Rupiah Melemah Tak Selalu Musibah

(Pemerintah Wajib Menjaga Stabilitas Harga Pangan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial dan Politik

Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan (pada APBN 2018) hasil depresiasi rupiah. Setiap depresiasi (penurunan) sebesar Rp 100,-, pemerintah meraup keuntungan sebesar Rp 1,7 trilyun. Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) tahun 2018,1 nilai dolar Amerika Serikat (AS), diasumsikan sebesar Rp 13.400,-. Sampai bulan Agustus, selisih antara asumsi APBN dengan realita kurs dolar, telah lebih dari Rp 1.000,-.
Analisis Menteri Keuangan, itu bukan sekadar lips service. Melainkan berdasar data angka ekspor dan impor berbagai komoditas. Bahkan “keuntungan” pemerintah terhadap pelemahan rupiah, disampaikan pada forum resmi, di hadapan parlemen (DPR-RI) komisi XI (Keuangan). Semua terbelalak, karena menduga, bahwa pemerintah bisa bangkrut tertekan depresiasi rupiah. Setidaknya, nilai APBN 2018 (Rp 2.220,7 trilyun) pasti menyusut di hadapan dolar AS.
Jika dikalkulasi dalam dolar sesuai asumsi APBN, maka kekuatan APBN 2018 (Rp 2.220,7 trilyun), menjadi US$ 165,723 milyar. Namun jika dikalkulasi sesuai nilai tukar saat ini (Rp 14.850,-) maka kekuatan APBN 2018 menjadi US$ 149,542 milyar. Seolah-olah telah “hilang” sebesar US$ 16,181,- milyar. Bagai kehilangan uang sebelum buka dompet. itu dalam rupiah, setara dengan Rp 240,287 trilyun. Menyusut 10,82% (dengan kacamata harga dolar).
Tetapi APBN, tidak cocok dibaca dengan “kacamata” dolar AS. Karena hampir seluruh belanja, di-transaksi dengan rupiah. Kecuali pembelian alutsista (alat utama sistem persenjataan), dibeli dengan harga dolar AS. Total pembelian alutsista tidak lebih dari 5% kekuatan APBN. Begitu pula belanja modal lain, tidak terlalu besar. Tak terkecuali belanja moda transportasi darat (kereta-api), transportasi perairan (kapal), dan pesawat udara, tidak merong-rong APBN. Sebagian diantaranya diprogram pembayaran multy-years (tahun jamak).
Pada sisi lain, pendapatan negara yang semula ditarget Rp 1.894,7 trilyun, mengalami kenaikan akibat kenaikan kurs dolar. Terutama dari pajak, dan penerimaan bukan pajak (PNBP). Bahkan penerimaan negara akan lebih besar manakala peningkatan tarif (cukai) impor bisa direalisasi segera (mulai bulan September). Beberapa komoditas dikenakan kenaikan tarif pajak (termasuk impor mobil mewah), sekaligus sebagai upaya mengurangi impor.
Tambahan penerimaan negara, yang terbesar diperoleh dari melonjaknya ICP (Indonesia Crude Price, harga minyak Indonesia). Itu seiring melambungnya harga minyak dunia. ICP saat ini sebesar US$ 67 per-barrel. Naik sebesar US$ 19,- dari asumsi APBN 2018. Nilainya mencapai Rp 2,5 trilyun. Seiring kenaikan harga minyak dunia, pemerintah juga sedang me-masal-kan penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak). Diantaranya penggunaan B-20 (bio-diesel 20%).
Dampak Positif Depresiasi
Pemasalan B-20, juga untuk mengurangi impor BBM. Konon dengan pengurangan impor BBM, akan dihemat anggaran sebesar US$ 5,5 milyar se-tahun. Seiring penggunaan BBM berbasis bahan nabati (terbarukan), perekonomian nasional juga akan tertopang oleh ekspor CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit). Hingga kini Indonesia masih menjadi “raja” CPO, dengan memasok sekitar 40% kebutuhan. Andai jujur, Indonesia bisa menjadi single majority (lenih dari 51%) CPO.
Selama ini beberapa negeri tetangga (Malaysia, dan Singapura) memiliki perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Ironisnya, kelapa sawit yang ditanam di Indonesia dikirim ke negeri tetangga berupa bahan mentah. Harganya sangat murah. Pemerintah bisa menerbitkan peraturan, pengeluaran kelapa sawit ke luar wilayah Indonesia, harus dalam bentuk setengah jadi. Sehingga diperoleh nilai tambah, plus lapangan kerja (dan investasi baru) pada unit kelapa sawit olahan. Dengan posisi itu Indonesia bisa menjadi menentukan harga yang lebih pantas.
Dampak positif depresiasi mata uang, sesungguhnya memberi pelajaran berharga. Bahkan RRT (Republik Rakyat Tingkok, China) memiliki kisah sukses men-depresiasi mata uangnya (yuan). Tujuannya, untuk mengurangi “mesin”pertumbuhan ekonomi China yang makin panas. Anehnya, negara-negara Eropa, dan AS, malah mem-protes. Menganggap China menggunakan jurus dumping. Perekonomian China, bagai mengendur (pertumbuhan menjadi sekitar 5,5%) tapi konsisten.
Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) dibawah Trump, perlu meningkatkan nilai dolar-nya (US$). Caranya, The Fed, meningkatkan suku bunga sampai 2% pada akhir tahun 2018. Juga menaikkan tarif impor, terutama terhadap produk China, dan Jepang. Buntutnya, rakyat AS lebih suka menabung. Begitu juga investasi di luar negeri dapat ditarik pulang, menjadi deposito. Proposal Trump, sukses. Dolar AS langka, nilainya melonjak.
AS terus melancarkan “perang dagang” dengan RRT, dengan menaikkan tarif masuk. Sampai bulan September (2018), tarif masuk barang-barang asal China, wajib menyetor pajak sebesar US$ 200 milyar. Tetapi China, tak tinggal diam. Bahkan membalas melalui tarif masuk barang-barang asal AS, dengan nominal yang sama, US$ 200 milyar.
Trump, dikenal memiliki paradigma “aneh” dalam hal upaya penguatan fiskal. Pragmatis (jangka pendek). Selama kepemimpinannya, defisit neraca perdagangan semakin menganga lebar. Walau berdampak buruk terhadap negara lain, diantaranya Turki, India, Thailand, Jepang, dan Indonesia. Beruntung, Turki memiliki tetangga yang tajir (lagi baik), Qatar. Paradigma “aneh” Trump, dengan mudah bisa dibalas oleh negara mitra dagang.
Indonesia makin Cerah
Cara Trump meningkatkan “martabat” dolar AS, diduga hanya akan bertahan selama dua tahun. Setelah itu pemerintah (negara AS) akan menanggung banyak hutang kepada rakyatnya, berupa deposito. Juga dampak balasan dari berbagai negara yang meningkatkan tarif masuk produk asal AS. Pasar AS di luar negeri akan menyusut drastis. Dus, nilai ekspornya akan menyusut pula. Sedangkan kebutuhan rakyat AS terhadap produk impor, tidak ter-tahan-kan, dengan harga mahal.
Bahkan diduga, pemerintah AS akan menghadapi demo besar, karena rakyatnya menuntut penurunan harga kebutuhan pokok. Antaralain, produk susu, energi pembangkit (batubara, minyak dan gas), tekstil, serta besi dan baja. Pada waktu bersamaan, perindustrian di AS tidak lagi effisien, disebabkan upah buruh meningkat. Teknologinya sudah ketinggalan (secara ke-ekonomi-an) dibanding Jepang dan China.
Puncaknya, AS akan mengalami kemunduran ekonomi, setelah cadangan emas-nya berkurang. Terutama pertambangan emas di Papua (Freeport) akan dikuasai Indonesia pada tahun 2021, sampai 51%. Penguasaan tambang emas, merupakan cadangan devisa terpenting AS, sebagai pilar utama penyangga “martabat” dolar. Wajar, apabila Indonesia, dan India, menjadi incaran perang dagang AS, selain China, dan Jepang.
Namun walau dibenci, AS akan mengupayakan neraca perdagangan dengan tetap surplus pada Indonesia. Saat ini, neraca perdagangan Indonesia dengan AS, masih surplus sekitar US$ 5,55 milyar. Itu sebagai “rayuan,” agar emas di Papua tetap disetor ke AS secara mayoritas. Padahal negara lain, terutama yang memiliki pabrik satelit (antaralain Perancis, China, dan Korea) juga sangat membutuhkan emas Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia memiliki masa depan lebih cerah, karena cadangan logam emas terdeteksi semakin banyak. Selain di Papua, juga terdapat di pulau Sumbawa, seantero Jawa, Sumatera bagian tenggara, dan Kalimantan. Permintaan investasi (masuk) ke Indonesia untuk pertambangan emas semakin banyak. Yang dibutuhkan hanya manajemen oleh pemerintah (penyelenggara negara yang jujur), sesuai amanat konstitusi.
UUD pasal 33 ayat (3), menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Maka seluruh usaha pertambangan harus menyertakan badan usaha milik negara (BUMN), sebagai kepanjangan tangan negara. Masa depan Indonesia, akan semakin cerah manakala tidak terganggu kegaduhan politik. Kedamaian dan ketertiban masyarakat menjadi prasyarat investasi.
“Perang” di dunia medsos, masih harus dikurangi. Termasuk penegakan hukum terhadap UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Larangan disertai dengan hukuman memadai, tercantum dalam pasal 45 ayat (2). Hukumannya berupa pidana penjara selama 6 tahun ditambah denda. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tak perlu gentar meng-gebuk pengacau informasi, dan pabrik hoax.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: