Sarung Romo Kiai

Oleh :
Dody Widianto

Di tengah teriakan orang-orang dengan nada menghina dan seakan mengiris tipis-tipis telinga Badrun, ada tanda lebam di jidat dan kedua rahangnya. Wajah Badrun bonyok. Kerumunan warga berusaha menangkap dan menggiringnya ke Balai Desa saat matahari tepat di atas kepala. Salah satu lubang hidung Badrun masih saja mengucurkan darah segar. Ia menunduk malu. Kedua lengannya terus saja dicengkeram dua orang di sebelahnya. Ia sudah tak berdaya. Namun, rasa sakit dan perih itu tampaknya melebihi rasa sakit dan malu dalam hatinya. Bagaimana mungkin, Badrun yang merupakan murid tersayang Romo Kiai Umar, telah melakukan perbuatan tercela.

Setahun lalu Badrun baru saja menikah. Seperti nasihat dari Romo Kiai Umar selaku guru ngajinya, ada satu pesan yang akan terus ia ingat. “Menikah itu berat. Kamu bisa saja mengatakan siap di bibirmu sekarang. Namun, ada hati dan mental yang lebih harus disiapkan. Setelah akad, bulan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, kalian berdua akan melalui masa-masa adaptasi yang sulit. Memang sebagian orang bisa menjalaninya, tetapi sebagian lagi akan merasa ingin menyerah dan berusaha menyudahi segalanya. Jika diingat kalau pernikahan itu bagian dari ibadah, tentu hal-hal negatif yang hinggap di kepala akan segera kita lenyapkan. Lalu, siapa yang bisa menuntun kita untuk melalui segalanya? Tentu Gusti Allah Le. Jika menemukan masalah, komunikasikan berdua dengan kepala dingin. Jangan sampai urusan rumah tanggamu sampai keluar kamar. Malu. Kalian yang menjalani, kalian berdua yang tahu luar dalam. Jika dirasa berat, curhat sama Gusti Allah agar diberikan jalan. Insya Allah, segalanya akan dimudahkan.”

Ternyata benar. Segalanya tak semudah dalam angan. Saat istrinya hamil tujuh bulan, ia seolah diuji dengan kesulitan-kesulitan. Setelah pandemi, perusahaan pembuat amplop di kotanya mengurangi jumlah karyawan. Termasuk istrinya yang biasanya bekerja borongan di rumah melipat dan mengelem amplop, harus berhenti dahulu sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan perusahaan. Badrun yang sehari-harinya berjualan cilok di depan sekolah, mendadak berhenti dagang. Sekolah dibuka selang-seling dengan murid yang hanya bisa dihitung jari. Badrun seolah tak bersemangat lagi menjalani hari-hari.

Ketika hari kelahiran bayi itu mendekati apa yang dikatakan dokter, makin bingung Badrun menyikapi. Uang tabungan tak cukup. Dokter bilang rahim istrinya sedikit bermasalah. Dokter menyarankan istrinya operasi cesar. Badrun bisa saja meminta surat tak mampu ke Kantor Desa agar proses kelahiran itu dimudahkan. Namun, ia malah ditawari untuk membuat kartu jaminan kesehatan lebih dulu. Ada biaya per bulan yang harus ia keluarkan dan dirasa itu malah memberatkannya. Uang dua puluh ribu sangat berharga baginya saat itu. Bahkan kemarin mahar kalung dan cincin di hari pernikahannya terpaksa dijual untuk biaya makan dan periksa kandungan. Badrun makin pusing.

“Dasar anak haram. Pantes nyolongan. Tukang nyuri!”

Di teras rumah yang sederhana dengan dinding anyaman bambu, Badrun mengarahkan pandang pada langit tanpa bintang di angkasa. Raut kelabu di wajahnya seolah sama dengan warna langit di atas sana. Ia menelan ludah yang terasa begitu pahit. Ia masih saja teringat kata-kata yang keluar dari mulut seseorang berpuluh tahun lalu. Saat tubuh mungilnya tak berdaya di tengah kerumunan orang yang menangkapnya di pelataran masjid. Beberapa suara sumbang terus saja menusuk-nusuk hatinya yang terdalam. Kalau boleh memilih, tentu ia tak akan mau memiliki takdir terlahir tanpa tahu di mana ayah ibu. Masa kecilnya ia lalui dengan tinggal di rumah salah satu pamong desa yang merasa iba dengan keaadannya. Kata bapak angkatnya, ibunya mati karena sakit. Ia tak tahu di mana ayahnya. Bahkan teman-teman kecilnya selau mencemooh dengan kata “anak haram” saat ia ingin ikut bermain bola. Ketika ia ketahuan mencuri uang kotak amal di dalam masjid, makin murkalah warga dengan kelakuan Badrun. Setelahnya, sebutan “anak nakal” seolah terus menempel pada tubuhnya.

Badrun mengusap pipi. Ia baru pulang berdagang. Entah sejak kapan tepi wajahnya itu terasa lembap. Perlahan ia membuka pintu kayu dan memasuki rumah. Di ujung, istrinya telah tertidur di atas ranjang tua pemberian seseorang yang juga iba pada kondisinya. Dulu, mereka berdua selalu tidur di atas tikar pandan yang telah robek ujungnya. Sebenarnya ia tak begitu sedih dengan kondisi yang ada. Ia hanya merasa kasihan belum bisa membahagiakan istrinya.

Langkah kakinya kemudian berhenti di depan lemari. Ia membuka perlahan. Di tumpukan paling atas sebelah kanan, ada satu kain yang selalu ia pisahkan dari lipatan baju lain. Sarung kotak-kotak warna merah tua dengan bahan katun yang lembut. Belum pernah sekali pun ia memakainya. Sarung pemberian Romo Kiai Umar di hari pernikahannya dengan seorang perempuan yang juga dipilihkan guru ngajinya itu.

“Menikahlah. Nanti kau bisa tahu arti tanggung jawab. Dan tentu saja, mengurangi kenakalanmu dulu. Jalan pikiranmu akan teralihkan dengan istrimu. Kalian berdua akan menjalani segalanya dengan saling berbagi kesenangan dan kesedihan. Aku rasa sudah cukup mengajarimu mengaji di sini. Namun, bukan berarti kau tidak boleh berkunjung ke sini. Mampirlah saat kau senggang. Pintu pondok pesantren ini masih terus terbuka untukmu Badrun. Lagi pula jarak rumahmu ke sini tak sampai setengah jam jalan kaki.”

Itu adalah nasihat dari Romo Kiai Umar saat ia sudah dewasa dan sepatutnya untuk menikah. Akibat kenakalannya dulu saat ia masih bocah, Romo Kiai Umar pernah meminta bapak angkatnya agar Badrun dirawat langsung olah Romo Kiai Umar di pondoknya. Bapak angkatnya setuju, dan setelah itu, pembinaan dan perawatan Badrun telah diserahkan sepenuhnya di tangan Romo Kiai Umar.

Badrun mencium sarung dari Romo Kiai Umar dengan perlahan. Harum aroma minyak jafaron menguar. Ia masih saja ingat, berpuluh tahun lalu saat ia masih dalam bimbingan Romo Kiai, seusai mengaji, ia selalu mencium punggung tangan Romo Kiai. Ada aroma sama yang tertinggal di sana.

Badrun menghela napas. Ingin rasanya menjual sarung hadiah itu. Toh, lipatan dan label plastiknya masih utuh. Barangkali ada yang mau. Barang lima puluh atau seratus. Untuk menyambung makan beberapa hari ke depan. Di antara hati yang bimbang, ada tekad yang bulat. Berangkatlah ia pagi-pagi itu ke juragan gilingan tepung langganannya. Barangkali setengah uangnya nanti bisa untuk modal berdagang.

Ndoro Awar sebagai juragan tepung beras dan tapioka menolak tegas. Ia bilang utang-utang yang kemarin saja belum terbayarkan, sekarang Badrun malah meminta lebih banyak lagi dengan dalih menjual sarung itu. Ndoro Awar tak begitu butuh sarung. Ia sudah punya banyak. Ndoro Awar bilang untuk cari utang ke orang lain saja.

Badrun akhirnya menyusul istrinya ke rumah sakit dengan raut lesu. Pertemuan dengan Ndoro Awar tak mendapat hasil. Setelah konsultasi dengan beberapa perawat dan dokter, atas nama kemanusiaan, rumah sakit itu akhirnya mau segera melakukan operasi. Begitu bahagianya Badrun. Doa-doanya setiap malam seolah didengar Maha Pengendali.

Namun, rasa bahagia itu ternyata hanya sementara. Sejam lebih setelah proses cesar itu berhasil, dan Badrun telah mengazani anak laki-laki pertamanya, ada satu tagihan yang membuat mata Badrun menyala. Ia kembali menggelengkan kepala. Mau ke mana lagi cari utangan uang. Di tepi ranjang, ketika istrinya masih tertidur karena kelelahan, Badrun yang duduk di sebelahnya masih saja meremas-remas kepalanya. Tanpa menebus obat-obatan itu dengan uang, tentu istrinya tidak akan sembuh. Badrun makin bingung. Hatinya terus saja berdoa agar diberikan jalan kemudahan.

Badrun benar-benar bingung. Andaikan ia punya saudara, tentu ia bisa lagi menambah utang ke kakak atau adiknya. Hidup sebatang kara yang dialaminya ternyata begitu berat. Kepala Badrun terasa panas. Ia bingung. Dalam kekalutan itu, tiba-tiba ada satu hal yang melintas di kepalanya. Badrun bangkit. Berpamitan pada istrinya untuk pulang ke rumah sebentar. Tanpa istrinya tahu, Badrun sedang merencanakan sesuatu.

Di tengah kepekatan malam, saat jangkrik-jangkrik bernyanyi dan burung hantu menampilkan diri, Badrun berusaha mencongkel jendela rumah seseorang dengan linggis. Hati Badrun panas atas sindirannya kemarin. “Dasar orang kaya sombong,” tukas Badrun makin panas.

Sebuah mesin gilingan tepung ia keluarkan perlahan-lahan melalui lubang jendela. Badrun yang belajar ilmu sirep dari salah seorang temannya dulu, membuat segala aktivitas di kepekatan malam saat itu tak terdengar siapa pun. Bahkan warga sekitar seolah terbuai dalam lelap. Tak ada yang tahu. Di luar jendela, Badrun membungkus mesin gilingan itu dengan sarung kotak-kotak merah pemberian Romo Kiai, lalu dipanggulnya benda itu. Baru selangkah ia akan berjalan, entah sebab apa, ujung sarungnya tersangkut engsel kunci jendela, tepat ketika di dalam ada suara terbatuk-batuk dari yang punya rumah. Badrun panik. Ditariknya tak peduli hingga menimbulkan suara kain robek. Lalu bergegas. Berlari menembus kepekatan malam yang menelan tubuhnya hidup-hidup.

Esok hari warga gempar ketika tahu Ndoro Awar kemalingan. Satu mesin giling tepungnya hilang. Namun, malang bagi si pencuri. Sobekan sarung merah itu jadi saksi. Tepat ketika sehari sebelumnya Badrun ingin berutang kepada Ndoro Awar. Mudah saja bagi Ndoro Awar untuk mengerahkan warga dan menangkap Badrun. Entah dalam kaadaan bonyok atau masih mulus. Yang pasti Badrun harus bertanggung jawab.

Kericuhan di depan Balai Desa itu akhirnya berhenti ketika Romo Kiai Umar datang dan menengahi segalanya. Raut mukanya begitu kaget saat tahu seseorang di depannya yang telah bonyok mukanya dengan berkalung sarung merah. Beliau menggeleng.

“Badrun, maafkan saya. Setelah berumah tangga, aku lupa berpesan padamu jika yang lebih kuat dari sabar hanyalah iman. Ndoro Awar, berapa kerugianmu?” Romo Kiai menoleh ke arah juragan tepung. Wajah Ndoro Awar merah menahan marah.

———- *** ———–

Tentang Penulis:
Dody Widianto
Lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.

Rate this article!
Sarung Romo Kiai,5 / 5 ( 1votes )
Tags: