Sastrawan Masih Bisa Bertahan, Seniman Pertunjukan Paling Kena Imbas

Penulis dan Sastrawan Binhad Nurrohmat saat ditemui di rumahnya di Asrama Al Hambra, Kompleks Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. [Arif Yulianto]

Cerita Penulis dan Sastrawan di Masa Covid-19
Kab Jombang, Bhirawa
Pandemi virus corona atau Covid-19 telah mengubah banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang sangat terimbas karenanya, ada pula yang terimbas tapi masih tertolong karena kemajuan teknologi informasi. Demikian pula yang dialami para penulis dan sastrawan di Jombang, yang juga kena dampaknya.
Binhad Nurrohmat adalah seorang penulis kelahiran Lampung tahun 1976. Pria 44 tahun ini bercerita tentang aktifitasnya sebagai seorang penulis buku pada masa pandemi Covid-19. Penulis buku-buku puisi yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan ini menceritakan, secara umum, kerja-kerja penulisan seorang penulis tidak banyak terpengaruh oleh situasi pandemi Covid-19.
Binhad dikenal sebagai seorang penulis, sastrawan, dan penyair. Sejumlah buku telah dihasilkan oleh Binhad Nurrohmat seperti buku berjudul Kwatrin Ringin Contong, buku kumpulan puisi berjudul Kuburan Imperium, dan sejumlah buku lainnya.
“Karena penulis itu kan isinya di rumah saja kan. Work from home sebenarnya. Tetapi pada saat ini, bagaimanapun karena ini situasi pandemi, setiap orang akan terpengaruh oleh situasi ini, termasuk penulis, baik secara sosial, secara ekonomi kan juga berpengaruh, karena dunia ini kan sebuah sistem,” papar Binhad Nurrohmat di rumahnya di Asrama Al Hambra, Kompleks Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, Minggu (12/7).
Dia mengatakan, saat ini dirinya banyak melihat beberapa kegiatan para penulis yang berbasis digital seperti kegiatan-kegiatan webinar (pertemuan/presentasi online), yang hal ini juga ternyata disambut oleh pemerintah.
“Umpamanya kayak Kemendikbud itu menggandeng beberapa teman yang mengelola kegiatan yang berbasis digital itu. Seperti teman-teman sastrawan, itu bikin forum diskusi juga untuk pembacaan karya. Nah seperti saya kemarin diundang oleh salah satu seniman yang bekerjasama dengan Kemendikbud untuk memproduksi sebuah acara yang berbasis digital untuk pembacaan puisi dalam bentuk video,” papar dia lagi.
Jadi sebenarnya lanjut Binhad Nurrohmat, kerja-kerja kesenian untuk konteks sastra, relatif lebih tertolong pada masa pandemi ini. Tertolong dalam pengertian bahwa, produk-produknya, aktifitasnya, masih tetap ada. “Penerbitan buku juga masih jalan, baik cetak maupun digital, tidak terlalu berpengaruh,” lanjut dia.
Hal ini, terang dia, berbeda dengan para seniman pertunjukan yang menurutnya memang mendapatkan dampak dari pandemi Covid-19 karena seni pertunjukan mengandaikan adanya pertemuan langsung dan adanya penonton, sehingga kemungkinan terkendala oleh protokol kesehatan pandemi Covid-19.
“Menariknya sekarang, teman-teman seniman itu mencoba, bahkan secara kolektif, merespon situasi aktual, kontekstual, bagaimana situasi pandemi itu dalam kehidupan masyarakat seperti apa,” ungkap dia.
Untuk urusan pengumpulan data atau materi, sebagai seorang penulis maupun sastrawan seperti dirinya mudah mencari akses seperti dari konten-konten youtube maupun pemberitaan-pemberitaan. “Saya kira tidak terlalu terpengaruh untuk sekedar mengakses rujukan-rujukan atau materi-materi atau bahan untuk penciptaan,” ulas Binhad Nurrohmat.
Namun kata dia, ada satu hal yang menjadi masalah yakni, kegiatan-kegiatan yang berbasis off line seperti perjumpaan langsung yang tidak mungkin dilakukan pada saat ini. “Namun itu sudah ada penggantinya, sudah ada alternatifnya secara online,” tandas dia.
Setidaknya selama masa pandemi Covid-19 ini, pria yang pernah dekat dengan penyair kenamaan, almarhum WS Rendra ini mengaku sudah menyelesaikan 2 naskah buku, 1 naskah sudah keluar dari percetakan, dan 1 naskah lagi sudah jadi, namun memang tidak dicetak sekarang.
“Yang sudah keluar dari percetakan itu, (buku) kumpulan puisi. Saya menulis puisi satu buku utuh, tentang pemikiran seorang filosof yang bernama Friedrich Nietzsche. Itu saya menulis khusus tentang pemikiran Friedrich Nietzsche, kenapa, karena saya menyiasati supaya tidak perlu mencari bahan-bahan jauh-jauh. Saya tidak harus observasi, survei ke lapangan. Yang kedua itu saya menulis soal Korea, itu juga metodenya sama, saya tidak perlu suvei jauh-jauh. Seandainya pun saya butuh bahan yang harus disurvei, saya bisa memanfaatkan internet,” terang Binhad Nurrohmat.
Namun tidak dipungkirinya, respon pasar pembeli buku pada masa pandemi Covid-19 berbeda dengan sebelum pandemi, dalam hal ini ada penurunan jumlah pembeli. Karena kebutuhan orang sekarang kepada kebutuhan pokok. Tetapi bukan tidak jalan, penerbitan terus berjalan, banyak penerbit-penerbit yang dia jemput bola.
“Jika dulu cetak sekian eksemplar di jual ke toko. Kalau sekarang, pertama adalah, mereka mencetak sesuai dengan pesanan. Jadi mereka melalui internet atau jaringan yang lain, menawarkan akan terbit buku ini. Nanti pemesannya berapa, dicetak sesuai jumlah pemesan. Baik versi cetak maupun versi elektronik,” pungkasnya. [Arif Yulianto]

Tags: