Rupiah Melemah, Pengusaha Tahu-Tempe Terancam Bangkrut

Karti Ningsih, pengusaha tahu di paiton keluhkan melemahnya rupiah.

Probolinggo, Bhirawa
Melemahnya nilai tukar rupiah saat ini, membuat resah para Pengusaha UKM tahu maupun tempe di Kota dan kabupaten Probolinggo. Pasalnya, harga kedelai impor untuk bahan baku tahu mulai meningkat mencapai Rp.7.000 hingga Rp. 8. 000 perkilo.
Menurut Hasanah, salah satu pengusaha yang berada di Kawasan Kanigaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Kamis (13/9), melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pada harga kedelai import yang merupakan bahan baku tahu.
Dari harga semula Rp 6.400 per kilogram, naik menjadi Rp 6.700 per kilogram, bahkan sudah menyentuh Rp. 7.000 perkilogram. Pihaknya terpaksa harus mengurangi ketebalan tahu yang ia produksi. Selain itu, mengurangi jumlah karyawan dengan pergantian hari libur. Hanya dengan cara mensiasati dengan mengurangi karyawan. Dengan cara bergilir libur dan ketebalan tahu.
Sudah barang tentu dampak melemahnya Rupiah, penghasilan berkurang. Biasanya per minggu 400, kini 200. Karena itu, ia berharap agar Rupiah kembali menguat. “Para pengusaha tahu khawatir, jika Rupiah semakin melemah, maka harga kedelai import semakin melambung. Dan bisa berdampak rugi besar hingga bangkrut,” ungkapnya.
Demikian pula yang terjadi pada pengusaha tahu di kabupaten Probolinggo. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika membuat sejumlah produsen tahu rumahan (home industry) ketar-ketir. Sebab, harga kedelai impor yang digunakan harganya semakin mahal.
Dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang mencapai Rp 15 ribu, ternyata berimbas pada harga kedelai impor, bahan baku tahu. Saat ini, harga kedelai sudah mencapai Rp 7.300 per kilogramnya. Harga itu naik Rp 1.000 dibanding dua pekan lalu, yang hanya Rp 6.300 per kilogram, kata Karti Ningsih, pengusaha hum industry tahu di Paiton.
Naiknya harga bahan baku utama pembuatan tahu tersebut, membuat pengusaha menambah modalnya. “Yang jelas omzet kita sangat menurun. Ini imbas dari naiknya nilai tukar rupiah, yang berdampak ke harga kedelai yang semakin mahal,” ujarnya.
Penurunan omset itu sampai 30 persen, karena ia harus mempertahankan harga jual tahu. Di sisi lain, ia tak bisa mengurangi ukuran tahu yang dicetak atau diproduksi. “Jika ukuran tahu diperkecil, pelanggan akan lari ke tempat lain. Harganyapun juga tak bisa dinaikkan, karena semua dari pabrik tahu rata-rata harganya sama,” terang Karti.
Tak hanya dirinya, Karti yakin pengusaha tahu rumahan lainnya merasakan hal yang sama. Sebab, permodalan mereka tidak setangguh prabrik tahu besar yang biasanya menyetok kedelai dalam jumlah besar. “Jika ini terus terjadi, bisa-bisa produsen tahu rumahan akan gulung tikar, kami berharap pemerintah mau melakukan intervensi pasar, agar kami tetap eksis,” harap Karti.
Perajin tahu dan tempe, betul-betul berharap campur tangan pemerintah secepatnya akan harga kedelai ini, harga kedelai mulai merangkak naik sejak Lebaran, dari Rp 7.200 per kg menjadi Rp 8 ribu per kg. Mereka tak berani menaikkan harga jual, mengingat daya beli masyarakat yang menurun. Salah satu perajin tahu bahkan berencana menghentikan produksi jika harga kedelai masih juga tak bisa dikendalikan, ungkapnya.
Sementara produsen tempe di kota Probolinggo, terpaksa mengurangi produksi dan mengurangi ukuran agar pabrik masih bisa beroperasi. Biasanya dalam sehari menghabiskan 80 kg kedelai, kini berkurang setengahnya. Cara ini dipilih karena jika harganya dinaikkan, mereka takut omzetnya justru akan menurun drastic, tambah Bambang salah satu pengusaha tempe. [wap]

Tags: