Sandur Manduro, Kesenian Khas dari Kabuh Jombang

Warito bersama ornamen yang ada di dalam Kesenian Sandur Manduro.

Berunsur Musik, Tari, Peran dan Topeng serta Tampilann Sangat Sederhana
Kab Jombang, Bhirawa
Selain Tari Topeng Jatiduwur dari Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, kabupaten ini juga memiliki kesenian yang menggunakan topeng yakni, Kesenian Sandur Manduro. Kesenian ini hanya bisa ditemukan di Desa Manduro, sebuah desa yang lokasinya berada di ujung utara Kabupaten Jombang, masuk wilayah Kecamatan Kabuh.
Satu-satunya Grup Sandur Manduro yang hingga saat ini masih bertahan yakni Grup Sandur Gaya Rukun pimpinan Warito. “Dulu sempat ada dua. Yang satu sudah dijual sama yang punya, sekarang tinggal satu ini saja,” kata Warito.
Warito menceritakan, Sandur Manduro merupakan kesenian tradisional yang di dalamnya terdapat unsur musik, tari, peran dan topeng. Pertunjukan kesenian ini diawali dengan Tarian Klono, dilanjut dengan Tari Bapang, Tari Gunungsari, Tari Panji serta Ayon-Ayon, kemudian ditutup dengan lakon lawak pada bagian Sapen.
“Klono itu ceritanya raja yang berkelana, untuk lawak itu di bagian Sapen, ada Juragan sama Sogol lakonnya biasanya. Untuk penutupan cerita, biasanya akan ada orang Tionghoa datang mencari babu, nah disitu nanti banyak lawakan-lawakan,” terangnya.
Sandur Manduro tergolong merupakan kesenian yang tampilannnya sangat sederhana, baik dalam ornamen, pakaian, pemeran hingga pemusik. Bahkan, karena sederhanaan kesenian ini, tak terlalu membutuhkan banyak orang untuk memainkannya. “Biasanya total ada 14 orang, penabuh sama pemainnya, itu juga tumpang tindih mainnya, ada yang main juga gantian menabuh juga,” tambahnya.
Pada tabuhan, alat yang digunakan juga sederhana, Warito menyebut, untuk pertunjukan Sandur Manduro, menggunakan alat musik dua gendang besar dan kecil, terompet, serta gong tiup. “Kalau sandur lain kan gamelannya lengkap. Sandur Manduro tidak, memang tampilannya sederhana sejak dulu,” imbuhnya.
Dalam pementasannya, bahasa yang digunakan adalah bahasa campuran. Lokasi Desa Manduro yang berada di pemukiman Etnis Jawa meski mereka aslinya adalah Etnis Madura, membuat penggunaan bahasa pada Sandur Manduro lebih luwes. “Ya campuran, ya Jawa ya Madura, disesuaikan saja masyarakatnya dan siapa yang menanggap,” ucap Warito.
Yang paling mencolok, tentu saja keberadaan topeng yang digunakan para pemain Sandur Manduro. Topeng-topeng ini memiliki ciri dan peran masing-masing dalam pertunjukannya. “Biasanya yang pakai topeng ini tidak ngomong dia, yang dialog adalah pemeran yang tidak pakai topeng saja, seperti pada bagian Sapen Lawakan itu, atau pada bagian penutup,” terang Warito.
Karena ke khas-annya, kesenian Sandur Manduro bahkan telah ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2017 yang lalu.
Sementara itu, Budayawan Jombang, Nasrul Illah (Cak Nas) menjelaskan, Kesenian Sandur Manduro yang ada di Desa Maduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang ini merupakan salah satu instrumen Panji. “Di Jombang ya (Instrumen Panji), Kalau di Madura lebih ke cerita Mahabharata dan Ramayana. Tuban dan Bojonegoro lebih ke atraksi ritual sedekah,” kata Cak Nas.
Diterangkan Cak Nas, Sandur yang ada di Jombang (Desa Manduro, Kecamatan Kabuh), lebih ke teatrakal yang isinya Tari Klana (Klono), Tari Bapang, Tari Ayon-ayon dan lain-lain serta memiliki lakon/ cerita seperti Jaran Semberani, yang menyindir dipecahnya Kerajaan Airlangga menjadi Jenggala dan Panjalu.
Polesi Airlangga ini mengecewakan para empu dan rakyat, maka munculnya banyak cerita/ lakon seperti Lurah Klepek, menceritakan sikap salah satu lurah yang tidak bisa memberi contoh kepada rakyatnya dengan contoh ganjaran (bengkok) yang dijual terus, akhirnya ‘klepek-klepek’. “Ini nilai Budaya Panji, dan masih banyak tentang pelestarian lingkungan, sayangi binatang, sayangi tanaman,” tutur Cak Nas. [Arif Yulianto]

Tags: