Rumah Tanpa Listrik, Andalkan Hidup dari Berjualan Bunga

 Tarmidi, veteran perang mantan anak buah Mayjend Sungkono yang kini masih tetap berjuang dalam kemiskinan dan beratnya kehidupan.


Tarmidi, veteran perang mantan anak buah Mayjend Sungkono yang kini masih tetap berjuang dalam kemiskinan dan beratnya kehidupan.

Kabupaten Nganjuk, Bhirawa
Gegap gempita peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-69 dan kemeriahan perayaan 17 Agustus, sangat bertolak belakang dengan nasib sejumlah pejuang veteran kemerdekaan. Kisah nestapa Prajurit Satu (Pratu) Purnawirawan Tarmidi, menggambarkan seolah perjuangan mantan anak buah Mayor Jendral Sungkono tidak kunjung berakhir.
Di masa aktif sebagai tentara, Tarmidi berjuang bertaruh nyawa merebut kemerdekaan bagi Indonesia. Namun setelah kemerdaan berhasil diraih, nasib Tarmidi yang kini tinggal di  Dusun Kandek Desa Waung Kecamatan Baron belum merdeka. Saat ini kakek kelahiran 20 Desember 1927 silam, tetap berjuang melawan kemiskinan dan sulitnya hidup sekadar mengisi perut.
Tarmidi dalam memerangi kemiskinan tetap tegar dengan berjualan bunga tabur makam. Bunga mawar, kenanga dan kantil dipetik dari halaman rumahnya lalu diletakkan di meja depan rumahnya. Sementara Karsinem (71),  istri Tarmidi berbaring lemah di ranjang tua karena sakit stroke.
Gaji Tarmidi sebagai pensiunan tentara ditambah dana kehormatan veteran sekitar Rp 1,5 juta per bulan, itu pun dipotong utang koperasi Rp 677 ribu. Praktis Tarmidi setiap bulan hanya mengantongi uang Rp 450 ribu dan pasti tidak cukup untuk biaya hidup sebulan. Apalagi saat ini sisa gaji yang diterimanya habis untuk biaya pengobatan istrinya. Karena penghasilan yang sangat minim itu, Tarmidi yang tinggal di rumah sederhana berukuran 4×9 meret tersebut harus hidup tanpa listrik. “Untuk menyambung hidup saja, saya jualan bunga sejak 1970. Hasilnya ya buat makan sehari-hari, meski seringkali tidak cukup. Karena itu tidak mungkin saya bisa pasang dan bayar listrik,” kata mbah Tarmidi.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa ingatan, Tarmidi menceritakan masa pertempuran perang kemerdekaan. Saat TNI masih bernama Tentara Republik Indonesia (TRI), Tarmidi muda bergabung di Batalyon TRI 6010 Rampal Mojokerto, pada saat itu dibawah komando Divisi 7 Narotama di bawah pimpinan langsung Mayor Jendral Soengkono. “Pada 1945 sampai 1949, saya ditugaskan di daerah Gresik, kemudian setelah perjanjian Renvile 1950 dan TRI berubah menjadi TNI, saya bergabung dengan Batalyon 131 Kediri yang bermarkas di daerah Minggiran, hingga pensiun,” terang Tarmidi.
Niatnya menjadi tentara saat itu, hanyalah untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Tarmidi berjuang mulai dengan bersenjata bambu runcing hingga menenteng senapan karaben hasil rampasan dari tentara Jepang. Tarmidi juga mengisahkan saat nyawanya nyaris melayang saat markasnya yang berada di Sumberbendo Sidoarjo dibombardir Belanda. “Saat itu Mayor Jendral Soengkono menembakkan canon empat kali, tapi dibalas tembakan mortir berkali kali dan jatuh di markas Hizbullah yang berdekatan dengan markas saya,” cerita Tarmidi dengan sisa semangat tuanya.
Ketika kemerdekaan sudah sepenuhnya milik Republik Indonesia, Tarmidi memilih pensiun dengan tanpa pangkat dan gaji. Maka kembalilah dia ke kampung halamannya di Dusun Kandek Desa Waung, Baron.
Baru pada sekitar 1979, ada pengumuman pemerintah bahwa siapapun yang merasa berjuang membela Tanah Air bisa mendaftarkan diri untuk didata sebagai veteran dan mendapat gaji pensiun dari pemerintah. “Saat itulah saya resmi mendapat pangkat Pratu dan menerima gaji dari pemerintah,” tuturnya.
Jasa Tarmidi dalam merebut kemerdekaan seperti diabaikan bahkan dilupakan oleh para petinggi Kabupaten Nganjuk. Undangan dari pemerintah saat peringatan 17 Agustus juga tidak pernah mampir ke gubuk Tarmidi. Tarmidi tidak berharap sanjungan atau pujian dari siapapun, tetapi dia ingin agar jasa para pejuang kemerdekaan tidak dilupakan oleh generasi penerus bangsa dan penyelenggara negara. [ris]

Tags: