Salam Literasi, Penggugah Inspirasi

Oleh:
Dr Ng Tirto Adi Mp, MPd
Dosen Unusida (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo) & Koordinator Komunitas GBL to SGM2B (Gerakan Budaya Literasi Menuju Sidoarjo Gemar Membaca-Menulis-Berhitung)

Ketika diundang menjadi narasumber dalam Diskusi Pendidikan Temu Inovasi Ke-9 di Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjak Balitbang Kemendikbud) Jakarta pada 19 Februari 2020 lalu, sungguh saya sangat bersyukur. Bersyukur karena selain dapat menyampaikan paparan dengan tajuk “Kebijakan dan Implementasi Pembelajaran Literasi Numerasi”, saya dapat berkomunikasi dengan mitra InovASI (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia, Kemitraan Australia- Indonesia). Berbagi dan berdiskusi dengan para pegiat pendidikan Indonesia. Berbagai LSM, organisasi pendidikan, kalangan Perguruan Tinggi, Edukasi 101, Forum Lingkar Pena, Kolaborasi Literasi Bermakna, Litara-OPOB, Taman Bacaan Pelangi, Yayasan Literasi Anak Indonesia (YLAI), Yayasan Tunas Aksara, dan masih banyak lagi.
Yang menarik adalah ketika saya memulai paparan, menyapa peserta dengan sapaan Salam Literasi. Ternyata, sebagian besar peserta belum begitu familiar dengan sapaan Salam Literasi itu. Banyak peserta yang tertegun. Sebagian peserta mengulang dengan berujar Salam Literasi. Dan sebagian peserta lainnya, ada yang mengangkat dan menyorongkan jari tangan dengan menyimbolkan huruf L(iterasi). Salam Literasi acap disebut Salam L. Caranya, acungkan tangan kanan atau kiri ke depan, tekuk jari kelingking, jari manis, dan jari tengah. Biarkan ibu jari dan jari telunjuk dalam posisi terbuka dan usahakan bentuknya menyerupai huruf L. Itulah, Salam Literasi, demikian saya memberikan penegasan. Ketika dicoba untuk dipraktikkan sapaan Salam Literasi, suasana ruang diskusi menjadi hangat dan semarak tetapi belum menggemuruh. Suasana ruang diskusi menjadi menggelora dan membahana ketika saya menyampaikan bahwa ketika kita disapa dengan Salam Literasi, maka jawabnya adalah: Gemar Membaca, Gemar Menulis, Gemar Berhitung!!! Dilanjutkan dengan tepuk tangan bersama secara ikhlas.
Gemar Membaca
Menurut UNESCO, rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca kurang dari 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar yang ditetapkan yaitu 7 judul buku. Sigi Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, memosisikan Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Selama kurun waktu 2012-2015, skor PISA untuk membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397. Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menunjukkan, untuk kategori kurang dalam membaca sebesar 46,83 persen. Sementara, sigi Central Connecticut State University memosisikan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara yang disigi, hanya setingkat di atas Bostwana.
Sebenarnya, Indonesia memiliki sejarah bagus dalam budaya literasi. Dalam catatan sastrawan Taufiq Ismail, pada zaman Hindia Belanda, sastra diajarkan di sekolah setara dengan negara-negara di Eropa dan Amerika. Selama tiga tahun belajar, tiap murid AMS, Algemeene Middelbare School (setara SMA) wajib membaca 25 judul buku sastra. Jumlah itu tidak lebih buruk dengan di Belanda, siswanya diwajibkan membaca 30 judul buku sastra, Amerika 30 judul buku, dan Jepang 15 judul buku. Selain itu, tiap minggu para siswa diwajibkan menulis artikel. Hasilnya, lahir satu angkatan generasi yang luar biasa. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Natsir, Safruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, Soemitro Djojohadikusumo, Adam Malik, dan seterusnya.
Untuk itu dengan Permendikbud 23-2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan satuan pendidikan (sekolah/madrasah) saatnya untuk menindaklanjuti menjadi perda (peraturan daerah) maupun perbup/perwali (peraturan bupati/peraturan wali kota). Pemda dan satuan pendidikan sudah waktunya untuk membuat regulasi, tidak hanya puas dengan kewajiban membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, tetapi lebih dari itu mengawali dengan kewajiban membaca buku-buku nonteks pelajaran secara berkualitas.
Gemar Menulis
Dampak langsung dari rendahnya minat baca adalah terlihat dari produktivitas menulis. Scimago, salah satu portal yang menghitung data penelitian berdasarkan publikasi ilmiah yang terekam di basis data Scopus (2016), menginformasikan bahwa dalam kurun waktu 1996–2004, ada 32.355 publikasi ilmiah Indonesia yang dihasilkan. Indonesia peringkat ke-57 dari total 239 negara yang terdaftar di Scimago. Sementara, Amerika Serikat peringkat ke-1 dunia dengan 8.626.193 publikasian, Singapura peringkat ke-32 dengan 192.942 publikasian, Malaysia peringkat ke-36 dengan 153.378 publikasian, Thailand peringkat ke-43 dengan 109.832 publikasian, dan Vietnam peringkat ke-66 dengan 24.473 publikasian. Jadi, di tingkat ASEAN saja, Indonesia telah tertinggal dalam produktifitas karya tulis, kecuali dengan Vietnam. Apalagi di tingkat Asia-Pasifik dan dunia, Indonesia dalam hal produktivitas karya tulis harus berupaya aktif.
Berdasar penelusuran Taufiq Ismail (2010), pelajar-pelajar di Belanda telah diwajibkan menulis karangan sebanyak 108 karangan selama 3 tahun. Di Malaysia, telah diberlakukan bagi pelajar untuk menulis karangan sebanyak 504 halaman setiap tahun. Sementara itu, bagi pelajar Indonesia kewajiban menulis karangan bervariasi mulai dari 3-15 karangan dalam kurun 3 tahun. Untuk itu, agar Indonesia tidak semakin ketinggalan dalam produktifitas karya tulis, sudah saatnya Pemda dan satuan pendidikan (sekolah/madrasah) mewajibkan budaya menulis itu kepada pelajar sejak dini.
Gemar Berhitung
Ada hubungan yang saling terkait antara kemampuan literasi baca-tulis dan numerasi dengan tenaga kerja yang terampil. Kemampuan literasi baca-tulis dan numerasi merupakan dasar dari keterampilan berpikir atau bernalar tinggi (HOTS, higher order thinking skills), seperti berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Berdasar hasil studi internasional PISA selama satu dekade terakhir (2006-2015), terlihat bahwa siswa Indonesia belum mampu menangkap konsep matematika yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam menghadapi kehidupan nyata. Sekitar 40 persen anak-anak berusia 15 tahun ke bawah masih berada di bawah standar internasional.
Salah satu penyebab adalah adanya persepsi yang keliru (mind in chaos) bahwa belajar matematika itu sulit. Temuan studi awal InovASI (2019) menunjukkan bahwa satu dari tiga siswa menganggap bahwa matematika sebagai mata pelajaran yang paling sulit (35 persen anak perempuan, 32 persen anak laki-laki). Sementara itu, 55 persen guru menganggap bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit dipahami anak-anak. Di sinilah perlunya diupayakan pembelajaran matematika dengan multi-metode dan multi-media yang kontekstual bagi peserta didik. Bukankah begitu?! Akhirnya, Salam Literasi! Gemar Membaca! Gemar Menulis! Gemar Berhitung!

—————– *** ——————-

Rate this article!
Tags: