Sabda Raja, Bukan untuk Republik

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Menyimak Sabda Raja yang dimaklumatkan oleh Sri Sultan HB (Hamengkubuwono-10), mestilah dilakukan secara tepat dimensional. Sebab, tidak mudah melaksanakan adat, sekaligus menjadi “figur publik nasional.” Andai Sri Sultan HB X kukuh dengan adatnya, pastilah (Sabda-nya) hanya akan menjadi koleksi dokumentasi museum. Padahal dalam tataran sosial nasional, Sabda Raja diharapkan bisa memperkuat ke-Indonesia-an.
Sebenarnya, Sabda Raja HB-10 tergolong inovatif. Sebagai peretas jalan, agar keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak ketinggalan ke-kini-an. Juga inspirasi kejujuran situasional. Misalnya, tentang penghapusan nama gelar adat sebagai Senopati Ing-alaga Sayyidin Panatagama khalifatullah Ingkang Jumeneng….”  Secara tekstual, gelar itu berarti “Panglima, Pemimpin Ketertiban, Penguasa yang Bertahta.” Frasa kata Sayyidin Panatagama Khalifatullah, dihapus.
Harus diakui, penggunaan kata “Sayyidin Panatagama” pada masa kini bisa diartikan sebagai mufti penata agama. Padahal Sri Sultan HB-10, bukanlah ulama (mufti agama). Begitu pula sebutan khalifatullah, sangat tidak tepat dengan situasi ke-kini-an. Khalifatullah, merupakan sebutan untuk raja-raja keturunan Mataram Islam. Sedangkan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak dapat meng-klaim sebagai Mataram Islam?
Nama raja keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mulai saat ini adalah Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. Menurut sang pemilik nama (HB-10), nama gelar adat yang panjang itu bagai doa.
Dalam bahasa Indonesia, nama gelar itu berarti “Sri Sultan Hamengku Bawono tahta kesepuluh Cahaya Mataram, Pimpinan segala urusan di Wilayah kekuasaannya, Lestari, Tetap dalam Aturan Tata-tertib.” Itu memang mirip doa. Pengharapan (doa) itu diantaranya melalui frasa kata “Suryaning.” Dalam paradigma sastra Jawa “suryaning” merupakan spirit dan pengharapan awal.
Begitu pula penggunaan kata “Bawana” lebih bersifat kinerja dibanding “Buwono” yang abstrak. Walau diambil dari asal kata yang sama, namun berbeda makna. Buwana berarti seluruh bumi. Sedangkan Bawana lebih bermakna teritorial (wilayah) kerja tertentu. Ini dapat dipahami, karena vested interest keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dibatasi pada adat budaya di keraton.
Nama Gelar Kinerja
Pada tataran internasional, perubahan gelar raja lazim dilakukan. Misalnya, nama gelar raja Arab Saudi, juga diubah pada tahun 1986. Semula, gelar Raja Arab Saudi adalah “Ashabul Jalalah” (pemegang kekuasaan). Sejak kepemimpinan Raja Fahd (tahta ke-5 dinasti Saud), menjadi “Khadamul haramain syarifain” (Penjaga Dua Kota Suci). Maksudnya, yang paling bertanggungjawab terhadap ketertiban dan kedamaian kota Makkah dan Madinah.
Hal itu menandakan, penguasa Arab Saudi memilih kinerja sebagai “pelayan Tuhan” dibanding aspek politik. Padahal ibukota negara Saudi (dan istana resmi Raja dan Sekretariat Negara) berada di kota Riyadh. Perubahan nama gelar ke-raja-an ini juga menandai paradigma kinerja. Jadi, kira-kira, senafas dengan vested interest HB-10. Meng-utamakan kinerja menjaga ketertiban dan kedamaian kerajaan dibanding politik.
Tetapi banyak pengamat memahami Sabda Raja sebagai ber-altar vested interest politik. Terutama diantara maklumatnya berisi pemberian nama gelar baru pada putri sulung Sultan HB-10. Dengan Sabda Raja itu, nama Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Enam frasa kata itu bukan sembarang nama gelar adat, melainkan sebagai pertanda suksesi.
Itu berarti, GKR Pembayun, resmi menjadi Putri Mahkota di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kelak pada saat Sultan HB X lengser, GKR Pambayun akan menerima tongkat estafet sebagai Ratu (HB XI). Estafet di pucuk kekuasaan adat keraton Yogya itu menandai untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang perempuan. Sepuluh HB sebelumnya, seluruhnya laki-laki.
(Dugaan) interest politik-nya, adalah berkait dengan jabatan Gubernur DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Beberapa pengamat politik (pemerintahan daerah)  “kelewat genit.” Yakni, mencampur adukkan hak domain adat keraton dengan UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Di dalam UU, diamanatkan bahwa Gubernur DI Yogya adalah Sultan (Raja).
Ironisnya, UU tentang DIY, bersifat diskriminatif. Di dalamnya diatur, bahwa Gubernur DI Yogyakarta harus laki-laki. Ini bertentangan dengan konstitusi. UUD pasal 28 ayat (3) menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Padahal, Sultan HB-10 tidak memiliki pewaris tahta (anak) laki-laki. Andai pura Paku Alaman, juga tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, apakah Gubernur DI Yogya akan lowong?
Terkait suksesi pada pemerintahan daerah Yogyakarta, Sultan HB-10, juga mengeluarkan Sabdatama (perintah utama). Isinya, bahwa keraton Mataram Yogyakarta dan pura Paku Alaman, merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Pihak luar tidak perlu mencampuri “urusan dalam” adat. Itu selaras dengan amanat (perlindungan) konstitusi.
Konflik trah Mataram
Secara tekstual dalam UUD pasal 18B ayat (2), dinyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Penggunaan frasa kata “mengakui dan menghormati,” merupakan apresiasi negara terhadap fungsi, status, dan (sekaligus) kesejarahan “negara adat.” Yakni, bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah tersebut bersifat mandiri (otonom).  Itulah yang harus diwaspadai oleh penyelenggara pemerintahan, bahwa konstitusi menjamin kemandirian tata-kelola urusan internal adat. “Negara adat,” boleh melaksanakan pemerintahan sesuai adat.
Pengakuan hak-hak tradisional adat, termasuk kekayaan (aset) adat, serta sistem kepemimpinan adat. Terutama pada proses alih kekuasaan pada wilayah internal adat. Misalnya, suksesi pucuk pimpinan serta Wali adat, sepenuhnya menjadi hak adat, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat. Sehingga negara dan penyelenggara pemerintahan berkewajiban menjaga keamanan, serta “toleransi” ber-pemerintahan.
Namun Sabda Raja, tidak mulus benar. Banyak kerabat keraton (termasuk adik kandung HB-10) tidak sepakat. Bahkan keraton sebelah (Surakarta, Kesultanan Mangkubumi) juga tak sepakat. Penyebab tidak sepakat-nya keraton Surakarta, adalah penyebutan kata “Mataram.” Dengan frasa itu, berarti GKR Pembayun bukan hanya Putri Mahkota di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melainkan juga Putri Mahkota di keraton lain yang dahulu ber-induk sejarah pada Mataram.
Padahal Mataram, telah terpecah menjadi empat keraton memiliki “struktur” pemimpin yang berbeda, Raja-nya juga berbeda. Sehingga personel calon pengganti raja, niscaya juga berbeda. Berdasarkan perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755), Mataram telah dipecah menjadi dua kelembagaan. Yakni, Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kesultanan Mangkunegaran, di Surakarta.
Lalu pada tahun 1813, kesultanan Ngayogyakarta terpecah dua, melahirkan keraton Kasunanan Paku Alaman. Syukur, sejak tahun 1950 keduanya bergabung kembali menjadi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Itu yang mendasari pernyataan HB-10 (dalam Sabdatama), bahwa kedua keraton merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Sama-sama anak dari HB-1. Siapa bakal menjadi Gubernur DIY, bukanlah interest utama.
Namun boleh jadi, Sultan HB-10, seyogianya membuka diri untuk mengubah lagi (penyempurnaan) nama gelar Putri Mahkota GKR Pambayun. Walau nama itu sebagai doa pula untuk seluruh Mataram. Makna dari “Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram,” adalah Meningkatkan segala kebaikan kerajaan lestari di Mataram. Tetapi doa, memang berbeda altar dengan dugaan politik. Maka cukuplah tanpa kata Mataram.

                                                                                                             ——— *** ———

Rate this article!
Tags: