Runtuhnya Hoax CoViD-19 dan Anti-Vaksinasi

Merdeka dari “Penjajahan” Pandemi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Pandemi itu seperti kawah candradimuka yang menguji, yang mengajarkan, dan sekaligus mengasah. Pandemi memberikan beban yang berat kepada kita, beban yang penuh dengan risiko, dan memaksa kita untuk menghadapi dan mengelolanya. Semua pilar kehidupan kita diuji, semua pilar kekuatan kita diasah. Ketabahan, kesabaran, ketahanan, kebersamaan, kepandaian, dan kecepatan kita, semuanya diuji dan sekaligus diasah. ”

(Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, di hadapan Sidang MPR, 16 Agustus 2021)

Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-76, seolah-olah masih terbelenggu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarajat). Juga dalam suasana ke-terpuruk-an ekonomi seluruh keluarga dampak wabah pandemi CoViD-19. Belum bebas bekerja, belum bebas berusaha, belum bebas sekolah, serta belum bebas berkumpul. Tetapi semangat memperkokoh ketahanan di segala bidang (terutama kesehatan, dan pangan) tetap menggelora. Masyarakat (dan pemerintah) gigih berupaya bangkit dari “penjajahan” pandemi dengan mematuhi protokol kesehatan.

Kinerja Satgas penanganan CoViD-19, terutama jajaran tenaga kesehatan (Nakes) patut diapresiasi. Angka ke-sembuh-an terus naik pesat melebihi angka kematian. Pemerintah mencatat kasus baru harian CoViD-19 (per-16 Agustus) sebanyak 17.384 orang. Angka kematian sebanyak 1.245 jiwa. Sedangkan ke-sembuh-an mencapai 29.925 orang. Namun angka kematian tidak lagi sebagai kategori assesmen level ke-darurat-an. Karena dikhawatirkan tidak valid.

Walau terus menurun, tetapi angka kematian masih tertinggi di dunia. Bisa jadi realita angka kematian lebih tinggi, karena “tersembunyi” di pedesaan. Sekaligus menjadi faktor penularan CoViD-19 yang masih tinggi. Ironis, bagai terdapat “dikhotomi” tentang validitas angka kematian. Masih banyak masyarakat menduga rumahsakit telah “meng-CoViD-kan” sanak keluarga yang meninggal di rumahsakit. Sehingga masih banyak terjadi “rebutan” jenazah. Tak jarang berkonsekuensi hukum terhadap masyarakat.

Sesuai guideline Badan Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization), angka kematian menjadi salahsatu tolok ukur ke-darurat-an. Assesemen level 4, meliputi lebih dari 5 kasus meninggal per-100 ribu penduduk (0, 005%). Di Surabaya misalnya (per-10 Agustus), dilaporkan jumlah kematian akibat CoViD-19 sebanyak 11 jiwa. Berdasar assesmen level 4, seharusnya mencapai 148 jiwa. Artinya, Surabaya masih di bawah level 1 (kematian sebanyak 1 kasus per-100 ribu penduduk).

Mengendalikan Pandemi

Guideline WHO tentang level ke-darurat-an, juga meliputi tingkat hunian rumahsakit (dan tampungan yang dianggap setara rumahsakit). Sudah semakin banyak bed kosong yang ditinggal pulang pasien yang sembuh. BOR assesmen level 1 sebanyak 5 kasus per-100 ribu penduduk. Serta jumlah kasus positif harian sebanyak 20 orang per-100 ribu penduduk. Berdasar kalkulasi guideline WHO, di Jawa Timur, masih di bawah assesmen level 2.

Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Inmendagri Nomor 34 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4, 3, 2. Daerah yang melaksanakan level 4 telah berkurang. Di Jawa Timur tersisa 20 kabupaten dan kota (dari seluruhnya 38 daerah). Artinya, Jawa Timur makin cakap mengendalikan pandemi. Daerah yang turun level 4, 3, dan 2, ke-darurat-an umumnya kota-kota kategori sedang. Antara lain, Sumenep, Ngawi, Ponorogo, Bondowoso, Kota Pasuruan, dan Kota Probolinggo.

Bahkan presiden Jokowi telah merinci penurunan BOR di seantero Jawa. Di Jakarta, BOR tercatat hanya 29,4%, Jawa Barat (32%), Banten (33,4%), Jawa Tengah (38,3%), Jawa Timur (52,3%), dan DI Yogya (54,7%). Isolasi yang paling kondang, Wisma Atlet Jakarta, tersisa 19,64% bed yang masih ditiduri pasien. Di Lapangan Tembak Surabaya (milik Kodam V Brawijaya) sudah tidak berpenghuni. Di Solo, gedung Technopark, sebagai isolasi CoViD-19 terpusat, juga sudah ditutup. Selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pelatihan UMKM online.

Pemerintah mencanangkan vaskinasi meliputi 72,4% rakyat Indonesia (termasuk anak remaja), hingga mencapai herd immunity. Diperkirakan menyasar 214,1 juta jiwa, sehingga diperlukan sebanyak 428 juta dosis vaksin. Tidak mudah jika hanya mencadangkan vaksin impor. Indonesia wajib bisa memproduksi vaksin CoViD-19. “Kemandirian industri obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan masih menjadi kelemahan serius yang harus kita pecahkan.” Begitu kata presiden Jokowi di hadapan Sidang MPR.

Tetapi, pandemi telah mempercepat pengembangan industri farmasi dalam negeri, termasuk pengembangan vaksin merah-putih, dan juga oksigen untuk kesehatan. Pemerintah masih perlu menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga obat. Serta tidak ada toleransi, terhadap pelaku yang mempermainkan misi kemanusiaan dan kebangsaan menghadapi pandemi.

Runtuhnya Hoax

alau keparahan pandemi telah menurun selama 3 pekan terakhir, namun hoax tentang CoViD-19, masih terus ditebar di media sosial (medsos). Kementerian Kominfo RI, menjejaki terdapat 4.381 posting (unggahan) hoax. Paling banyak melalui facebook (3.728 posting), Twitter (567 unggahan). Juga YouTube (49), Instagram (35 unggahan), dan TikTok (2 unggahan). Kasus hoax, dipastikan bakal berakhir sebagai urusan Kepolisian. Sebagian (yang ringan) bisa dimaafkan setelah menyatakan kesalahan. Namun banyak yang berlanjut pada ranah Pengadilan pidana

Hoax pandemi telah dijejaki Polri sejak awal merebaknya CoViD-19, tahun . Pada bulan Mei tahun 2020, Polda Metro Jaya (Jakarta) telah meminta Kementerian Kominfo memblokir 218 akun di medsos. Sebanyak 110 akun berlanjut proses pidana. Ranah hukum berkait pandemi, bisa berdasar pada UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Serta berdasar KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) pasal 207 dan pasal 208 ayat (1).

UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, pada pasal 14 ayat (1), menyatakan, “Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.” Anehnya, konten berita bohong, luput dari UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada era teknlogi informasi 4. 0, hampir seluruh berita dan informasi akan tersalur melalui smartphone.

Sehingga penggunaan UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, merupakan “kejelian” Kepolisian yang patut diapresiasi. Penegak hukum juga memiliki pijakan lebih lex secialist. Yakni UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” Tidak mematuhi Kekarantinaan Kesehatan, diancam dengan pasal 93. Berupa pidana penjara paling lama satu tahun, dan atau denda sebesar Rp 100 juta.

Hukuman yang diterima penyebar hoax pandemi, juga dalam bentuk lain. Misalnya pembuat hoax tidak percaya CoViD-19, banyak yang terpapar pandemi. Menjalani isolasi mandiri, serta dirawat di rumahsakit rujukan. Sampai meninggal dunia, dikebumikan dengan protokol CoViD-19. Tidak ada yang mengantar jenazahnya ke kuburan, kecuali petugas pemulasaran, dan sopir ambulance. Juga tidak ada yang melayat di rumah duka. Walau sebenarnya, terpapar CoViD-19 bukan aib, bukan kriminal, bukan simbol dosa.

Pembuat hoax pandemi, nyata-nyata telah runtuh. Namun masih terdapat hoax tentang vaksinasi, umumnya bertema tuduhan konspirasi. Tetapi realitanya, masyarakat berbondong-bondong mendatangi lokasi penyuntikan vaksin. Penyelenggara sampai kewalahan mengatur kerumunan untuk menjamin protokol kesehatan. Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian, sampai kehabisan stok vaksin. Juga kelambatan memasukkan data suntik sebagai penggunaan tiap dosis vaksin.

Pembukaan UUD alenia keempat, menyatakan, kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki tujuan. Yakni, keinginan luhur untuk berkebangsaan yang bebas (tidak ditindas). Serta “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… .”

——— *** ———

Tags: