Rohingya dan Nalar Kemanusiaan

Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Krisis kemanusiaan yang dialami masyarakat etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar menyita perhatian masyarakat internasional. Krisis ini dipicu oleh konflik antara militan Rohingya yang tergabung dalam Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) dan militer Myanmar yang disebut melakukan pembalasan yang tidak proporsional. Akibatnya, ribuan masyarakat Rohingya mencari perlindungan di negara lain. Sisanya, ribuan masih terjebak di tanah Rakhine.
Gelombang pengungsi, gambaran kekerasan, kekejaman, dan pembantaian terhadap Rohingya mengundang simpati masyarakat internasional. Tagar #SaveRohingya menjadi viral di lini masa media sosial. Sebagian mengecam pemerintah Myanmar dan terutama Penerima Nobel Perdamaian Aung Sang Suu Kyi yang hanya pasif. Sebagian lagi, mengkritik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi regional ASEAN yang tidak mampu bertindak jauh untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan tersebut.
Potret krisis kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Rohingnya di Myanmar memang bukan hal yang baru, peristiwa itu telah berulang. Namun, meski begitu, langkah nyata untuk menyelesaikan persoalan tersebut belum nampak terang dan juga kompleks. Meski persoalan Rohingya adalah masalah internal Myanmar, tetapi mata hati masyarakat dunia tak bisa buta.
Ada naluri kemanusiaan yang mengundang empati atas penderitaan mereka. Karena itu, bicara tentang Rohingya maka bicara tentang kita, bicara tentang kita maka bicara tentang hati yang teriris pilu menyaksikan betapa manusia hidup dalam ketidakpastian. Bahkan, PBB pernah menyebut Rohingya sebagai “The world’s most ignored and persecuted minority”, kelompok minoritas yang paling terabaikan dan teraniaya di dunia.
Lebih lanjut, apa yang terjadi pada masyarakat etnis Rohingya tidak terlepas dari statusnya sebagai stateless people. Stateless dipahami sebagai orang atau kelompok yang tidak memiliki identitas kewarganegaraan, tidak memiliki negara dan atau tidak diakui oleh negara. Maka, sebagai stateless, sangat mungkin mereka akan menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Pasalnya, ketiadaan status warga negara membuat mereka kehilangan hak untuk memperoleh jaminan kehidupan dan penghidupan, hak ekonomi, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, perlindungan negara, dan seterusnya.
Berdasarkan sejarahnya, etnis Rohingya merupakan komunitas migran dari Bangladesh. Mereka telah menetap selama ratusan yang di negara bagian Rakhine, Karena itu, sebagai komunitas yang telah menetap ratusan tahun, mereka (pernah) mendapatkan status kewarganegaraan. Pada masa pemerintahan U Nu tahun 1948-1962 bahkan etnis Rohingya menjadi bagian dari pemerintahan.
Akan tetapi, kudeta tahun 1962 mengubah segalanya. Naiknya Ne Win ke tampuk pemerintahan menjadi awal tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982 yang diberlakukan tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Etnis yang diakui hanyalah mereka yang telah berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat hanya ada 135 etnis yang diakui, dan Rohingya tidak termasuk di dalamnya karena dianggap sebagai etnis Bengali yang berasal dari Bangladesh. Di sinilah masyarakat etnis Rohingya disebut sebagai stateless people. Tidak ada tempat yang dapat mereka sebut sebagai “rumah”.
Karena tidak memperoleh hak-hak sebagai warga negara, ditambah dengan perlakukan kekerasan yang diterimanya mendorong mereka mencari keselamatan dengan mengungsi. Mereka mencari perlindungan ke berbagai negara tetangga Myanmar hingga memperoleh status sebagai pengungsi. Demi keselamatan, mereka berusaha menaklukkan samudera, meski banyak yang kemudian gagal mencapai darat.
Celakanya, tragedi kemanusiaan yang terjadi terhadap Rohingya kemudian banyak digiring ke ranah agama. Myanmar adalah negara berpenduduk mayoritas Buddha. Sementara etnis Rohingya beragama Islam. Kekerasan yang dilakukan militer (yang notabene-nya Buddha) terhadap Rohingya selanjutnya, sengaja atau tidak, tergiring ke ketegangan antara umat Buddha dan Islam.
Hal itu diperparah dan seolah terlegitimasi oleh pernyataan-pernyataan kontroversial seorang biksu Ashin Wirathu. “Anda bisa berikan kebaikan dan rasa kasih, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila,” katanya seperti dikutip The New Yorks Time (21 Juni 2013). “Anjing gila” yang dimaksud Wirathu adalah Muslim Rohingya.
Lebih dari itu, dalam konteks Indonesia, upaya menggiring tragedi ini ke ranah agama begitu terasa. Bahkan sempat muncul wacana kepung Borobudur, sebagai salah satu peninggalan bersejarah dan bukti eksistensi Buddha di tanah air. Hembusan berita-berita hoax kemudian kian memperparah persoalan ini. Lagi-lagi, agama digiring sebagai “kambing hitam”.
Padahal, bicara soal agama adalah hal yang sensitif, terutama di negeri majemuk seperti Indonesia. Teramat fatal atas harga yang harus dibayar jika tragedi Rohingya digiring ke persoalan agama. Sebagaimana kita memahami, bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan dan menjustifikasi kekerasan, apalagi dengan pembantaian umat manusia.
Karena itu, kedewasaan dalam berpikir dan bertindak masyarakat Indonesia harus dikedepankan. Daripada sibuk-sibuk mencaci maki Buddha dan pemeluknya, alangkah indah jika kita bertindak nyata untuk memberi kontribusi dalam penyelesaian persoalan ini, setidaknya dengan menunjukkan simpati nan empati. Sebab, jangan-jangan, kita memeluk agama tetapi tidak memeluk kemanusiaan. Di atas segala alasan, termasuk agama, nalar kemanusiaan adalah hakikat yang paling utama.
Hal yang perlu kita lakukan adalah mendukung upaya pemerintah untuk membantu penyelesaian masalah Rohingya. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah melakukan upaya diplomasi terhadap pemerintah Myanmar dengan usulan yang disebut Formula 4+1, selain bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) adalah yang pasti.
Jika menunggu gerak langkah ASEAN, pun adalah hal yang hampir mustahil. ASEAN sejak didirikan memegang teguh prinsip ASEAN Way yang salah satu poinnya adalah norma non intervensi. Negara-negara ASEAN tidak dibenarkan melakukan intervensi atas apa yang terjadi di dalam negara lainnya.
Tetapi, dalam konteks ini, langkah cepat pemerintah Indonesia bukanlah bentuk intervensi, melainkan pendekatan kooperatif sebagai bagian dari ujung tombak diplomasi, apalagi citra Indonesia sebagai mediator konflik telah banyak terbukti, seperti di Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Karena, kita tidak mungkin membisu saat nilai-nilai kemanusiaan mengetuk relung hati.

                                                                                                         ————— *** —————

Rate this article!
Tags: