Sanksi Hukum Syariah atas Koruptor

Oleh :
Ahmad Fatoni
Pengajar Fikih Muamalah PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang

KEBANYAKAN orang menganggap kalau korupsi itu ialah prkatek pencurian uang rakyat yang dilakukan oleh para koruptor. Dan karena itu sama-sama praktik pencurian, banyak yang menilai bahwa koruptor sangat layak sekali dipotong tangannya. Karena dalam syariah, hadd (hukuman) bagi pencuri ialah potong tangan.
Tentu ini dengan catatan, kalau memang negara Indonesia mengakui dan memakai hukum jinayat Islam, yang memang memberlakukan hadd untuk beberapa jenis pelanggaran. Termasuk hadd Rajam (ditimpuk dengan batu sampai mati) bagi pezina yang telah menikah.
Kenyataannya, negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini enggan melirik hukum syariah, padahal di dalamnya terdapat keadilan dan kedamaian yang selama ini justru paling sering digembor-gemborkan oleh mereka-mereka yang mengaku akitivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka aktivis yang membela HAM tapi sejatinya menginjak-injak HAM itu sendiri.
Koruptor Bukan Pencuri
Jika ditelusuri lebih jauh, praktik korupsi bukanlah praktik pencurian yang dikenal oleh syariah yang hukumannya ialah potong tangan. Pencurian dalam istilah syariah disebut dengan sariqah. Para ulama praktik mendefinisikan sariqah itu ialah “mengambil suatu barang milik seseorang secara diam-diam”.
Menurut istilah ulama praktik, sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Kuwait, dijelaskan definisi sariqah adalah “Pengambilan oleh seorang yang berakal dan baligh atas harta yang telah mencapai nishab dan disimpan dengan aman, atau yang senilai dengan nishab, dimana harta itu milik orang lain, yang dilakukan tanpa syubhat, dengan cara tersembunyi.”
Dari definisi tersebut, korupsi sudah berbeda dengan pencurian yang dikenal dalam syariah. Pencurian yang mengakibatkan hukuman potong tangan harus terpenuhi juga rukun-rukunnya yang berkaitan dengan: si pencuri, barang curian, kadar barang curian, dan sifat pencurian.
Adapun praktik pencurian ialah praktik yang dilakukan terhadap barang atau uang yang tersimpan rapi dalam tempat semestinya kemudian dicuri, dan pencuriannya pun dilakukan secara diam-diam. Sementara praktik korupsi (ikhtilas), memang ia juga bagian dari pencurian, tapi pencuriannya dilakukan tidak dengan diam-diam. Dan barang atau uang yang dicuri pun tidak diambil dari brangkas yang tertutup rapi, melainkan korupsi itu dilakukan atas uang yang memang dikelola sendiri oleh si koruptor kemudian dikorup.
Secara teknis korupsi merupakan suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan pejabat (pemerintah atau swasta) yang mendapatkan harta melalui kecurangan atau tidak syar’i, baik yang diambil dari harta negara maupun masyarakat.
Jadi korupsi dan pencurian jelaslah berbeda. Karena memang berbeda maka hukuman untuk pencurian tidak bisa diberlakukan atas praktik korupsi. Rasulullah Saw bersabda: “Perampas, koruptor (mukhtalis), dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR. Ahmad).
Hukuman Takzir
Akan tetapi, bukan karena korupsi itu tidak memenuhi syarat untuk mendapat hukuman potong tangan layaknya pencurian, tidak berarti korupsi tidak ada hukumannya. Syariah Islam tidak pernah gagap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran kemanusian apapun bentuknya, sebab memang syariah ini, salah satu tujuannya (maqashid) ialah menjaga harta dan kehormatan umatnya.
Dalam hukum jinayat Islam, ada yang namanya hukuman takzir, yaitu hukuman yang disyariatkan dalam agama atas pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan juga hak-hak manusia yang tidak ada hadd maupun kafarat-nya. Kebijakan takzir diserahkan kepada hakim sesuai dengan jumlah harta yang dikorupsi.
Hukuman takzir merupakan penebus dosa bagi pelakunya, selain sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Namun sebelum sanksi takzir dilakukan, harta hasil korupsi harus dikembalikan terlebih dahulu kepada pemiliknya (baik individu, organisasi, perusahaan maupun negara). Jika barangnya telah rusak/cacat/berkurang, maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya.
Bentuk takzir bagi koruptor bisa juga berupa hukuman tasy’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor. Zaman dulu diarak keliling kota, sekarang bisa di-blow up lewat media massa), pencambukan, penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
Berkaitan dengan tasy’ir, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang yang syahid tidak dishalati. Rasulullah kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum Yahudi seharga hampir 2 dirham.
Hukuman bagi koruptor bisa pula dengan hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizhamul ‘Uqubat fil Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara dan merugikan negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Dengan demikian, korupsi bukanlah pencurian dan tak perlu hukuman potong tangan. Jika ada koruptor yang jelas-jelas mencelakakan negara secara sistemik dam masif, maka langsung dieksekusi saja. Mengingat kondisi saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat nista ini. Bahkan nyaris kita dapati di setiap lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Publik kemudian menggolongkan para pelaku korupsi menjadi berkelas-kelas.
Sayangnya, Indonesia hampir sama sekali tidak melirik hukum jinayat Islam untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran hukum. Bahkan justru terus saja mengekor kepada hukum yang tidak jelas sumbernya, dan parahnya peraturan tersebut tidak memberikan kemaslahatan kepada warganya. Bagaimanapun, setidaknya kita meyaikini bagaimana syariah Islam ini benar-benar mengurusi segala hal. Bukan hanya mengurus perkara ritual keagamaan, syariah juga memberikan penjagaan yang optimal akan harta dan kehormatan umatnya.
Toh jika para koruptor di negeri ini lolos di pengadilan dunia, mereka tidak akan bisa lari dari pengadilan Allah di akhirat. Bila harta ghulul itu berupa makanan, maka daging yang berasal dari makanan hasil ghulul akan dibakar oleh api neraka. Andai harta ghulul tersebut berupa kendaraan, tanah, rumah, dan lain-lain, mereka harus memanggulnya kelak. Satu meter persegi saja tanah yang dicuranginya, maka satu meter persegi potongan lempengan bumi itulah yang harus dibopong di hari kemudian.
Wallahu a’lam bishshawab.
——— *** ————

Rate this article!
Tags: