Rokok; antara Dicaci dan Dinanti

Refleksi Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Berbicara soal rokok atau berperilaku merokok seakan taka ada habisnya, Berbagai teori pro maupun kontra terkait rokok terus “berkompetisi” untuk mempengaruhi arah kebijakan terkait rokok. Bagi industri, pedagang, petani maupun penikmat rokok tentu terus mempertahankan eksistensi rokok agar dapat terus menghidupi berbagai pihak seperti petani tembakau, pedagang baik skala besar, menengah, kecil, pebisnis maupun para pemilik rokok. Hal ini selaras dengan terus meningkatkan konstribusi tembakau berupa cukai yang mendulang sisi anggaran negara maupun pemerintah daerah terutama daerah-daerah sentra penghasil tembakau dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cuka dan turunannya. Berdasarkan data Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) alias rokok sepanjang 2022 mencapai Rp 218,62 triliun. Angka ini setara 104 persen dari target yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.98 Tahun 2022 sebesar Rp 209,91 triliun.

Namun bak dua sisi mata uang, potensi kerugian akibat eksistensi cukai tembakau dan sejenisnya ternyata lebih besar. Ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan kimia berbahaya. Satu batang rokok yang dibakar mengeluarkan sekira 4 ribu bahan kimia. Produk tembakau mengandung zat yang tidak aman, mulai dari aseton, tar, nikotin, dan karbon monoksida. Zat yang terhirup dapat memengaruhi paru-paru dan organ lain di tubuh penggunanya. Selain itu, tembakau adalah produk yang setiap tahun mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian. Selain itu, menyebabkan kerugian ekonomi sebesar USD 1,4 trilyun. Sementara itu, dari sisi kesehatan, rokok memicu prevalensi hipertensi, stroke, impotensi dan penyakit jantung. Bagi ibu hamil hal tersebut dapat mengancam keguguran.

Di dalam asap rokok terdapat sekitar 5.000 senyawa berbeda yang sebagian bersifat racun yang berpotensi merusak sel tubuh. Setidaknya di dalam rokok ada 250 jenis zat beracun, dimana 70 jenis bersifat karsinogenik (pemicu kanker). Pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) atau World No Tobacco Day kali ini WHO mengangkat tema “We Need Food, Not Tobacco'” (Kita Butuh Makanan, Bukan Tembakau).

Kampanye global ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang peluang produksi dan pemasaran tanaman alternatif bagi petani tembakau, serta mendorong mereka menanam tanaman yang berkelanjutan dan bergizi. Kampanye ini juga bertujuan mengekspos upaya industri tembakau yang mengganggu upaya penggantian penanaman tembakau dengan tanaman yang berkelanjutan.

Hal ini tentu dapat berkontribusi terhadap krisis pangan global. Ya krisis pangan merupakan salah satu ancaman dunia termasuk Indonesia selain krisis energi, dan krisis keuangan apalagi laju pertambahan pendudukan belum diiringi dengan akselerasi pencapaian ketahanan pangan yang memadai. Impor pangan dan energi masih mendominasi.

Tema tersebut juga memiliki makna bahwa kita sebagai manusia butuh makanan daripada tembakau dalam bentuk produk rokok. Secara natural kebutuhan makanan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling esensial. Artinya bersifat harus mau tidak mau harus dipenuhi atau dicukupi sepanjang waktu.

Sementara tembakau atau rokok hanya merupakan dan bukan sebuah kebutuhan tapi lebih kearah kebiasaan atau perilaku merokok yang awalnya dari coba-coba atau mencontoh teman, saudara dan orang lain, termasuk pengaruh iklan rokok yang seakan menambah macho atau kejantanan seorang laki-laki serta dapat juga sebagai pelampiasan seseorang untuk mengurangi stres setelah beraktivitas. Pendek kata, produk makanan menghasilkan nutrisi untuk kebutuhan tubuh sementara rokok menghasilkan racun (toxic) yang mempengaruhi Kesehatan tubuh.

Besar Pasak daripada Tiang
Penggunaan produk tembakau menyebabkan munculnya biaya ekonomi yang disebabkan dari penyakit yang dihasilkan, kematian, dan investasi yang hilang. Menurut The World Bank Group (2018) dalam Policy Implications Technical Brief yang berjudul “The Economics of Tobacco Taxation and Employment in Indonesia”, menyatakan diperkirakan pengeluaran kesehatan akibat merokok di Indonesia sekitar US$1,2 miliar. Angka ini mewakili 8 persen dari total pengeluaran publik untuk kesehatan dan 3,3 persen dari total pengeluaran kesehatan. Kementerian Kesehatan (2018) juga membenarkan adanya kerugian akibat konsumsi rokok dalam aspek kesehatan.

Selama tahun 2013, pemerintah menanggung kerugian dari beban kesehatan akibat rokok sebesar Rp 378,75 triliun. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan penerimaan negara yang pernah diperoleh dari cukai tembakau tiap tahunnya. Akumulasi angka kerugian yang dimaksud berasal dari beban pembelian rokok, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas dan kematian prematur di usia muda serta biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau. Selain aspek kesehatan, penggunaan tembakau berdampak juga terhadap tingkat kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk rokok per kapita dalam sebulan merupakan pengeluaran terbesar kedua pada tahun 2021, setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi. Sedangkan pada tahun 2016, pengeluaran untuk rokok masyarakat berada di urutan ketiga terbesar setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi serta padi-padian.

BPS juga menyatakan rokok kretek filter merupakan komoditas penyumbang terbesar kedua terhadap kemiskinan. Ironisnya pengeluaran rokok yang cukup besar di pedesaan dapat menjadi penyebab kemiskinan akibat rokok terjadi melihat banyaknya masyarakat di bawah garis kemiskinan yang ada di perdesaan.

Dengan kondisi demikian semua pihak harus menemukan solusi besar untuk tercapainya cita-cita negara yakni masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang kita semua impikan bersama. Pemerintah diharapkan hadir untuk menyikapi fenomena sosial tahunan yang acapkali menjadi kontroversi tiada ujung, semoga.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: