialami timnas Indonesia. Bahkan kekalahan memalukan ini berujung pada investigasi oleh FIFA.
Pengalaman dihukum FIFA
Bisa dipastikan, itu pertandingan yang tidak fair. PSSI dianggap mengirim timnas yang “sengaja mengalah.” Meski Ferdinand Sinaga cs tampil jauh di bawah standar, FIFA tidak begitu saja percaya akan skor tidak lazim tersebut. Ini berhubungan dengan kans tuan rumah, yang butuh sembilan gol untuk lolos ke fase berikut. Padahal berdasar rekam jejak pertandingan, Indonesia tidak pernah kalah lebih dari 3-0 dari Bahrain.
Hasilnya, seorang pemain timnas dilarang bertanding seumur hidup pada even internasional. Tetapi ini bukan pengalaman pertama. Hukuman FIFA juga pernah diberikan ketika timnas “mengalah” pada Thailand. Kasus itu terjadi pada babak perempat final Piala Tiger 1998. Saat itu, karena takut bertemu dengan Vietnam di semi final, pada menit ke 90, pemain belakang Indonesia (Mursyid Effendi) melesakkan gol ke gawang sendiri. Anehnya, gol bunuhdiri itu “dirayakan.”
Skor akhir 2:3 untuk keunggulan Thailand. Terhadap kesalahan ini, Mursyid Effendi,  dilarang main beruntuk timnas seumur hidup. Hukuman seumur hidup untuk pemain, pelatih maupun official, sering diberikan oleh FIFA. Termasuk kepada skuad asing yang merumput di Persiba (Balikpapan). Pemain asal Lebanon,  Mahmoud El Ali, sebenarnya sudah diberi “kartu merah” oleh FIFA. Anehnya, bisa masuk Persiba.
FIFA, memiliki kode disiplin, yang bisa menjatuhkan sanksi larangan bermain seumur hidup. Terutama pelanggaran asas fair play, serta pelanggaran sangat keras lain. Yakni, tercantum pada pasal 78 Ayat 1(c) dan Pasal 1366ff kode disiplin FIFA. Selain El Ali, hukuman yang sama juga dijatuhkan pada Peter Rumaropen (Persiwa) karena memukul wasit. “Hukuman setimpal,” juga dijatuhkan terhadap skandal pengaturan skor antara PSIS (Semarang) melawan PSS (Sleman).
Namun penerapan sanksi FIFA terhadap pertandingan (untuk klub), berbeda filosofi dengan sanksi yang diberikan kepada federasi (semacam PSSI). Sanksi terhadap federasi, mesti dipahami sebagai cara FIFA untuk mengingatkan agar negara tidak ikut campur, khususnya ketika dalam masyarakat sepak bola sudah tercipta kondisi yang positif. Apakah kondisi sepakbola Indonesia sudah positif? Inilah yang memerlukan pendalaman.
Namun pasti, tolokukur “ke-positif-an” harus hanya ada satu, tak lain adalah prestasi. Lebih sering menang pada ajang resmi internasional. Sedangkan prestasi timnas, sangat bergantung pada pola pembinaan oleh pemerintah dan masyarakat (termasuk induk organisasi cabor, dalam hal ini PSSI). Berdasar UU Nomor 3 tahun 2005, pemerintah maupun induk cabang olahraga (PSSI), masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
“Konstituen” Bola-mania
Pada pasal 22 dinyatakan, “Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga melalui penetapan  kebijakan, penataran/pelatihan, koordinasi, konsultasi, komunikasi, penyuluhan,  pembimbingan, pemasyarakatan, perintisan,  penelitian, uji coba,  kompetisi, bantuan, pemudahan, perizinan, dan pengawasan.”  Pasal ini menjadi domain kewajiban pemerintah dalam membentuk timnas untuk mewakili negara pada ajang SEA-Games, Asian Games, Piala Dunia, dan Olympiade.
Sedangkan pasal 29 ayat (2) dinyatakan, “Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional.” Pasal ini memberi domain hak sekaligus kewajiban kepada PSSI, agar bisa tampil pada kancah ASEAN, Asia, sampai Piala Dunia, khusus klub. Pembinaan dan pengembangan sepakbola profesional biasanya dilakukan melalui berbagai kompetisi (olehotoritas Liga Indonesia, dibawahkan oleh PSSI).
Jadi, antara PSSI dengan Pemerintah (Kemenpora), lazimnya terjalin simbiose mutualisme. Masing-masing memiliki “pekerjaan” dan otoritas. Harus dipahami, bahwa PSSI adalah ormas (organisasi masyarakat) yang memiliki sifat independen. Termasuk dalam hal pembiayaan, khususnya untuk klub profesional. Dulu, terdapat kelompok perserikatan yang dianggap milik pemerintah daerah. Misalnya, Persebaya (Surabaya), Persib (Bandung). Namun sekarang, semua berubah menjadi klub profesional?!
Klub profesional, niscaya memiliki konsekuensi. Dalam UU Nomor 3 tahun 2005, terdapat definisi tentang olahraga profesional. Pada pasal 1 (tentang Ketentuan Umum angka ke-15) dinyatakan, “Olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga.” Terdapat frasa kata “memperoleh pendapatan” yang bermakna penghasilan. Dus, wajib dipungut pajak.
Itulah (asas profesional) yang menjadi hulu kisruh PSSI. Bermasalah dengan persyaratan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia, dibawah Kemenpora), yang coba menegakkan UU. Harus diakui, klub yang baru “disapih” dari APBD belum terbiasa menunaikan PPh (pajak penghasilan) pemain. Boleh jadi dulu, pemotongan pajak dilakukan langsung oleh bendaharawan Pemda atau Bendahara Pengcab PSSI di kabupaten dan kota.
Sehingga mengurus sepakbola (profesional) tidak mudah. Walau sebenarnya, klub sepakbola memiliki “konstituen” sangat menggiurkan. Betapa tidak? Penggemar bola di Indonesia ditaksir mencapai 60 juta lebih. Sehingga berbagai politisi berebut menguasai klub, maupun induk organisasi (PSSI). Tak jarang kehadiran politisi secara faktual (diperintah) mewakili parpol. Politisasi sepakbola, sudah “meng-akar-urat” selama beberapa dekade.
Anehnya, prestasi berbagai timnas makin jeblok selama satu dekade terakhir. Bahkan pada dua kali SEA Games terakhir (2007 dan 2009), timnas merah-putih, sudah harus angkat koper pada babak penyisihan grup. Itulah sebabnya, rakyat Indonesia yang tergolong gibol (gila bola) sangat rindu prestasi timnas. Ingat, merah-putih pernah 2 kali meraih emas pada SEA-Games (1987 dan 1991). Dan peringkat ketiga di Asian Games Tokyo, 1956.

                                                                                                          ———— *** ————

Rate this article!
Tags: