Rumah Bung Karno Kecil di Ploso Roboh, Tinggal Pondasi dan Bongkahannya

Rumah Koesno Sosrodihardjo (Soekarno kecil) yang saat ini hanya tinggal pondasi dan bongkahan di Desa Rejoagung, Ploso, Jombang. [Arif Yulianto]

Menggali Sejarah Bung Karno di Jombang (bagian – 1)
Kab Jombang, Bhirawa
Juni merupakan bulan kelahiran dan juga wafatnya Bapak Bangsa dan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno. Di banyak tempat, tanggal wafatnya Bung Karno diperingati dengan acara haul Bung Karno disertai doa bersama seperti di Makam Bung Karno di Blitar maupun di Situs Persada Soekarno di Ndalem Pojok, Wates, Kediri yang juga merupakan tempat tinggal Sang Proklamator semasa kecil.
Tentang sejarah Bung Karno, Kabupaten Jombang rupanya juga memiliki hubungan historis yang kental dengan Putra Sang Fajar. Salah satu tempat yang masih tersisa hingga saat ini yakni, rumah tempat tinggal Soekarno kecil di Dusun Rejoagung, Gang Buntu, Desa Rejoagung, Ploso, Jombang.
Meski bangunan rumah tempat tinggal Soekarno di Ploso kini telah roboh sekitar lima tahun lalu, namun sejarah keberadaan Soekarno kecil di tempat tersebut tentu tidak bisa hilang seiring berputarnya roda zaman. Miris memang jika membandingkan kebesaran sosok Soekarno dengan kondisi tempat tinggalnya semasa kecil di Ploso, Jombang yang saat ini hanya tinggal pondasi dan bongkahannya.
Seperti dituturkan Khoirul (46), orang yang saat ini merawat lahan kebun milik almarhum Solikan, pemilik kebun dan rumah tempat tinggal Soekarno kecil di Ploso, Jombang, menurut cerita yang ia dapat, Soekarno kecil pernah tinggal di rumah tersebut bersama orang tuanya saat ayah Soekarno, R Sukeni Sosrodihardjo yang seorang guru mengajar di salah satu sekolah di Ploso.
“Waktu bapaknya mengajar di Ploso, Bung Karno tinggal di sini (Dusun Rejoagung Gang Buntu, red),” tutur Solikan kepada media ini, Sabtu (22/6).
Khoirul sendiri telah merawat lahan kebun milik almarhum Solikan sejak empat tahun belakangan. Sebelum dirinya, beberapa orang terdahulu tercatat merawat lahan milik almarhum Solikan tersebut.
Ia ingat persis, sebelum roboh, rumah tersebut dulunya merupakan bangunan rumah menghadap ke timur yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang terdiri dari teras, dua buah kamar, satu ruang tamu, dan satu buah ruang untuk dapur. Sementara, kamar mandi dan sumur terpisah dari bangunan utama, terletak di belakang sisi utara dapur rumah.
“Dulu pemilik rumah ini punya bendi katanya, semasa Bung Karno masih kecil saat tinggal di sini, pernah juga dinaiki Bung Karno,” tuturnya lagi.
Pernah suatu ketika si empunya lahan dan rumah mengatakan, boleh saja jika didirikan bangunan rumah untuk kepentingan pelestarian sejarah dengan catatan rumah tersebut tidak dijual. Seperti kondisi di lapangan saat ini, kondisi rumah tempat tinggal Bung Karno ini hanya tinggal pondasi dengan berbagai tanaman yang tumbuh. Bongkahan kayu bekas rumah masih tampak tertumpuk di sebelah belakang.
Sementara itu, menurut Kushartono, sejahrawan yang juga merupakan keluarga Ndalem Pojok, Wates, Kediri, Bung Karno merupakan putra terbaik bangsa ini. Bung Karno merupakan Bapak Bangsa, Penyambung Lidah Rakyat, Sang Proklamator, Peletak dasar negara dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Dipundaknya Indonesia sangat dikagumi dunia. Ayahnya bernama Raden Sukeni Sosrodiharjo, keturunan Sultan Kediri, ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Ray Srimben, keluarga Raja Buleleng Bali.
“Berdasarkan catatan tulisan tangan Bapaknya, Soekarno lahir tanggal 6 Juni 1902 di Surabaya, dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Enam bulan sebelumnya, 28 Desember 1901 ayahnya telah pindah tugas dari Surabaya ke Ploso, Jombang,” terang Kushartono.
Saat tinggal di Jombang inilah, sambung Kushartono, Koesno sakit keras, kemudian di bawalah Koesno ke Kediri untuk berobat. Tinggal beberapa lama di Kediri hingga sembuh. Sampai kemudian nama Koesno diganti menjadi Soekarno atas saran dari tabib Den Mas Mendung alias Raden Pandji Soemosewoyo di Ndalem Pojok, Wates, Kediri.
“Setelah di Kediri, Soekarno sempat di Tulungagung, kemudian tanggal 23 November 1907 pindah lagi dari Jombang ke Sidoarjo. Satu setengah tahun kemudian, tanggal 22 Januari 1909 baru pindah ke Mojokerto,” pungkasnya. [Arif Yulianto]

Tags: