Runtuhnya Sebuah Kerajaan

Oleh :
Muhamad Pauji
Cerpenis dan aktivis organisasi kepemudaan OI

Beberapa dekade lalu, di salah satu kerajaan di daerah Baduy, Banten Selatan, terdapat sebuah perkampungan luas bernama dusun Cileget. Di dusun itu telah berganti raja-raja atau kepala-kepala suku Baduy yang memerintah kerajaan, sambil memelihara sebuah gua keramat yang menyimpan patung-patung misterius. Gua itu memiliki pintu gerbang yang kokoh dan terkunci rapat, dan hanya para raja-lah yang memegang kunci rahasia tersebut.
Tiapkali seorang raja wafat, kemudian berganti dengan raja lain yang berkuasa, ia akan menggantikan gembok baru yang terbuat dari besi baja, dan hanya dia sendiri yang berhak memegang kuncinya.
Suatu ketika, muncullah seorang lelaki ambisius, yang berhasil menggulingkan kerajaan di dusun Cileget, kemudian ia tampil menduduki singgasana dan tampuk kekuasaan. Raja baru itu bernama Sudarso yang datang entah dari mana. Padahal, ia tidak menguasai seluk-beluk tradisi kerajaan Cileget, juga tidak mengerti tabiat dan adat-istiadat penduduk setempat.
Setelah puluhan tahun memerintah, lalu mengalami dekadensi moral karena korupsi internal kerajaan, Raja Sudarso bersikeras memasuki gua misterius tersebut, lantaran ia menduga banyaknya harta-harta karun yang tersimpan di dalamnya.
“Mohon jangan lakukan itu, Tuan!” Beberapa kaki-tangan raja memperingatkan, serta memberi solusi terbaik, agar sang raja menggantikan gembok lama untuk pintu masuk gerbang gua tersebut. Raja itu memang belum pernah menggantikan kunci gembok sejak pertama kali ia memimpin kerajaan Cileget.
“Jangan coba-coba merintangi jalan hidup saya, karena saat ini saya-lah raja kalian! Dan saya berhak memutuskan apapun yang saya kehendaki!” teriak sang raja sambil bertolak pinggang.
Hasrat dan keinginan Raja Sudarso tak ada yang bisa menghalangi. Dengan tangannya sendiri, ia membuka dan membongkar paksa pintu gerbang yang sudah berabad-abad terkunci, hingga ia pun memaksakan diri masuk ke dalamnya.
Beberapa puluh meter setelah ia memasuki pintu gerbang gua, tampak ratusan patung yang terbuat dari batu-batu alam, dalam berbagai bentuk dan rupa. Ada yang berbentuk balatentara dengan tombak-tombak runcing di tangannya. Ada yang berbentuk wanita-wanita penenun dengan rambut terurai yang indah menawan. Ada seorang pangeran sedang duduk di atas kudanya, serta seorang kepala suku membawa tombak emas di tangannya. Pantulan bayangan mereka menggenangi lantai, dan menghiasi dinding-dinding gua. Kaki depan kuda yang ditunggangi sang pangeran, seakan mendompak ke udara, meski kuda itu tampak kokoh seimbang, dan tidak jatuh ke depan.
Patung-patung hebat itu tiba-tiba menanamkan rasa takut di hati sang raja. Mereka bagaikan mayat-mayat atau mumi-mumi yang diawetkan dengan lilin atau rempah-rempah dari pedalaman hutan Tana Toraja, serempak menghadap ke selatan. Untuk mengalihkan pandangannya, sang raja segera melangkah menuju ruang tengah, dan menemukan sebuah meja dan singgasana megah, bagaikan singgasana yang pernah diduduki Raja Sulaiman.
Meja itu penuh ukiran indah, seakan dipahat oleh tangan-tangan terampil para seniman kawakan. Seakan terbuat dari batu kalimaya berwarna-warni, yang diperoleh dari pedalaman hutan-belantara suku Baduy, laksana batu-batu sempur yang terpendam selama puluhan abad di kedalaman bumi.

***

Semakin dalam memasuki gua tersebut, Raja Sudarso menemukan lemari batu yang tersusun dalam bentuk tiga kotak rahasia yang kemudian dibukanya satu-persatu. Kotak paling atas, berisi sebuah buku dengan jilid tebal dan kusam, yang di dalamnya tertulis macam-macam syair dan mantra-mantra sakti dalam bahasa Sansekerta. Di kotak bagian tengah, ia menemukan buku berbahasa Arab dan Jawa kuno, perihal bintang-bintang dan ilmu falak, peta dunia dan sejarah Nabi Yusuf dan raja-raja yang pernah berkuasa di permukaan bumi, dari zaman ke zaman.
Kotak yang terakhir berisi buku berwarna putih yang sudah lusuh. Kertas bagian dalamnya juga agak keputihan, dengan huruf-huruf Melayu yang agak jelas terbaca. Buku itu berisi tentang sejarah kota-kota mati yang ditinggalkan penduduknya karena wabah penyakit menular. Pada bab-bab selanjutnya berisi macam-macam obat dan ramuan mujarab berikut cara meraciknya. Ramuan obat itu sudah memiliki nama-nama tersendiri, guna mengobati berbagai-macam penyakit yang menyerang tubuh manusia di manapun dan kapan pun, baik penyakit yang muncul berabad-abad lalu, maupun penyakit yang akan muncul berabad-abad mendatang.
Sang raja terbengong-bengong membaca buku itu. Ia pun membaca bab-bab yang membicarakan akan datangnya virus baru bernama “Corona” berikut nama ramuan yang akan menangkalnya. Di situ pun tertulis nama-nama varian dari virus tersebut, serta nama-nama penyakit degeneratif yang akan muncul bertahun-tahun atau beberapa dekade mendatang, berikut nama-nama ramuan penangkalnya pula.
Ia melipat buku itu dan bermaksud untuk segera membawanya keluar gua. Namun, ia belum terpuaskan sebelum memasuki ruang terakhir dan melangkah cepat ke dalam ruang tersebut. Ia mendapatkan cermin antik dan bundar, seakan cermin yang pernah dipergunakan oleh kerajaan Nabi Sulaiman, seakan terbuat dari senyawa logam mulia. Siapa pun yang memandang cermin antik itu, ia dapat melihat bapak dan leluhurnya di masa lalu sejak zaman Nabi Adam. Bahkan, ia pun dapat melihat keturunannya di kemudian hari, sampai menyaksikan datangnya hari akhir ketika para malaikat meniup sangkakala.
Sang raja menaruh buku putih itu di atas lantai, dan dengan serakahnya ia hendak melepas dan membawa cermin itu keluar dari pintu gua. Ia memukul catok penyangga yang sulit dilepas dengan sebongkah batu, hingga cermin itu pun meluncur dan terjatuh di atas sebongkah batu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana cermin itu terpental dan pecah berkeping-keping, hingga suara-suara kepingan itu menyayat hati dan memekakkan telinga. Suara gemanya terdengar bergemerincing seakan merata di setiap sudut-sudut gua keramat tersebut.
Ia berdiri pelan-pelan dengan tatapan terperangah dan penuh penyesalan. Seketika itu, ia membaca kata-kata mengerikan yang terpahat di dinding batu yang tertutup oleh cermin tersebut: “Kalau ada penguasa zalim memasuki gua ini, maka patung-patung tentara akan segera bangkit dan menaklukkan kerajaan zalim tersebut!”

***

Semua kejadian itu berlangsung pada tanggal 13 Mei 1998, ketika ribuan pemuda dan mahasiswa menyerbu ibukota Jakarta, kemudian menduduki kantor DPR/MPR, lalu menjatuhkan seorang presiden yang berkuasa selama 32 tahun.
Presiden kedua itu datang entah dari mana, menuju kota Jakarta bersama sekelompok tentara yang mendukungnya. Sejak 1965, ia berupaya untuk mengambil-alih kepemimpinan Presiden Soekarno selaku perintis dan pendiri republik Indonesia.
Setelah berhasil menggulingkan bapak bangsa, sekelompok tentara itu menamakan dirinya “Orde Baru”. Mereka sepakat membangun museum yang dikeramatkan dengan nama “Museum Lubang Buaya”, masih di wilayah ibukota Jakarta.
Kini, setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru secara alami, telah muncul suatu era reformasi yang mengiringi era milenial yang terus berikhtiar menciptakan pemerintahan yang kondusif dan kredibel. Masyarakat terus berupaya menciptakan sistem terbaru, dan tak ingin terkontaminasi oleh limbah peradaban dan budaya korup yang diwariskan pemerintahan masa lalu.
Tak lama kemudian, muncullah buku putih berjudul “Pikiran Orang Indonesia” yang menggambarkan kelumpuhan akal sehat suatu bangsa yang diperintah oleh rezim militerisme. Buku itu merupakan catatan psikohistori, yang mengungkap setiap detil kejadian di seputar kejatuhan sang rezim berikut kroni-kroninya. Ia mengungkap peristiwa di seputar pembunuhan Marsinah (buruh), Udin Sjafrudin (wartawan), Wiji Thukul (seniman), Syafiudin Kartasasmita (Hakim Agung), Munir (aktivis HAM), bahkan memprediksi apa-apa yang yang akan terjadi dalam peristiwa pembunuhan Brigadir Joshua (oleh atasannya sendiri).
Buku yang terbit sejak 2014 itu dinilai sebagai panduan nasib setiap penguasa di zaman hiper modern ini. Terutama, perihal penguasa dan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat yang dicintainya, berikut kesudahannya yang menorehkan tinta emas. Tetapi sebaliknya, buku itu juga mengandung ancaman bagi penguasa-penguasa zalim, lantaran di dalamnya menggambarkan tipikal penguasa korup yang terseret ke meja mahkamah sejarah, berikut nasib akhir dari kejatuhannya. (*)

———– *** ———-

Tentang Penulis :
Muhamad Pauji
Cerpenis dan aktivis organisasi kepemudaan OI (Orang Indonesia), menulis cerpen dan artikel sastra di berbagai harian nasional luring dan daring.

Rate this article!
Runtuhnya Sebuah Kerajaan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: