“Satu Komando” Perberasan

Karikatur Ilustrasi

Kenaikan (tipis) harga beras direspons pemerintah dengan impor sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam. Tetapi kebijakan (Kementerian Perdagangan) itu diprotes banyak pihak, tak terkecuali kalangan DPR-RI.Bahkan diduga terjadi silang data per-beras-an. Yakni jumlah beras hasil panen berdasar data Kementerian Pertanian, dengan persediaandi gudang (berdasar data Kementerian Perdagangan). Perbedaan data, niscaya berujung pada analisis kebiajakan.
Berbagai kritisi dan penolakan impor beras, dinyatakan cukup masif. Terutama penolakan dari daerah-daerah sentra beras. Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, menolakkeras impor beras. Pada sisi lain, pemerintah memastikan realisasi impor beras dipastikan berkurang dibanding pagu awal (500 ribu ton). Tetapi bukan disebabkan revisi kebijakan, juga bukan jawaban terhadap berbagai kritik dan penolakan. Melainkan ke-tidak mampu-an negara asal memenuhi tenggat waktu.
Sampai awal pekan terakhir bulan Januari (2018), beras belum bisa dikapalkan dari negeri asal. Batas waktu sangat penting. Karena pada awal bulan Pebruari, sudah dimulai panen raya. Manakala beras impor baru tiba pada bulan Pebruari, maka akan terjadi over supply. Pasokan yang berlebihan, niscaya menyebabkan harga beras anjlok. Petani lokal (di berbagai) dirugikan.
Sebagai bahan pangan utama nasional, data per-beras-an, seharusnya terpadu satu data.Per-beras-an, seyogianya juga dipadukan dalam “satu komando.” Karena ketersediaan pangan meliputi berbagai kelembagaan (kementerian). Pada bagian hulu (produksi), niscaya menjadi urusan Kementerian Pertanian. Namun pada bagian hilir, terdapat pula sektor distribusi yang diurus Kementerian Perdagangan. Masing-masing juga ditangani oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Terutama Bulog, sebagai penyerap hasil panen, sekaligus distributor utama perdagangan beras.Maka “satu komando,” diperlukan sebagai induk kebijakan, termasuk analisis data yang diolah oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Analisis data diperlukan sebagai pembanding kebiasaan pola konsumsi. Yakni, antara harga beras pada saat panen raya, dengan kenaikan harga pada awal musim tanam (stok tipis).
Sehingga pemerintah tidak gampang digertak spekulasi (pedagang nakal) bermodus menimbun beras.Kenaikan (tipis) harga beras pada pertengahan tanaman padi, sudah biasa. Karena berlaku paradigma dagang, suplai dan demand. Karena lazim, pemerintah tidak perlu tergopoh-gopoh meng-impor beras. Kenaikan harga beras (yang wajar) cukup direspons dengan segera menggelontor stok yang tersimpan di gudang Bulog.
Tetapi manakala tidak wajar, aparat keamanan dan ketertiban patut turun menyelidiki, dan menindak pedagang nakal. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga patut mencermati kemungkinan terjadinya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Sebab KKN, sudah terbukti telah menyusup pada proses impor sapi. Serta impor garam. Masing-masing sampai ampai melibatkan pucuk pimpinan Kementerian, dan pucuk pimpinan BUMN.
Pasokan menipis pada pertengahan musim tanam, merupakan siklus normal. Kenaikan (tipis) harga beras, juga tergolong lazim. Menipisnya pasokan tidak akan berlangsung lama, hanya sekitar satu bulan. Harga beras naik rata-rata Rp 2.000,- per-kilogram. Di pasar tradisional maupun supermarket, harga beras medium telah mencapai harga Rp 12.500,- sampai Rp 13.000,- per-kilogram.Sedangkan beras premium sudah lebih dari Rp 16.000,-.
Persediaan beras di Divre Bulog, (juga di gudang pedagang besar), seharusnya masih cukup. Total hasil panen 2017, diperkirakan sebanyak 68 juta ton gabah. Akan menjadi beras sebanyak 39 juta ton. Sedangkan konsumsi beras sekitar 35,584 juta ton beras. Dus, masih surplus beras sebanyak 3,5 juta ton. Lazimnya bisa di-ekspor, atau dihemat sebagai cadangan manakala terjadi paceklik.
Pemerintah seyogianya meng-inovasi usaha ke-pertania-an, melalui penerapan teknologi tepat guna. Sehingga beras nasional dapat bersaing pada pasar internasional.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: