Ruang Baca Generasi Z

Oleh :
Ardi Wina Saputra
Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

Literasi bisa disebut sebagai ibu kandung kebudayaan, melalui literasi kita bisa menjelajah jejak-jejak kebudayaan. Menurut Guru Besar Sastra Indonesia, Prof. Dr. Djoko Saryono, literasi tidak melulu tentang aksara tapi juga tentang angka, keduanya berjalin berkelindan satu sama lain membentuk wacana.
Prof. Djoko memberi analogi bahwa di Indonesia, wacana berita dan cerita merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keberadaan berita dan cerita hanya berbeda tipis terpaut satu huruf saja yang berbeda yaitu “b” dan “c”. Uniknya, di masyarakat posisi berita dan cerita pun juga tak mengalami jurang perbedaan yang signifikan. Semisal Anda punya teman yang baru pulang dari luar kota, maka Anda akan bertanya,”Ceritakan bagaimana pengalamanmu di luar kota?” bukan “Beritakan bagaimana pengalamanmu di luar kota?”.
Agar berita dan cerita ini tetap abadi, maka diperlukan sebuah tempat yang cocok untuk menyimpan data tersebut. Ruang yang paling cocok adalah perpustakaan. Kondisi perpustakaan semakin populer pasca revolusi mesin cetak atau revolusi Gutenberg. Banyak dokumen serta arsip yang membutuhkan ruang penyimpanan yaitu perpustakaan. Namun kondisi itu saat ini semakin memudar. Saat data sudah bisa dipindahkan pada perangkat digital, maka ruang perpustakaan mulai mengalami degradasi fungsi. Proses digitalisasi yang begitu modern di era data maha raksasa ini membuat perpustakaan hanya sebagai tempat menyimpan buku buku kuno yang belum terdigitalisasi saja. Itulah sebabnya apabila tidak ditangani lebih dalam, maka fungsi perpustakaan dan museum pun memiliki tingkat similaritas yang tinggi. Jika hal ini diabaikan maka perlahan tapi pasti, perpustakaan konvensional (perpustakaan non digital) akan mati. Perlu inovasi untuk membuat perpustakaan menjadi sebuah wahana yang asyik dan menyenangkan sehingga pengunjung tetap betah di perpustakaan dan usia perpustakaan bertambah panjang.
Aksi Inovasi
Perpustakaan kita temui hampir di setiap tempat, khususnya sekolah dan kantor lembaga pemerintahan. Tidak jarang setiap kota besar pun memiliki perpustakaan kota, bahkan di desa desa yang inovatif, juga disediakan layanan perpustakaan desa. Melihat beragam fakta yang telah disampaikan sebelumnya, sungguh miris dan patut disayangkan apabila perpustakaan-perpustakaan ini berada dalam usia senja dan beranjak tutup usia. Perlu inovasi berupa aksi nyata agar perpustakaan makin menarik untuk diminati.
Proses digitalisasi memang merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan perpustakaan konvensional serta para pustakawan di dalamnya. Lambat laun proses digitalisasi semakin mengurangi beban kerja pustakawan. Hal itu bukan tidak mungkin bahwa proses ini nantinya akan mengurangi profesi pustakawan itu sendiri. Jack Ma, salah satu pengusaha sukses dari Tiongkok, baru saja merilis kafe digital. Aplikasi ini membuat pelanggan memiliki kebebasan untuk melayani diri sendiri atau self service. Apabila aplikasi serupa bergeser ke perpustakaan maka bukan tidak mungkin bahwa sama sekali pegunjung tidak membutuhkan posisi pustakawan karena pengunjung bisa melayani diri sendiri ketika berada dalam perpustakaan. Meskipun demikian, Jack Ma pernah berkata “Kalau manusia ingin pintar, maka kuasailah informasi. Sedangkan, kalau manusia ingin bajik maka kuasailah manusia”.
Pernyataan tersebut memberi celah bahwa ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh proses digital yaitu kebajikan. Hanya manusia yang memiliki kebajikan karena manusia memiliki hati nurani. Apabila celah ini bisa diinternalisasikan dalam perpustakaan maka bukan tidak mungkin bahwa perpustakaan menjadi potensi untuk mengembangkan diri manusia. Perpustakaan bukan lagi sebagai museum atau gudang buku, tetapi sebagai sebuah wahana untuk menjadikan manusia berkembang seturut akal budi dan hati nuraninya.
Perpustakaan harus mampu menjadi sarana relasi sosial, sarana pertemuan antara manusia satu dengan manusia lain untuk berembug menciptakan hal baru. Perpustakaan juga dapat dijadikan sebagai tempat berkumpulnya komunitas komunitas dari berbagai disiplin ilmu untuk membuat sebuah gebrakan baru. Inilah yang membuat perpustakaan menjadi ruang kolaborasi partisipatif yang menciptakan sebuah ruang untuk generasi milenial yang sangat atraktif.
Uniknya, perpustakaan yang menerapkan pola ini adalah perpustakaan dan taman baca di desa-desa. Mereka sangat luwes sekali dalam mengembangkan perpustakaan menjadi ruang belajar yang superduper atraktif. Di Malang kita bisa menemui Taman Baca Gang Akil, Perpustakaan Gang Tato, Perpustkaan Anak Bangsa, Gubuk Baca lentera Negeri. Letak perpustakaan itu sangat dekat dengan kebutuhan rakyat karena lokasinya memang di desa. Di perkotaan kita bisa menemui Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang, Gubuk Tulis, Tjangkir 13, dan perpustakaan menarik lain yang dikemas dalam bentuk kafe, bukan penjara. Semakin banyak ruang baca seperti ini maka sesungguhnya semakin banyak opsi yang dimiliki masyarakat untuk mengembangkan diri.
Aturan dilarang makan dilarang minum di perpustakaan, aturan membaca harus diam, dan aturan jam berkunjung di perpustakaan harusnya diluweskan lagi. Hal ini dapat dipraktikan di perpustakaan sekolah. Menurut Roem Topatimasang, sekolah berasal dari kata scholae yang berarti waktu luang. Itu berarti bahwa sekolah dan segala fasilitas serta sarana prasarananya haruslah membuat anak senang untuk belajar. Tradisi membaca menulis di sekolah tentu tak layak apabila diperlakukan seperti di penjara.
Aturan-aturan yang terlalu mengekang seperti itu hanya membuat perpustakaan seperti jeruji besi penjara yang menjadikanya angker dan tak mau dikunjungi siswa. Pustakawan sekolah harusnya lebih atraktif dan inovatif dalam bekerja. Tidak melulu mengurusi proses administratif karena lambat laun proses administratif tersebut dapat dilaksanakan oleh program-program komputer yang semakin canggih.
Pustakawan sekolah harus mampu membuat gebrakan baru, menjadikan perpustakaan sebagai ruang yang meriah agar anak betah dalam bejalar dan dengan senang hati mengunjungi perpustakaan. Di Beijing, ada perpustakaan yang menyediakan tempat tidur. Hal itu bertujuan agar pembaca yang capek bisa tidur dan selepas penatnya hilang baru bisa membaca lagi. Aturan untuk menertibkan perpustakaan memang perlu, tapi apabila aturan itu sangat mengikat maka siswa siswi akan lebih cinta pada digital library yang ada dalam gawainya daripada perpustakaan sekolahnya sendiri.
Perpustakaan sekolah bukanlah kulkas yang kaku beku dan hening, melainkan sebuah ruang kolaboratif siswa untuk saling berinteraksi dan mengembangkan bakatnya. Apabila perpustakaan sekolah ini dibuat seunik sanggar belajar maka bukanlah tidak mungkin siswa-siswi akan semakin betah berkunjung ke perpustakaan. Lagipula apabila perpustakaan dibuat semenarik mungkin suasananya, maka anak dengan suka rela akan ikut menjaga kebersihan dan koleksi perpustakaan itu. Mereka ikut memiliki perpustakaan karena menganggap perpustakaan sebagai markas atau tempat menarik untuk dijadikan jujukan istirahat belajar.
Semoga aksi inovasi ini dapat terlaksana dan tidak hanya diterapkan di perpustakaan sekolah serta perpustakaan di desa desa, tapi juga merambah hingga di perpustakaan kota dan masuk pada kurikulum yang digunakan untuk mendidik para pustakawan muda.
———- *** ———–

Rate this article!
Ruang Baca Generasi Z,5 / 5 ( 1votes )
Tags: