Sastra dan Pendidikan Karakter

Oleh:
Eka Sugeng Ariadi
Mahasiswa Pascasarjana Unesa Surabaya

Pendidikan karakter telah digaungkan, dan tak lama lagi ditetapkan sebagai model pendidikan di negeri ini untuk sekarang dan beberapa tahun ke depan. Pro-kontra tentu sudah lumrah mengiringi tiap kebijakan baru, pameo “ganti menteri ganti kebijakan” menjadi hukum alam, tinggal semua pihak menyikapinya dengan senantiasa duduk bersama, mengutamakan kepentingan bersama,menyisihkan kepentingan satu kelompok/golongan semata. Tulisan ini, sejenakberalih dari perdebatan akademik, sosial, politik, dan lain-laintentang kebijakan baru pemerintah di bidang pendidikan yang tentunya saat ini masih dipersiapkan lebih matang ke esensi perubahan yang diinginkan, yakni penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik. Melalui media ini, penulis menyuarakan bahwa apapun konsep perubahan yang ditawarkan beserta proses pembelajaran yang akan membungkusnya,pembentukan karakter ideal anak bangsa hendaklah tak lupa peran unik sastra sebagai bagian dari pendukungnya. Bukan tidak mungkin, justru sastra yang akan mengambil bagian terbesar atau menjadi ujung tombaknya.
Sastra dalam Riset
Pratiwi Retnaningdyah, dalam bukunya Suara dari Margin -Literasi sebagai Praktik Sosial-, memaparkan hasil riset pendidikan baik dari luar negeri maupun dalam negeri tentang hubungan antara sastra dan prestasi akademik siswa. Pertama, hasil penelitian dari luar negeri yang dilakukan  ESRC (Economic and Social Research Council)sampai pada kesimpulan bahwa ternyata buku-buku fiksi membentuk karakter siswa gemar membaca dan efek selanjutnya adalah siswa yang gemar membaca prestasi akademiknya lebih baik daripada yang malas membaca. Tak heran, kemudian Amerika, Inggris, dan Selandia Baru mengalokasikan dana besar-besaranuntuk menambah koleksi buku-buku fiksi di perpustakaan sekolah, tentu dengan harapan melejitnya prestasi akademik siswanya. Kedua, hasil penelitian dalam negeri yang dilakukan oleh Kemendikbud dengan program INAP (Indonesian National Assessment Program) di tahun 2016 pada anak kelas 4 SD se-Indonesia menghasilkan fakta dan data bahwa kemampuan siswa dalam memahami teks sastra lebih rendah (skor 27.65) daripada teks nonsastra (skor 43.34). Maka, tak heran pula, sejak Indonesia ikut dalam tes PISA (Programme for International Student Assessment)-tesuntuk mengukur kecakapan literasi membaca, sains, dan matematika- siswa kita tak kunjung beranjak dari posisi bawah. PISA tahun 2009, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara. Berikutnya tahun 2012, ada di peringkat ke-64 dari 65 negara. Kemudian tahun 2015, di peringkat ke-64 dari 72negara.
Hasil riset diatas seakan mendidihkan denyut nadi sebagian praktisi pendidikan (termasuk penulis) untuk segera beraksi nyata, mengentas siswa dari keterpurukan intelektual dan kemerosotan karakternya.Semoga api semangat semakin membara, menjadikan karya sastra sebagai faktor utama atau ujung tombak suksesnya pendidikan karakter seperti yang diimpikan.Jonathan Haidt, peneliti pendidikan, mengingatkan bahwa,”Human mind is a story processor, not a logic processor”, design otak manusia itu lebih mudah mencerna informasi atau ilmu yang disampaikan dalam bentuk cerita daripada bentuk angka-angka. Maka dari itu, kemampuan dan kesediaan seorang pendidik untuk mulai belajar sastra serta menggunakannya dalam proses belajar mengajar di kelas tentu sangat dibutuhkan.Apapun mata pelajaran yang diampuhnya, sastra bisa menjadi media ‘pembungkusnya’.
Sastra dalam Karakter
Bicara karakter, di sastra-lah tempatnya. Mau menciptakan karakter apa saja pasti bisa, baik yang protagonis maupun antagonis. Demikian pula merencanakan output siswa berkarakter dalam dunia pendidikan, kurang lebihnya sama seperti yang sudah banyak dinarasikan dan diabadikan dalam karya-karya sastra. Mau mencetak lulusan yang protagonis alias berkarakter baik, atau menghasilkan lulusan yang antagonis alias berkarakter buruk, semua tergantung ‘penulisnya’. Orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat luas adalah ‘penulis-penulis’ handal yang akan menentukan baik tidaknya output karakter yang diinginkan.
Datuk Panji Alam Khalifatullah, gelar bagi Taufiq Ismail, seorang penyair dan sastrawankenamaan negeri ini, dalam pidato kebudayaan tahun 2008 berjudul Budidaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka, mengingatkan akan kerusakan-kerusakan karakter yang sebenarnya dihasilkan oleh para penulisnya. Seperti pada poin ke-3, diceritakan bahwa ada beberapa guru SMA menyampaikan keluhan, “Citra kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan memalukan.” Hal ini disebabkan tak lain karena semakin maraknya produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi mengumbar syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial yang kemudian ditayangkan pada jam prime time. Oleh karena itu, sastra dengan mudah bisa menjadikan orang yang membaca dan menikmatinya menjadi pribadi yang berkarakter buruk. Namun sebaliknya, sastra bisa menjadikan orang berkarakter baik, sebagaimana yang dialami oleh Rie rie, seorang buruh migran di Hong Kong. Meski hanya seorang buruh dari desa, dia mampu menulis dan menciptakan banyak karya tulis (esai, opini, cerpen, dan lain-lain) yang dituangkan dalam ‘rumah’ virtualnya, babungeblog.blogspot.com. Dengan kreatifitasnya ini, dia mampu menggerakkan teman-teman seprofesinya untuk berbuat hal yang sama, menciptakan komunitas, dan pada akhirnya menciptakan karakter buruh yang lebih baik dan bermartabat.
Sebagai penutup, harapan penulis, jika pemerintah ingin benar-benar menetapkan pendidikan berkarakter sebagai kebijakan pendidikan untuk tahun ini dan seterusnya, maka sangat urgen pendidikan kesusastraan diberikan secara eksplisit dan terprogram bagi pendidik dan peserta didik. Untuk menjadikanseorang pendidik yang sastrawan, tidak harus sangat menguasai teori-teori sastra dan paham secara mendalam berbagai macam kritik sastra.Bagi pendidik mata pelajaran nonsastra, setidaknya mau membaca karya-karya sastra yang ada kemudian dikaitkan dengan bidang keilmuan yang dimiliki, lalu digunakan dalam proses pembelajaran.Bagi lembaga-lembaga pendidikan, jangan kesampingkan keberadaan dan kebutuhan buku-buku fiksi di perpustakaan, karena kreatifitas peserta didik dan daya imajinasinya tidak semata lahir dari buku-bukuwajib atau nonfiksi. Segera susun program dimana peserta didik mau menikmati karya sastra sebagai bahan bacaan yang menyenangkan reading for pleasure) bukan sekedar sebagai bahan hafalan lalu diberikan pertanyaan-pertanyaan klasik seperti dalam ujian.Di negara bagian Victoria, Australia, siswa setingkat SMA wajib dan harus menyelesaikan program membaca sebanyak 36 karya sastra (baik novel, puisi, drama, dll) dan teks nonfiksi selama mereka 3 tahun belajar (Retnaningdyah, 2017). Sekolah kita kapan?

                                                                                                              ————- *** —————

Rate this article!
Tags: