Rudi Fofid, Penyair Asal Ambon Tertarik Kunjungi Situbondo

Rudi Fofid saat melayani permintaan peserta muktamar sastra dan santri Salafiyah Syafiiyah Sukorejo untuk berbincang sastra kedepan. [sawawi]

Pilih Menghadiri Muktamar Sastra di Sukorejo Ketimbang ke Christ Maskerol
Kab Situbondo, Bhirawa
Ada banyak hal yang tersisa dari perhelatan muktamar sastra di ponpes (pondok pesantren) Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo beberapa waktu lalu. Muktamar sastra yang dihadiri Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dan KH Mustafa Bisri, serta sastrawan nasional dan pelaku seni di tanah air itu menghasilkan banyak hal bagi peningkatan sastra di bumi nusantara. Satu butir diantaranya berharap adanya peran maksimal dari kalangan santri untuk berkiprah di dunia sastra.
Diantara barisan sastrawan nasional di kursi undangan VIP muktamar sastra, ada sosok Rudi Fofid, penyair asal Ambon Maluku. Dalam muktamar sastra, pria penampilan rambut gimbal itu banyak mendapat perhatian dari para santri karena Rudi Fofid merupakan penyair non muslim, yang hadir di muktamar sastra di Ponpes Salahfiyah Syafiiyah.
Malam itu penutupan muktamar baru saja usai. Jalanan yang ada di depan masjid besar Sukorejo yang awalnya dipenuhi oleh ribuan pengunjung perlahan mulai lengang. Beberapa sastrawan dan penyair yang sebelumnya diundang sebagai pemateri muktamar sastra, juga beranjak turun dari atas pentas.
Mereka kemudian menuju tempat menginap yang disediakan panitia di gedung SMA Ibrahimy, yang berada dalam satu kompleks ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Namun sayang, Emha Ainun najib (Cak Nun), tokoh nasional yang sebelumnya diharap bisa mengisi malam penutupan muktamar sastra ternyata tidak hadir. Beberapa santri yang sejak awal menunggu Cak Nun tampak kecewa.
Namun, hal itu tidak lantas memupuskan harapan para peserta muktamar dan kalangan santri. Meski tidak ada Cak Nun, ternyata ada penyair gondrong asal Ambon Maluku yang menarik perhatian mereka. Dia adalah Rudi Fofid, penyair sekaligus penulis cerita anak asal Ambon. Rudi Fofid ini memang tampak berbeda dengan penyair lainnya. Sebab dia merupakan penyair yang notabene non muslim. Meski begitu, saat acara penutupan muktamar berlangsung, tanpa canggung pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, KHR Ach Azaim Ibrahimy ikut memeluknya.
Pelukan dan apresiasi dari seorang tokoh muslim sekaliber Kiai Azaim yang juga cucu pahlawan nasional KHR Asad Samsul Arifin tentu menjadi kenangan manis bagi Rudi Fofid. Pria berambut kribo dengan jenggot dikuncir ini bahkan mengaku sangat bangga dan merasakan sentuhan cinta dari Kiai Azaim Ibrahimy.
“Jadi berbicara soal Indonesia itu adalah berbicara persaudaraan. Umat Islam adalah satu bangsa dengan kita. Maka umat Kristen harus sayang ke Islam. Jika umat Kristen tidak sayang ke Islam atau kepada Hindu dan Budha, maka bararti dia telah gagal menjadi umat Kristen,” ungkap Rudi Fofid.
Karena itu, kata Rudi Fofid, menegeaskan meskipun tempat yang didatangi adalah komunitas orang yang berbeda agama dengan dirinya, ia tetap hadir untuk memberikan perhatian dan apresiasi atas pelaksanaan muktamar sastra. Apalagi, aku Rudi, disaat yang sama ia ada acara lain di Christ Maskerol (perayaan di luar gereja). “Jadi semua disana bisa nyanyi lagu-lagu. Namun saya tidak datang dan memilih ke ponpes Sukorejo, ikut menghadiri muktamar sastra,” tegas Rudi Fofid.
Lebih lanjut Rudi Fofid menegaskan, acara seperti muktamar sastra ini harus terus mendapat tempat dan intens dilaksanakan. Sebab dengan acara seperti ini, menurut Rudi, akan terbangun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Selama ini, urainya, terlalu banyak tuntutan dari minoritas kepada mayoritas karena minoritas selalu menggambarkan diri sebagai tertindas.
“Harus diingat, apakah betul selamanya yang besar (mayoritas) itu kuat. Ada orang yang membuat islam indonesia tidak stabil. Jadi yang ditolong adalah umat Islam. Sebab kalau umat islam kuat, dia akan mampu melindungi semua minoritas. Jadi tugas negara adalah membantu islam agar di dalam tidak keropos,” terangnya.
Disisi lain, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo KHR Azaim Ibrahimy mengatakan pesantren adalah dunia sastra sesungguhnya. “Sastra telah menjadi denyut bagi pesantren sejak zaman dulu. Hampir 24 jam aktivitas santri dipenuhi dengan sastra,” kata KHR Azaim Ibrahimy.
Kiai Azaim mengemukakan, kebiasaan di pesantren seperti zikir dalam bentuk syiiran dan pembacaan nadzom, termasuk puji-pujian kepada Allah dan Rasul-Nya menjelang shalat, syarat dengan nilai sastra.”Kitab kuning (klasik) yang dipelajari santri juga mengandung sastra. Bahkan, Al-Qur’an sendiri juga mengandung nilai-nilai sastra, termasuk bacaan-bacaan barzanji dan diba,” ujar kiai Azaim.
Terpisah, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, mengapresiasi digelarnya Muktamar Sastra Nusantara 2018 dengan tema “Menggali Kenusantaraan Membangun Kebangsaan”. Bahkan, Menteri Lukman berjanji kegiatan tersebut akan menjadi agenda rutin tahunan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. “Sejauh saya memiliki kewenangan, saya menjamin Muktamar Sastra ini akan terus berlangsung,” terang Menteri Lukman.
Masih kata Menteri Lukman, ia mengaku akan bertanggungjawab untuk memfasilitasi forum-forum seperti halnya Muktamar Sastra, agar kesusasteraan tetap menjadi arah orientasi untuk menata kehidupan ke depan yang lebih baik. “Saya menggaris bawahi bahwa sastra dan Islam dalam konteks Indonesia merupakan sesuatu yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan,” imbuh Menteri Lukman.
Menteri Lukman sangat mengapresiasi perhelatan Muktamar Sastra nusantara yang merupakan pertama kalinya di Indonesia. Ini semakin menegaskan, tegasnya, karena peran pesantren dalam memperkuat persatuan dan kesatuan Indonesia sudah terbukti. “Perhelatan Muktamar Sastra ini sangat penting dan tepat waktu. Kedepan kegiatan semacam ini akan kami fasilitasi,” tegasnya. [sawawi]

Tags: