Saatnya Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Wahyu Kuncoro(Masa Depan Industri Kreatif di Era Digital)

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Industri kreatif menjadi salah satu andalan untuk menggenjot perekonomian Indonesia di masa depan. Keberhasilan sejumlah negara dalam mengembangkan ekonomi kreatif –seperti di Amerika Serikat dan Korea Selatan– sejatinya telah membuka mata kita bahwa sektor tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata.
Industri kreatif merupakan kegiatan usaha yang fokus pada kreasi dan inovasi. Per definisi, sektor ekonomi kreatif terdiri dari sektor periklanan, arsitektur, seni, kerajinan, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan perangkat lunak komputer serta video game. Selain itu juga kegiatan bisnis di bidang radio, televisi serta industri riset.
Merujuk data Kementerian Perindustrian menunjukkan peringkat ekspor barang kreatif Indonesia naik ke peringkat 25 pada 2014 dari peringkat 85 pada 2013. Kontribusi industri kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) dari tahun ke tahun juga terus meningkat.  Pada 2013 sebesar 6,9 persen, lalu meningkat menjadi 7,6 persen pada 2014, dan tahun ini diperkirakan mencapai delapan hingga sembilan persen.
Dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang dikembangkan, terdapat tiga subsektor yang memberikan kontribusi dominan terhadap PDB, yaitu kuliner sebesar Rp209 triliun atau 32,5 persen, fesyen sebesar Rp182 triliun atau 28,3 persen dan kerajinan sebesar Rp93 triliun atau 14,4 persen. Artinya, industri kreatif ini masih akan dapat memberi kontribusi lebih besar lagi karena peluang untuk mengembangkan subsektor ekonomi kreatif lainnya masih terbuka lebar.
Indonesia bisa dikatakan terlambat dalam menggeluti industri ini, setidaknya bila dilihat dari terbentuknya sebuah institusi yang memiliki tugas khusus untuk membina dan mengembangkan sektor ini, yakni Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Kehadiran lembaga ini diharapkan dapat ikut mengatasi kendala yang dihadapi dalam mengembangkan industri kreatif di tanah air misalnya kesulitan dalam mengakses permodalan dari perbankan.
Sudah sering kita dengar para pelaku industri kreatif nasional tidak optimal berkreasi karena minimnya ketersediaan modal. Industri kreatif setidaknya mengalami sejumlah kendala dalam hal pendanaan. Pertama, mayoritas industri kreatif unbankable. Kedua, aset industri ini intangible, yang tidak berwujud fisik sehingga belum bisa diterima lembaga keuangan saat ini. Akibat aset ekonomi kreatif yang tidak berwujud itu, seringkali pembiayaan di sektor ini dianggap memiliki risiko yang tinggi dan tidak dapat diprediksi. Selain itu juga cash flow beberapa sektor industri kreatif juga tidak stabil. Ada kalanya sangat tinggi, namun di lain waktu seret.
Sejatinya, merujuk UU No.28/2014 tentang Hak Cipta, kekayaan intelektual dapat digunakan sebagai agunan untuk mengakses pinjaman. Namun sayangnya, UU Perbankan justru belum mengakomodasi hal tersebut. Jadi wajar bila perbankan di Indonesia belum mau menerima bahwa kekayaan intelektual dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu dilibatkan dalam menghadirkan payung hukum yang lebih memihak kepada pelaku industri kreatif dalam mengakses permodalan.
Data Bank Indonesia menunjukkan, penyaluran kredit untuk sektor ekonomi kreatif per triwulan I/2015 masih rendah, yakni sekitar 9,23% dari total kredit perbankan. Padahal, sumbangsih ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto sebagaimana paparan di atas selalu mengalami peningkatan. Lantaran itu, sudah sepantasnya jika pelaku industri kreatif diberi kemudahan dalam mengakses permodalan.
Memacu Industri Kreatif Digital
Tumbuhnya industri kreatif terbukti telah memberikan sumbangsih pada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, sektor ekonomi kreatif tersebut masih didominasi oleh produk-produk fisik seperti kuliner, fesyen maupun kerajinan, sedangkan industri kreatif  yang berbasis teknologi digital masih kurang nyaring bunyinya. Sementara, pada saat yang sama dunia tengah menyaksikan perubahan besar dan signifikan menyusul penggunaan teknologi, khususnya software, mobile, dan e-commerce dalam pasar bisnis global. Dan memang dunia digital yang serba mobile ini pula yang akan berperan besar dalam perekonomian global.
Teknologi sudah sangat luar biasa memasuki semua elemen kehidupan kita. Era teknologi digital bukan lagi era masa depan, tetapi ini era sekarang. Era digital ini, sudah pula menyentuh semua bidang ekonomi kreatif seperti teater, musik, film, seni rupa, dan sebagainya.  Indonesia jelas memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di sektor industri kreatif yang berbasis digital. Banyak, anak muda-anak muda yang memiliki karya berbasis teknologi digital  yang diakui di ajang internasional. Hanya sayangnya, potensi besar tersebut justru tidak mendapatkan tempat di tanah air, akibatnya banyak tenaga-tenaga kreatif tanah air yang mengabdikan kreativitas di negara-negara yang lebih menghargai kreativitas dan inovasi. Ini terbukti dari banyaknya tenaga muda kreatif dari tanah air yang bekerja dipusat-pusat Industri kreatif di Amerika, Korea Selatan maupun Inggris.
Sudah saatnya Indonesia tidak hanya jadi konsumen produk kreatif digital semacam game atau animasi, tapi juga harus jadi produsen. Sudah saatnya produk Indonesia, dengan nilai budaya dan keunikan Indonesia, muncul ke permukaan. Pelaku industri kreatif digital harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Pelaku industri kreatif digital di Indonesia diyakini tidak akan ketinggalan untuk memanfaatkan infrastruktur yang semakin baik khususnya dengan hadirnya teknologi layanan 4G. Bahwa dengan bandwidth yang besar, butuh konten digital dari berbagai sektor.
Pertumbuhan pesat perdagangan online seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dan penggunaan gadget membuat Indonesia punya peluang besar karena daya beli kelas menengahnya tumbuh terutama untuk e-commerce. Jakarta adalah ibukota pengguna Twitter dunia. Bukan hanya di tanah air, di Filipina misalnya, adalah negara nomor satu dalam hal berlama-lama di media sosial.
Perkembangan ekonomi Indonesia dan terus meningkatnya perdagangan domestik plus luar negeri ditambah  maraknya perusahaan yang melempar aktivitas logistiknya ke pihak ketiga atau alih daya (outsourcing) dengan sendirinya akan menggeliatkan jasa layanan logistik. Persoalannya, bagaimana bisnis ini dapat berkembang pesat, bila masih ada persoalan fundamental yang menghadangnya seperti sektor logistik yang masih dililit biaya tinggi.
Publik kiranya patut mengapresiasi arah kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang sudah mengarah pada hal itu. Pemerintah selain menggarap secara serius insfrastruktur dalam memperkuat konektivitas antar wilayah juga punya atensi terhadap pengembangan industri kreatif dan e-commerce, misalnya dengan mendorong pembayaran secara elektronik dan digitalisasi ekonomi.
Tantangan Kecepatan Layanan Logistik
Besarnya peluang bisnis logistik dalam negeri, sesungguhnya menjadi peluang dan ancaman bagi pelaku usaha logistik dalam negeri. Menjadi peluang, kalau pelaku usaha bisa memanfaatkan potensi pasar tersebut dengan memacu daya saing dan mampu menjawab tantangan efisiensi baik dari harga, pelayanan dan ketepatan dalam pengiriman. Sebaliknya, menjadi ancaman bila tantangan tersebut tidak mampu dijawab pelaku usaha lokal. Bagaimana tidak, setiap tahun jumlah pelaku bisnis logistik terus berlimpah. Tidak hanya pemain lokal, tetapi juga perusahaan asing. Mulai dari perusahaan kelas gurem hingga kakap bertarung di sini. Sementara wajah pemain baru juga terus bermunculan. Begitu menggiurkannya bisnis ini, beberapa BUMN tak rela hanya sebagai penonton legitnya kue logistik. Tak mengherankan, mereka pun melebarkan sayap, misalnya Pelindo, Kereta Api dan Garuda Indonesia.
Persaingan pasar global yang cukup dinamis ini harus dijawab para pelaku usaha logistik tanah air salah satunya PT Jalur Nugaraha Ekakurir (JNE). Meski sudah menjadi salah satu penguasa jasa logistik di tanah air, JNE tetap dituntut untuk mengembangkan sayapnya di pasar luar negeri. Pilihan JNE untuk merambah pasar Filipina dan Thailand tepat kiranya dengan mempertimbangkan bukan  karakateristik masyarakatnya yang mirip Indonesia, tetapi juga karena pertimbangan industri e-commerce dua negara itu yang sedang berkembang.
Oleh karena itu untuk dapat tetap bertahan dan bisa bersaing di era persaingan global khususnya jasa logistik di era digital ini maka JNE harus memperkuat jaringan bisnis baik di dalam negeri maupun luar negeri. Agenda berikutnya adalah terus meningkatkan kualitas kualitas sumber daya manusia dan teknologi layanan yang digunakannya.
Dalam era yang mensyaratkan serba cepat, mudah dan murah ini maka orientasi layanan yang memanjakan konsumen menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks inilah, menarik kiranya menyimak layanan kreatif yang dilakukan JNE dalam membaca geliat industri kreatif di tanah air khususnya sektor kuliner khas daerah yang kemudian dijawab oleh JNE dalam bentuk produk layanan yang dinamakan ‘Pesona’ atau Pesanan Oleh-oleh Nusantara. Melalui pesona, pemesanan kuliner khas dari seluruh Indonesia dilakukan secara online dan didatangkan langsung dari daerah asalnya dengan harga yang sama. Untuk menemani Pesona, ada lagi produk yang dinamakan ‘Jesika’ yaitu Jemput ASI Seketika yang diperuntukan bagi ibu menyusui yang harus meninggakan bayinya di rumah karena bekerja.  Ibu tetap dapat memberikan ASI-nya kepada bayi berkat layanan yang dilaksanakan oleh kurir perempuan dengan kendaraan yang disertai peralatan khusus untuk menjaga ASI tetap segar. Bukan itu saja, gagasan JNE untuk menggunakan mesin swalayan pengiriman barang layak ditunggu. Dalam konsep ini, nantinya, konsumen bisa mencatatkan barang yang akan mereka kirim melalui mesin serupa anjungan tunai mandiri (ATM). Mesin itu menyediakan alat untuk menimbang barang, informasi tujuan pengiriman dan harga pengiriman. Mari kita tunggu !

                                                                                                             ——— *** ———-

Tags: