Sapardi dan Dunia Sastra Indonesia

Oleh :
Aldi Bintang Hanafiahdiyah
Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Dunia sastra tanah air kini kembali berduka cita setelah sastrawan papan atas Sapardi Djoko Damono menghembuskan nafas terakhirnya. Siapa yang tidak kenal dengan sang maestro satu ini. Karyanya yang begitu menggelegar,menyentuh hati dan fenomenal telah banyak dinikmati oleh semua kalangan. Puisi-puisi yang sederhana dan penuh makna adalah ciri dari karya sastra yang pernah ia goreskan.

Mengutip dari KumparanNEWS, sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada hari minggu (19/7). Ia meninggal dunia di RS EKA BSD, Tanggerang Selatan sekitar pukul 09.17 WIB. Hingga saat ini belum diketahui apa penyebab sapardi meninggal dunia. Kepergian pria kelahiran surakarta, 20 Maret 1940 ini begitu mengejutkan dan meninggalkan duka yang mendalam.

Sapardi adalah sastrawan kebanggan tanah air. Seorang pujangga satu ini kerap kali disapa dengan nama akrab, SDD. Puisi yang pernah ia tulis diantaranya adalah Hujan di Bulan Juni, Yang Fana Adalah Waktu, Ayat-Ayat Api, Melipat Jarak, Pada Suatu Hari Nanti dan lainnya. Dari karya-karya yang pernah ia tulis telah mendapatkan sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri.

Sastra dan Peradaban

Hampir setiap peradaban dunia, sastra merupakan salah satu pilar yang menjadi bagian dari sebuah peradaban. Bangsa yang peradabannya maju tidak pernah terlepas dari dunia kesusastraan. Dalam peradaban Yunani kuno misalnya kita dikenalkan dengan lllias dan Odysseia karya Homeros (abad ke-8 SM). Buku lllias menceritakan peperangan antara Yunani melawan Troya. Sedangkan buku Odysseia mengisahkan perjalanan kembali tentara Yunai melawan Troya.

Sampai saat ini kisah yang ditulis oleh Hemores masih sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kisah Kuda Troya yang ia tulis menghasilkan suatu metamorfosis tentang tipu daya dan merupakan strategi perang yang akan terus dikenal karena memiliki filosofis yang mendalam.

Dalam peradaban Islam sastra merupakan pilar yang tidak dapat terpisahkan. Sepanjang sejarah Islam sastra menjadi bagian yang terus hidup dan mengisi runga-ruang kosong. Karya sastra yang sangat terkenal dari peradaban Islam diantaranya adalah Seribu Satu Malam, Layla dan Majnun, syair-syair dari pujangga besar Abu Nawas dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sedangkan di peradaban Eropa ketika abad-abad pencerahan atau Renaissance sastra begitu berkembang dengan pesat. Sastra merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan dan otoritas gereja. Karya yang terkenal dari peradaban Eropa diantaranya adalah Romeo dan Juliet (William Shakespeare), Pangeran (Nicholas Machiavelli), Utopia (Tomas Moro) dan lain-lain.

Sastra Indonesia dan Budaya Baca

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Taifik Ismail pada era 1997-2005. Ada fakta yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Dalam risetnya dari 13 negara Ismail menemukan bahwa siswa di Indonesia tak mengenal sastra hingga bangku SMA. Tentu ini merupakan fenomena yang memilukan dan tak sebanding dengan negara-negara lain. Di Thailand, para siswa diwajibkan membaca 5 judul buku. Di Malaysia dan Singapura 6 judul buku. Di Jepang dan Swiss 15 judul, dan Amerika yang tertinggi, yaitu 32 judul buku.

Padahal sejak dahulu Indonesia sudah memiliki segudang tokoh sastra yang tak kalah hebat dengan tokoh-tokoh dari negara lain. Seperti Muhammad Yamin, HAMKA, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, Rendra, Sapardi Djoko Damono dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh papan atas ini apabila karya-karyanya banyak dibaca khususnya oleh para pelajar maupun siswa akan menjadikan Indonesia dengan tingkat budaya baca dan literasi yang tinggi.

Riset yang dilakukan oleh Taufik Ismail seharusnya menjadi perhatian yang serius dari pemerintah. Rendahnya budaya baca menandakan Indonesia masih jauh dari kata maju. Pembangunan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya berorientasi terhadap literasi.

Padahal dengan kita belajar dan membaca sastra disana kita dituntut untuk menangkap nilai-nilai etis seperti cinta, kasih sayang, keadilan dan perdamaian. Kepergian sang maestro Sapardi Djoko Damono kembali menggugah kita untuk terus mencintai sastra. Sekaligus menyuarakan budaya baca di Indonesia yang masih rendah agar mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Apabila Indonesia ingin menjadi negara maju maka disiplin membaca harus dilakukan sejak awal memasuki bangku sekolah dari tingkatan terendah.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: