Saat Mantan Bidan Membudidayakan Stroberi Metode Hidroponik

Mantan Bidan Puskesmas Pakuniran, Auliya mengembangkan buah stroberi sistem hidroponik. Buah ini bisa berbuah di daratan rendah di samping rumahnya. [wiwit agus pribadi]

Bermodal Rp2 Juta, Bisa Berbuah di Dataran Rendah, Ingin Kembangkan Lebih Banyak
Kab Probolinggo, Bhirawa
Tanaman buah stroberi tidak harus ditanam di daerah dataran tinggi. Itu dibuktikan Auliya, mantan bidan asal Tongas Wetan, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo. Ia berhasil membudidayakan tanaman stroberi melalui hidroponik di dataran rendah. Hal itu dilakukannya karena bosan di rumah selama pandemi Covid-19.
Tidak sulit menemukan rumah Auliya, yang terletak di Dusun Krajan, Desa Tongas Wetan. Dari luar rumah Aulia, sudah terlihat tanaman hidroponik yang dibudidayakan di lahan kosong samping rumahnya. Lahan dengan ukuran sekitar 3 x 6 meter itu, disulap menjadi tempat budi daya hidroponik. Salah satunya stroberi.
Kesibukan Aulia itu dijalani mulai tiga bulan lalu. Saat itu mantan bidan tersebut merasakan kejenuhan dan bosan di rumah terus tanpa ada kegiatan. Aulia memang memutuskan berhenti sebagai bidan Puskesmas Pakuniran setelah memutuskan tinggal bersama suami di Tongas. Selain itu, pandemi corona membuat dia harus terus tinggal di rumah.
Suatu saat, dia diberi bibit stroberi oleh temannya. Aulia lantas mengembangkan tanaman buah stroberi dengan sistem hidroponik. “Awalnya saya dapat bibit stroberi sekitar 100 bibit, diberi teman. Kebetulan, di rumah suami ada hidroponik yang dibuat sebelum Lebaran. Saya pun coba tanam bibit stroberi itu melalui media air hidroponik itu,” kata Aulia.
Aulia mengaku, halaman samping rumahnya sekitar 5 bulan lalu dimanfaatkan oleh suaminya untuk bertanam sayur secara hidroponik. Kemudian, dia ikut bertanam hidroponik dengan bibit stroberi pemberian temannya itu.
Mulanya memang senang mengembangkan tanaman apapun di halaman rumahnya. Tetapi, beberapa di antaranya justru banyak yang gagal. “Ada juga beberapa jenis kelengkeng yang dibudidayakan melalui sambung pucuk dan cangkok. Tetap jalan, tapi perkembangannya tidak signifikan,” katanya.
Hingga akhirnya, dirinya berhasil membudidayakan tanaman stroberi dengan metode hidroponik. Untuk membuatnya, tak kurang dari Rp2 juta ludes dibelanjakan pipa. Pipa ini pula kemudian dipola sesuai dengan keinginan. “Biaya hidroponik sekitar Rp2 juta. Biaya mahal memang membuat hidroponiknya,” tuturnya.
“Saya heran juga, ternyata tanaman stroberi bisa berbuah juga. Biasanya, tanaman stroberi identik dengan cuaca dingin, seperti Sukapura dan Sumber. Dengan hidroponik ini, di wilayah panas seperti Tongas juga bisa,” ungkapnya.
Memang saat ini panen stroberi ini tidak banyak. Namun, ke depan ia mengaku akan terus mengembangkan tanaman ini. “Ini unik, ke depan kami akan terus dibudidayakan. Mudah-mudahan ada modal juga untuk dijadikan saran edukasi,” jelasnya.
Aulia mengatakan, percobaan yang bisa berhasil untuk tanaman stroberi merupakan temuan yang baru dirasakannya saat ini. “Ini karena hobi. Rasanya senang dan menambah ilmu baru cara bercocok tanam dengan media air,” terangnya.
Hanya saja, untuk saat ini hasil dari tanaman yang dibudidayakan tidak menghasilkan pendapatan yang banyak. “Hasil panen stroberi sekarang belum bisa dipasarkan. Karena memang tidak banyak. Jadi, biasanya tiap bulan panen, bisa dimakan sendiri dan dibagi-bagi ke saudara atau tetangga,” tandasnya.
Wanita berjilbab itu menuturkan, ia dan Angga menempati rumah di RT 11, RW 04, Dusun Krajan itu, sejak 2016 lalu. Rumah baru yang minim tanaman, terlihat tak nyaman dan gersang. Oleh karenanya, bersama suaminya mulai menanam pohon klengkeng dan juga aneka bunga-bunga. Tak ketinggalan beternak kambing juga burung murai dan loverbird untuk menambah keramaian.
“Saya suka nanam apa saja. Saat awal pandemi corona, saya nggak bisa kemana-mana, mau nengok orangtua juga gak bisa karena gak ada bis yang beroperasi. Di rumah saja ya bosan akhirnya. Kemudian suami punya ide untuk memanfaatkan kandang kambing yang gak terpakai,” tutur Auliya.
Pada awal pandemi corona, Angga memakai sebagian bekas kandang kambing sebagai instalasi hidroponik. Dari panjang 10 meter dan lebar 3, hanya 4 meter yang dipakai, menyesuaikan dengan panjang pipa paralon ukuran 3 inci.
Bermodal Rp2 juta, pasutri muda itu berbelanja tetek bengek infrastruktur hidroponik. Seperti pipa paralon, pompa aquarium, media tanam dan lainnya. Pipa ini kemudian di pola sesuai dengan keinginan. Hingga jadilah lahan hidroponik dengan ukuran 3×4 meter di utara rumah.
“Dikerjakan sendiri oleh suami. Belajar dari tutorial yang ada di youtube. Meski kami senang bercocok tanam, sebenarnya basis keilmuan kami gak nyambung. Suami ahli gizi dan saya kebidanan. Ya hanya karena hobi saja yang membuat kami berani bereksperimen,” terangnya.
Sebagai uji coba, mereka menanam sayur sawi, kangkung dan selada. Ternyata sebulan ditanam, hasilnya bagus. Tanaman non pestisida pabrikan tersebut, lantas dibagikan kepada tetangga sekitar rumah. Menyuplai asupan gizi dan vitamin yang dibutuhkan untuk melawan virus corona.
Sukses dengan percobaannya, Angga mulai tergelitik untuk mengembangkan buah stroberi melalui sistem hidroponik. Selain itu, stroberi dikenal sebagai tanaman yang berkembang baik di dataran tinggi. Sementara lokasi rumah pasutri ini, elevasi tanahnya hanya 3 meter dari permukaan laut.
“Dari beberapa tutorial di medsos, kebanyakan stroberi ditanam pada media tanah atau di pot, bukan di media air. Ini menjadi tantangan bagi saya, dengan menanam stroberi hidroponik di dataran rendah,” sambung Angga.
Angga kemudian menghubungi rekannya di Sukapura yang lebih dulu mengembangbiakkan stroberi di wilayah dingin. Benih yang didapat dari temannya tersebut, lantas ditanam. Ternyata sroberi yang ditanam mati membusuk. Kecewa dan penasaran berkecamuk di benak Auliya. Dikira karena perbedaan cuaca antara asal benih dengan lokasi tanam. Setelah ditelaah, penyebab kematian stroberi hidroponik itu karena jelas plastik yang dipakai tidak dilubangi. Sehingga alat dan batang stroberi membusuk.
“Ya membusuk, kemudian kami coba lagi dengan melubangi gelas plastik yang dipakai,. Alhamdulillah, tumbuhnya bagus dan bisa berbuah, meski buahnya ukurannya lebih kecil. Namun, disini gak ada kecut-kecutnya, manis,” kata wanita berusia 31 tahun itu.
Lagi-lagi buah itu, dibagikan ke tetangga sekitar. Ya dari beberapa sayuran yang ditanam, semisal kangkung, sawi, pakcoy (sawi sendok), hanya selada yang dijual. Itupun karena warga setempat, belum familiar menggunakannya dalam masakan. Sayuran yang sering digunakan sebagai garis itu, dijual Rp25 ribu per kilogram, tambahnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: