Ruang Deliberasi Hukum dalam Konflik Agraria

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Konflik Agraria FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jawa Timur

Persoalan konflik agraria adalah persoalan struktural yang sangat kompleks dan multidimensional. Selain terkait dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi, juga terkait dengan masalah hukum. Ada problematika hukum yang bersifat dualisme, yakni hukum negara dan hukum rakyat yang masing-masing mempunyai dasar klaim kebenaran dengan logika sendiri-sendiri. Negara menempatkan hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi dari wujudnya yang bersifat substantif (berkandungan etis dan moral keadilan) ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal, eksklusif, dan lebih berorientasi pada aspek legal-prosedural yang ditopang oleh lembaga birokrasi negara.

Sementara hukum rakyat pada umumnya bersifat lokal, memiliki kekuatannya dalam wujud realitasnya sebagai pola perilaku (pattern of actual behaviour) (Musta’in, 2007:63-65). Dalam konteks hukum rakyat ini, masyarakat menempatkan hukum rakyat atau kebiasaan sebagai pijakan norma, tradisi bersama dalam hidup bermasyarakat. Hukum yang berbentuk tidak tertulis itu secara turun-temurun dipertahankan sebagai sesuatu yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, membentuk identitas sosial lokal yang unik dan membedakannya dengan hukum negara yang tertulis (Wiratraman, dkk, 2014:11)

Eskalasi Konflik Agraria

Konflik agraria di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang. Meskipun rejim pemerintahan sudah berganti beberapa kali, konflik agraria bukannya semakin mereda, tetapi justru semakin meningkat dan meluas, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal dapat dilihat dari data yang dirangkum oleh Konsorsium Pembaruan (KPA). Setiap tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) secara rutin merekam kasus-kasus konflik agraria struktural yang pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 2018, KPA mencatat sedikitnya ada 410 kasus konflik agraria yang mencakup luasan wilayah konflik sebanyak 807.177,613 ha dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia.

Dengan demikian, secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015-2018) pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria.dari jumlah itu, konflik tanah perkebunan masih menempati posisi tertinggi sebagai penyumbang konflik, 144 (35%) kasus, diikuti sektor properti 137 (33%) kasus, sektor pertanian 53 (13%) kasus, pertambangan 29 (7%) kasus, sektor kehutanan 19 (5%) kasus, sektor infrastruktur 16 (4%) kasus dan sektor pesisir/kelautan dengan 12 (3%) kasus. Masih tingginya letusan konflik agraria di sektor perkebunan ini, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen dan tindakan yang serius untuk menyelesaikan konflik agraria yang disebabkan oleh kebijakan dan praktik pembangunan serta perkebunan di Indonesia. Konflik ini akan terus berlanjut dan berkepanjangan seiring dengan masifnya industrialisasi yang dilegalisasi oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.

Noer Fauzi Rachman (2016), menyebutkan bahwa penyebab utama dari konflik agraria bersumber dari adanya dominasi sistem penguasaan tanah yang berasal dari hukum negara, di mana negara secara sepihak memberikan layanan begitu besar pada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam mengelola tanah dan kekayaan alam lainnya, termsuk hasil-hasil hutan. Sementara itu, hak-hak masyarakat setempat yang telah lama hidup dan mengembangkan suatu sistem tersendiri untuk mengelola tanah dan kekayaaan alam lainn tersebut diabaikan dan dilanggar begitu saja. Bahkan yang terjadi tidak hanya dominasi satu sistem hukum (baca: hukum negara), tapi juga praktek dominasi negara atas masyarakat yang diwarnai dengan unsur-unsur kekerasan secara struktural (structural violance), karena sumber utamanya datang dari aparatus negara.

Ruang Deliberasi Hukum

Karena itu, untuk mereduksi ketegangan dan konflik hukum dalam konflik agraria, pemerintah perlu untuk melakukan, Pertama, perlu ada pembacaan dan pemahaman baru tentang relasi keduanya (hukum negara dan hukum rakyat). Negara dengan sistem hukumnya yang legal-formal, perlu memahami bahwa ada kelemahan internal dalam sistem hukum negara. Kelemahan tersebut dapat ditutup dengan mengakui, menghormati, dan melindungi keberadaan hukum rakyat yang sudah puluhan tahun menjadi bagian inheren dalam kehidupan komunitas lokal, termasuk dalam urusan pengaturan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. Keberadaan dan kebutuhan hukum rakyat/adat, dalam pandangan Sumardjono, masih dibutuhkan dalam penyelesaian konflik agraria. Hukum adat/rakyat diperlukan sebagai unsur yang bersifat komplementer untuk melengkapi norma yang belum diatur dalam hukum negara, tetapi dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung muatan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat (Soemardjono, 2018:1-2). Eksistensi dan keberlakuan hukum rakyat/adat dalam tata kelola sumber-sumber agraria memiliki dasar sosio-historis yang kuat dan tidak dapat hilangkan begitu saja. Hukum negara perlu untuk mengakomodir hukum yang hidup, berkembang dan masih terus-menerus dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas lokal (the living law).

Kedua, untuk mengatasi kemacetan hukum (dualisme hukum dalam konflik agraria), pemerintah perlu untuk membangun sistem komunikasi tepat guna dan negosiatif, bagaimana caranya keluar dari konflik dualisme hukum yang berkepanjangan dan agar tidak ada disparitas yang jauh antara UU/pembentuk hukum dengan kondisi sosio-kultural masyarakat yang hendak diatur (Bertens, 2014:318-319). Dalam pemikirannya Habermas disebut sebagai tindakan komunikatif. Tindakan ini dilakukan sebagai respon sekaligus kritik atas relasi hukum, dan sosial-ekonomi masyarakat kapitalis yang sangat timpang. Sistem kapitalis dan produk hukum yang berkarakter kolonialistik, sarat dengan unsur dominasi, manipulasi, dan ekspolitasi. Praktik dan relasi seperti ini yang ingin didekonstruksi dengan tawaran tindakan komunikatif yang membebaskan, penuh egaliter, dialogis-argumentatif, untuk menuju suatu konsensus baru yang berkeadilan (Bertens, 2014:324).

Dalam konteks negara demokrasi, hukum sebagai produk dari sebuah konsensus harus dihasilkan melalui sebuah proses demokrasi deliberatif, dimana hukum yang diproduksi negara harus melalui proses diskursus dan diskusi yang pertisipatif dan terbuka, dimana masing-masing pihak diberi ruang dan peluang yang sama dan setara dalam mengemukakan argumentasi (rasional) yang relevan. Setiap argumentasi dapat dikritik, diubah, bahkan diganti sesuai dengan kesepakatan yang baru (Bertens, 2014:318-319). Artinya harus ada komunikasi dan dialog yang setara, tidak ada dominasi dan tekanan, antara negara dan masyarakat Bongkoran dalam mencapai sebuah konsensus baru yang lebih berkeadilan.

———- *** ———–

Tags: