Sasaran Kartu Indonesia Pintar Tak Libatkan Daerah

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Dindik Jatim, Bhirawa
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, lagi-lagi harus melongo dengan program yang diluncurkan pemerintah pusat. Termasuk program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang sejak dua hari lalu mulai dibagikan langsung oleh presiden bersamaan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Dr Harun MSi mengatakan, sampai saat ini tidak ada koordinasi antara pusat dengan provinsi. Termasuk dalam menentukan data sasaran penerima KIP. “Kami belum ada koordinasi maupun panduan khusus terkait KIP ini. Mungkin, sasarannya menggunakan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang sudah valid,” tutur Harun saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (4/11).
Meski demikian, Harun yakin program tersebut akan memberikan manfaat lebih bagi siswa. Khususnya siswa dari keluarga tidak mampu atau rentan miskin. Harun juga yakin program KIP ini tidak akan bertabrakan dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang juga diluncurkan sebagai kompensasi kenaikan BBM pada 2013 lalu. “Ini tidak mungkin tabrakan. Manfaatnya juga banyak sekali bagi siswa miskin atau rentan miskin,” kata dia.
Padahal jika melihat pengalaman tahun lalu terkait penyaluran BSM sebagai kompensasi kenaikan BBM berjalan sangat amburadul juga karena tidak melibatkan daerah. Di antaranya ialah serapan yang rendah. Bahkan di Jatim, pada akhir 2013 sempat menolak penambahan kuota BSM untuk jenjang SD yang masih tersisa tiga juta sasaran dari total kuota nasional sebesar delapan juta. Penolakan itu lantaran data sasaran yang tidak jelas dan waktu yang mepet dengan akhir tahun anggaran.
Tahun lalu, penerima BSM Jatim jenjang SD mencapai 2,1 juta siswa. Itu terbagi pada dua kategori, yaitu penerima BSM melalui APBN murni sebanyak 1,1 juta siswa dan APBN Perubahan sebanyak 980 ribu siswa. Khusus untuk penerima dari APBN murni, bantuan senilai Rp 450 ribu dan penerima dari APBNP, sebesar Rp 225 ribu. Penerima BSM ini, juga mendapat tambahan maslahat kenaikan BBM senilai Rp 200 ribu. Jadi total yang diterima dari APBN sebanyak Rp 650ribu per tahun dan dari APBNP sebanyak Rp 425 ribu untuk satu semester.
Sementara itu, Surabaya menjadi salah satu pilot project yang terpilih di antara 18 kota penerima KIP. Kepala Dindik Kota Surabaya Ikhsan mengakui, Kota Pahlawan ini masuk dalam daftar penerima KIP selain 17 kota lainnya. Sedangkan 17 kota yang juga terima KIP itu masing-masing Jembrana, Pandeglang, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Cirebon, Bekasi, Kuningan, Semarang, Tegal, Banyuwangi, Balikpapan, Kupang, Mamuju Utara, dan Pematang Siantar.
Menurut dia, Surabaya tinggal menyesuaikan saja terhadap program ini. Sebab, dari sisi sistem sudah ada, karena menggunakan data BSM yang dulu. Meski untuk penyesuaian range dan nilai BSM, pihaknya masih menunggu arahan selanjutnya dari pusat. Hingga kini pun Ikhsan belum mengetahui detil pembiayaan KIP untuk poin apa saja. Ini karena pusat juga belum melakukan koordinasi dengan Dindik Surabay dan petunjuk yang jelas.  “Masih menunggu presentasi apa yang harus dilakukan dan yang harus disiapkan,” ujarnya. Tapi untuk kesiapan program, Ikhsan mengaku Surabaya sudah siap. Karena sistem BSM sebelumnya juga sudah berjalan dengan baik dan lancar.
Ikhsan berharap, dengan adanya KIP ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Surabaya. Terutama untuk membantu biaya sekolah bagi keluarga yang tidak mampu. Seperti anak jalanan, anak putus sekolah dan juga permasalahan pendidikan yang dikarenakan kesulitan pembiayaan.  “Ya kita mendukung saja, sampai kartu itu tiba di Surabaya sembari menyiapkan hal-hal teknis yang diperlukan,” pungkas Ikhsan.
Persoalan Hukum
Sementara itu Program Kesejahteraan Rakyat, salah satunya Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diluncurkan Presiden Jokokowi berpotensi menjadi persoalan hukum. Pasalnya program KIP tidak tercantum dalam Undang-Undang APBN sekarang.
“Belum ada landasan hukumnya,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Ridwan Hisyam kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (4/11).
Ridwan mengatakan Komisi X DPR telah membahas program KIP yang diluncurkan Jokowi. Menurutnya banyak dari anggota Komisi X incumbent yang menilai program KIP sama dengan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Singkat kata Jokowi hanya mengganti nama program saja. “Mereka (Komisi X incumbent) menilai Jokowi mengklaim program lama. Istilahnya cuma ganti baju,” ujar Ridwan. Jokowi tidak bisa seenaknya mengubah mata anggaran untuk bantuan pendidikan yang telah ada di APBN. Sebagai mantan kepala daerah, kata Ridwan, Jokowi mestinya memahami aturan birokrasi anggaran. Sebab menurut Ridwan  meskipun program KIP dan BSM memiliki tujuan yang sama, namun pengubahan nama program tetap mesti melalui persetujuan DPR. “Kalau dicairkan anggarannya belum ada persetujuan DPR, bisa bermasalah hukum karena tidak sesuai dengan mata anggaran di APBN,” katanya.
Ridwan mencontohkan. apabila APBN menganggarkan pembelian mobil Toyota Crown senilai Rp 1 miliar per unit, pemerintah tidak bisa mengubahnya dengan membeli Toyota Kijang sebanyak lima unit meski dengan nilai pembelian yang sama. [tam, ira]

Tags: