Rumah Kost Menjamur, Rawan Masalah Sosial

Petugas menempelkan stiker imbauan warga luar Kota Surabaya wajib mengurus SKTS di dinding salah satu rumah kos di Jojoran Baru saat operasi yustisi, Selasa (12/7) kemarin. [Gegeh Bagus/bhirawa]

Petugas menempelkan stiker imbauan warga luar Kota Surabaya wajib mengurus SKTS di dinding salah satu rumah kos di Jojoran Baru saat operasi yustisi, Selasa (12/7) kemarin. [Gegeh Bagus/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
menjamurnya rumah kost yang dihuni warga pendatang, memicu peningkatan kerawanan soial di kota Surabaya. Pemerintah kota sendiri belum mampu secara optimal menekan tingkat kerawanan sosial akibat membludaknya penduduk musiman di rumah-rumah kost, termasuk ketiadaan data jumlah rumah kost yang beroperasi di Surabaya.
Bukti potensi kerawanan sosial akibat menjamurnya rumah kost ini dapat dilihat dari hasil operasi Yustisi yang digelar Dispendukcapil kota Surabaya , Selasa(12/7). di wilayah Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng.
Operasi Yustisi kemarin melibatkan  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) bersama petugas kecamatan Gubeng, Kelurahan Mojo, serta Satpol PP dan kepolisian setempat  dengan  target operasi di Jojoran Baru yang dikenal banyak rumah kost beroperasi.
Operasi yustisi ini menyasar warga pendatang yang tinggal di kos-kosan wilayah Jojoran Baru. Ada sebanyak 25 warga pendatang yang kedapatan tidak memiliki Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) dan di dikenakan tindak pidana ringan (Tipiring) dengan menerbitkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di lokasi.
BAP sendiri dibuat agar para pendatang yang tidak memiliki SKTS ini jera, agar segera mengurusnya. Apalagi, saat ini pengurusan SKTS sudah bisa secara online di website Dispendukcapil. Dasar hukum tipiring, Pasal 9 Perda Kota Surabaya 14/2014 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal itu menyebutkan, setiap penduduk WNI yang tinggal sementara selama tiga bulan berturut-turut wajib memiliki SKTS. Para pendatang yang telah terdata BAP akan mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Surabaya pada, Rabu (20/7) mendatang.
Yang menarik dari operasi kemarin adalah munculnya fakta, pihak Pemkot bahkan sampai tingkat kelurahan tidak punya data valid tentang keberadaan rumah kost. Lurah Mojo Maria Agustin membenarkan bahwa pihaknya sampai sekarang belum mengantongi jumlah indekos di wilayahnya. Menurutnya, dari perkiraan ada sekitar 400-600 rumah yang disewakan jadi kos-kosan.
“Ini kami lagi mulai mendata jumlah kos-kosan yang ada di wilayah Mojo. Seharunya pemilik kos wajib melaporkan ke kami bahwa rumahnya dijadikan kos-kosan. Kalau pemilik kos tidak melaporkan itu bisa menyebabkan kerawanan sosial, mulai agama yang menyimpang dan perbuatan asusila,” kata Maria pada Bhirawa disela operasi yustisi yang digelar oleh Dispendukcapil Kota Surabaya bersama jajaran kepolisian di Jojoran Baru, kemarin.
Perempuan berjilbab ini menerangkan, dari 400-600 jumlah indekos di wilayahnya ini semua pemilik indekos tidak pernah melaporkan ke Kelurahan kalau mendirikan indekos. Sementara, selama ini yang sudah mengurus Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) di wilayah Mojo ada sekitar seribu warga pendatang yang didominasi mahasiswa.
Dengan dilakukan operasi yustisi paca libur lebaran kali ini, kata Maria untuk menekan urbanisasi di Kota Surabaya. “Selain itu, menekan warga pendatang supaya ada kejelasan terkait pekerjaannya,” ulasnya.
Bahkan, Maria menemukan salah satu warga penghuni kos yang sudah mengantongi SKTS tapi belum memiliki pekerjaan. Ia menyarankan ke pihak RT untuk tidak memperpanjang SKTS tersebut. “Mohon, kalau bisa nanti pada 3 Agustus itu jangan diperpanjang, suruh kembali saja ke daerah asalnya,” kata Maria kepada Ketua RT 8 RW 12 Kelurahan Mojo, Sunardi.
Permintaan Maria tersebut ditanggapi langsung oleh Sunardi. Ketua RT 8 ini mengatakan, ada delapan rumah yang dijadikan indekos dengan penghuni sekitar 150 warga pendatang.
Menurutnya, operasi yustisi yang dilakukan pada pagi hari dinilai kurang efisien. Sebab, para penghuni indekos banyak yang bekerja. “Saya rasa kurang efisien kalau dilakukan pagi hari. Buktinya dari 150 orang, hanya 5 orang yang terjaring karena tidak memiliki SKTS. Itupun yang terjaring saat berada di kos,” katanya.
Selain Sunardi, Ketua RT 9 RW 12 Kelurahan Mojo, Suhardi juga menjelaskan, pemilik indekos kebanyakan tidak melaporkan ke pihak pengurus RT bahwa ada penghuni baru. Padahal, pihaknya sering kali memberi tahu kalau ada penghuni baru untuk segera melaporkan ke pengurus kampung untuk diarahkan mengurus SKTS.
“Tuan rumah (pemilik kos) ini mbeling tidak mau melaporkan ke kami. Saya juga pernah mengusir penghuni kos karena setiap kali diarahkan untuk segera mengurus SKTS. Setelah ada kejadian pencurian di tetangga kamar kos itu barangnya habis semua, terus kalau sudah seperti ini siapa yang tanggung jawab,” tanyanya.
Sementara, Kepala Bidang Perencanaan dan Perkembangan Dispendukcapil Kota Surabaya, Arief Budiarto menjelaskan bahwa operasi yustisi bisa saja dilakukan pada malam hari. Namun, hal itu dikhawatirkan kantor pengadilan untuk menyidang warga pendatang yang tidak memiliki SKTS penuh.
“Kalau malam hari bisa saja, dan itu pasti kami akan mendapatkan lebih banyak warga yang tidak memiliki SKTS. Masalahnya, nanti saat sidang di pengadilan akan penuh dan sesak,” dalihnya. [geh]

Tags: