Sastra dan Kajian Sosial Budaya Masyarakat

Judul Buku : Mengintip Indonesia dari Lerok dan Oetimu
Penulis : Hairus Salim HS
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, Juni 2021
Tebal Buku : 230 Halaman
Peresensi : Slamet Makhsun
Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga

Suatu kala, De Bonald pernah berkata bahwa, “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”. Sastra menjadi sebuah cermin dalam melihat dan mendengar, bagaimana konstruksi sosial dan budaya masyarakat bisa terbangun dan berjalan. Hal ini, lalu menjadikannya semacam memory card, yang dapat menyimpan gambaran suatu peristiwa-dapat dibaca dan dinikmati kapan pun juga.

Mungkin, apologi seperti itulah yang membawa Hairus Salim HS untuk mengarang sebuah buku yang berjudul Mengintip Indonesia dari Lerok dan Oetimu. Buku ini, ialah himpunan esai kritik sastra, baik dari novel, puisi, cerpen, ataupun biografi. Uniknya, Hairus sama sekali bukanlah seorang sastrawan. Dalam pengantar bukunya, secara jujur ia mengaku hanya sebagai penikmat dan pengkaji seni.

Jejak dan lokus kesarjanaan yang ia tempuh, mengantarkan Hairus untuk lebih dekat dengan keilmuan sosial. Sehingga, buku ini menitikberatkan sastra sebagai bagian dari penelusuran sejarah, pengkajian budaya, serta struktur sosial dalam masyarakat. Leksikal seperti ini, lalu diamini dalam beberapa hal, yakni sastra mencerminkan situasi sosial-budaya dalam kurun waktu tertentu. Ekspresi yang diwujudkan bukan keseluruhan, atau sebuah ekosistem kehidupan zaman tertentu secara konkret dan menyeluruh. Tetapi, yang dilukiskan hanya fragmen, simbolisme, dan atau matra.

Dibaliknya, terdapat makna tersembunyi sehingga perlu penafsiran dalam memahaminya. Kajian sastra dan masyarakat, memang seringkali apatis dengan masalah estetika dan kaidah bahasanya, lebih dari itu, sastra dihadirkan sebagai dokumentasi sosial.

Salah satu upaya yang didedahkan kajian sastra dalam masyarakat, adalah isi karya sastra, tujuan, dan hal-hal lain yang tersirat yang berkaitan dengan masalah sosial. Serta pula, terdapat kajian mengenai sosiologi pengarang, profesinya, institusi sastra, serta permasalahan dan dampak karya sastra bagi pembacanya.

Hairus Salim seakan menarik sastra ke dalam ‘dunia ilmiah’, bilamana tidak hanya imaji dan kata-kata roman saja, lebih dari itu, sastra telah menunjukkan kehadirannya sebagai realitas yang menampilkan rekaman peristiwa dalam masyarakat. Walaupun masih sangat dan bahkan tidak bisa lepas dari subjektivitas penulisnya, tetapi, telah mewakili sebagai bukti ‘adanya’ suatu masyarakat yang digambarkannya. Yang lalu menyejajarkan sastra dengan benda-benda sejarah seperti relief, prasasti, ataupun fosil, yang dapat ditelusuri dengan beragam metodologi ilmiah.

Sebagai contoh, misalnya ketika ingin melihat peran pemuka agama Islam di realitas masyarakat tahun ’50 an, dapat melihat gambarannya dengan membaca karya sastra yang dikarang di era itu. Seperti cerpen “Umi Kulsum” karya Suherman, atau dua cerpen karya Mochtar Lubis yang berjudul “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” dan “Lotre Haji Zakaria”.

Atau ketika bermaksud melihat gambaran peristiwa G30S dari kacamata korban dan wong cilik. Cukup denga membaca himpunan cerpennya G.M. Sudarta yang berjudul “Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam, dan Karma di Balik Tragedi ’65.”

Selain daripada itu, dengan menampilkan sebuah peristiwa dalam karya sastra, maka ia muncul sebagai sebuah narasi yang literer, yang tak membosankan untuk dibaca. Bukan sebagai traktat ilmiah yang kaku dan baku.

Secara umum, dalam masyarakat, karya sastra dipahami menyampaikan kenyataan yang imajiner, yang disamakan dengan sebuah khayalan. Sedangkan traktat ilmu sosial (karya antropologi, sejarah, atau sosiologi misalnya) dianggap menyampaikan kenyataan yang empiris, faktual.

Itu adalah pandangan lama. Dalam kenyataannya, perbedaan diantara keduanya sangatlah tipis, bahkan, mungkin dalam banyak hal telah tertukar. Karena itulah, di dalam dunia antropologi, belakangan ini diakui literer dan fiktifnya karya etnografi, bukan semata karena gaya penulisannya, karena makin jelas peran imaji penulis di dalamnya. Seturut hal itu, saat ini banyak karya ilmu sosial yang dipersoalkan klaim empiris dan objektifnya.

Singkatnya, apa yang disebut fiksi adalah fiksi, sedangkan apa yang disebut fakta adalah fiksi juga. Semua adalah pikiran, ciptaan, serta konstruksi yang dibangun oleh penulisnya. Campur aduk bersih tegang seperti inilah yang kali terjadi dalam beberapa karya sastra yang menyangkut sejarah.

Sebenarnya, dalam beberapa siklus sejarah, sastra menjadi cara ampuh dalam menghegemoni, atau bahkan untuk melawan hegemoni itu sendiri. Misalnya di era pemerintahan Orde Baru, banyak sastrawan yang karya-karyanya menunjukkan ‘ketidaksukaan’ mereka kepada rezim Orba. Yang berimbas, banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut gerakan mereka.

———– 000 ————

Tags: