Romansa dan Refleksi Persatuan Bangsa

Judul    : Petang Panjang di Central Park
Penulis  : Bondan Winarno
Penerbit   : Noura Books
Tebal    : 360 halaman
Cetakan  : 1, Desember 2016
ISBN    : 978-602-385-187-4
Peresensi  : Al-Mahfud
Penikmat fiksi, dari Pati. Bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus.

Belakangan, pemerintah membulatkan tekad untuk berperang melawan berita-berita palsu (hoax). Berita-berita palsu yang beterbaran, terutama di dunia maya terus menebarkan propaganda kebencian dan permusuhan dengan memanfaatkan sentimen agama, suku, ras, etnis, atau kelompok. Kebhinnekaan dan kemajemukan yang sudah menjadi karakter bangsa diusik dengan kabar-kabar yang berbau kebencian dan prasangka, tanpa dasar dan sumber yang bisa dipercaya, sehingga memunculkan pertikaian dan perselisihan sesama saudara sebangsa.
Padahal, kita tahu bahwa perbedaan sebenarnya sudah menjadi kehendak Allah. Perbedaan harus disyukuri sebagai bentuk rahmat agar kita bisa saling mengenal, menjalin ikatan persaudaraan dan persatuan. Kita butuh untuk kembali merajut dan mengencangkan tali-tali persatuan yang belakangan ini cenderung mengendur dan melemah. Cara untuk kembali merajut dan mengencangkan tali persatuan tersebut, salah satunya adalah dengan cinta. Baik cinta kepada negara dan bangsa, maupun cinta kepada sesama manusia atau sesama warga bangsa.  Di titik inilah kemudian, buku karya Bondan Winarno ini menarik untuk diulas.
Petang Panjang di Central Park menyuguhkan kisah-kisah menarik tentang berbagai problema kehidupan. Namun, ada satu garis besar yang akan kita lihat dari kisah-kisah yang ditulis oleh seseorang yang dikenal luas sebagai pakar kuliner ini. Yakni tentang kehangatan cinta dan kasih sayang sesama manusia. Cinta dihadirkan dalam berbagai episode kehidupan; persahabatan, pekerjaan, rumah tangga, bahkan dalam suasana perbedaan. Dalam cerpen berjudul Lenso Mera deng Lenso Puti kira akan melihat bagaimana cinta antara sepasang manusia yang berlatarbelakang berbeda pada akhirnya bisa menyatukan dua kelompok yang sedang bertikai.
Cerpen yang seperti merekam konflik Ambon tersebut mengisahkan tentang perang antara warga Muslim di Gang Banyo dan warga Kristen Kampung Silale. Peperangan menelan banyak korban dari kedua pihak. Namun, tak ada yang tahu pesis penyebab keonaran tersebut. Penulis di sini seperti menempatkan diri di tengah, kemudian menghadirkan romansa di antara kedua belah pihak untuk bersatu. Kisah asmara tersebut terjalin antara Duon, seorang pemuda Kristen dari Kampung Silale dengan seorang muslimah bernama Hamidah, bunga dari Gang Banyo.
Dikisahkan bahwa di tengah peperangan, Duon tertembak dan membuatnya terluka. Dalam kondisi kritis, Duon diamankan dan dilarikan ke gereja bersama Pendeta Sahalessy, mamanya, dan para jemaah Kampung Silale. Di tengan perang, Hamidah, pacar Duon, diselundupkan dari Gang Banyo dibawa ke gereja tersebut untuk menemui Duon yang sedang dalam kondisi kritis. Akhirnya, Duon menghembuskan nafas terakhirnya, dengan lenso merah di tangannya.
Tak lama kemudian, rombongan Haji Idris (ayah Hamidah) dan para pemuda Gang Banyo mendatangi gereja tersebut. Haji Idris menjabat tangan Pendeta Shalessy, kemudian mengambil lenso merah dari tangah Duon dan mengikatnya dengan lenso putih dari tangan Hamidah. “Seng bisa mera sendiri puti sendiri,” kata Haji Idris gemetar.”Musti mera deng puti sama-sama,” imbuhnya sembari mengangkat lenso itu. “Merah-Putih!” pekik Pendeta Sahalessy sembari ikut memegang lenso itu  (hlm 311). Akhirnya, para pemuda muslim dengan lenso putih dan pemuda Kristen dengan lenso merah saling berpelukan dan mengikatkan lenso merah-putih di kepala masing-masing.
Sebuah kisah mengharukan yang seakan kembali mengingatkan kita akan pentingnya menjaga ikatan persaudaraan dan persatuan. Kisah yang menegaskan bahwa egoisme dan kebencian bukan hal yang dibutuhkah di tengah perbedaan. Sebab, hal tersebut hanya akan membawa pertikaian, peperangan, bahkan perpecahan di masyarakat. Lewat kisah asmara antara Duon dan Hamidah tersebut, kita diajak untuk menyadari pentingnya memupuk kasih sayang dengan sesama manusia. Di samping itu, kisah tersebut juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan. Bahwa meskipun kita berbeda-beda, kita harus tetap bersatu.
Buku ini tak hanya menghadirkan kehangatan kisah cinta yang bisa menyatukan perbedaan dan menghentikan pertikaian. Berbagai kisah cinta lainnya tersaji dengan beragam latar peristiwa. Bahkan, kisah-kisah cinta tersebut terjadi di berbagai belahan dunia. Seperti di Filipina, India, Paris, bahkan sampai Afrika. Namun, penulis sering menghadirkan tokoh utama dari Indonesia di tiap cerpen-cerpen berlatar luar negeri tersebut. Sehingga banyak cerpen yang terasa seperti catatan petualangan romansa orang Indonesia ketika bertemu dengan orang-orang di luar negeri dengan segala karakter dan budayanya.
Kisah-kisah dalam buku ini akan membawa kita pada petualangan rasa kisah kasih asmara. Mulai tentang kebersamaan, kebahagiaan, sampai tentang kepiluan, luka, dan kecemburuan. Perasaan-perasaan yang tumbuh dilukiskan dengan jujur sebagai perasaan manusiawi yang bisa melanda siapa saja. Dengan bahasa sederhana dan narasi memikat, penulis berhasil menghadirkan kisah-kisah yang bisa dinikmati semua kalangan.

                                                                                                                ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: