SDM Unggul dan Pencegahan Stunting yang Belum Populer

(Refleksi Hari Gizi Nasional, 25 Januari 2020)
Oleh :
Andriyanto
Alumnus Program Doktor PSDM Unair dan Kepala Laboratorium Gizi Jawa Timur
Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2018 berada pada ranking 114 dari 188 negara di dunia, turun dari ranking 113 pada tahun 2017. Salah satu persoalan yang menghambat terciptanya IPM yang bagus adalah Indonesia masih mempunyai persoalan tingginya angka Stunting sebesar 30,8% hasil Riskesdas tahun 2018. Kejadian Anak Stunting akan berakibat adanya terhambatnya pertumbuhan fisik anak menjadi pendek, berakibat gangguan kognitif atau kecerdasan, serta gangguan penyakit metabolik ketika sudah berumur di atas 40 tahun. Akibatnya pendidikan dan produktivitas rendah, kemiskinan akan terus membelenggu dan pada gilirannya kualitas SDM bangsa Indonesia secara keseluruhan menjadi rendah.
Sehingga wajar bila Pemerintah Indonesia mengedepankan pencegahan dan penanggulangan stunting untuk memperoleh peringkat IPM di mata dunia, meskipun pencegahan stunting di Indonesia baru dimulai tahun 2017 dan masih belum populer.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting atau anak dengan perawakan pendek dan sangat pendek ini terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Berarti, Stunting dapat dicegah ! Dan mencegah kejadian stunting ini sangatlah penting ! Caranya, dengan memberikan asupan gizi terbaik pada seribu hari pertama kehidupan, sejak masa kehamilan sampai anak usia 2 tahun.
Stunting pada usia dini akan meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif / kecerdasan para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Branca & Ferrari menyebutkan bahwa masalah stunting merupakan salah satu indikator kemiskinan.
Stunting berpengaruh pada rendahnya kemampuan kognitif, prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan. Stunting pada anak usia dibawah 2 tahun, akan menurunkan produktivitas pada usia dewasa, sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan. Reaksi penyesuaian akibat kejadian stunting juga meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti: hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes dengan berbagai risiko ikutannya pada usia dewasa.
Kompleksitas masalah stunting yang sampai saat ini masih diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia terjadi disebabkan disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersifat makro maupun mikro. Akibatnya, jelas akan menjadikan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak cerdas dalam menaungi kehidupannya, yang pada gilirannya akan menjadi beban Pemerintah. Dengan demikian, dikatakan bahwa masalah stunting bersifat multidimensi menyangkut kemiskinan, ketidaktahuan, gaya hidup, sosial budaya dan bahkan politik.
Mencegah dan menangani stunting akan dapat menurunkan angka kemiskinan di masyarakat serta kematian balita. Pakar gizi Martorell menjelaskan bahwa investasi di sektor sosial (gizi, kesehatan, pendidikan) akan memperbaiki keadaan gizi masyarakat yang merupakan faktor penentu untuk meningkatkan kualitas SDM. Jika kualitas SDM meningkat, maka produktivitas kerja akan meningkat, yang selanjutnya keadaan ekonomi akan meningkat pula. Dengan terjadinya perbaikan ekonomi maka kemiskinan akan menjadi berkurang dan pada akhirnya akan terjadi perbaikan gizi masyarakat, tumbuh kembang, fisik dan mental anak.
Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK), merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk stunting, disebabkan terutama oleh faktor genetik. Anggapan demikian menjadikan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaiki atau mengubahnya. Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dari lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Ternyata stunting, faktor penyebab terpentingnya adalah lingkungan hidup dan komsumsi makanan sejak kehamilan sampai anak usia 2 tahun yang dapat dirubah dan diperbaiki.
Kegagalan pemerintah mengatasi stunting barangkali disebabkan karena program pencegahan dan pengobatan terhadap kasus gizi kurang tidak didasarkan pada fakor risikonya. Mengingat masalah stunting semakin sulit diatasi dengan semakin bertambahnya umur, maka stunting harus diatasi pada usia sedini mungkin. Oleh karena itu pembangunan SDM harus dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai dengan usia dua tahun.
Pemerintah telah banyak melakukan pengembangan program pelayanan kesehatan, namun tidak didampingi dengan edukasi. Program edukasi yang dilakukan terkait upaya promotif dan preventif melalui intervensi perubahan perilaku masih belum terstruktur dan sasaran masih bersifat umum. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan model strategi pembangunan kesehatan yang efektif melalui perubahan strategi intervensi edukasi kesehatan dan gizi yang menyentuh sasaran yang paling utama yaitu keluarga.
Salah satu upaya yang diperlukan adalah bagaimana membuat keluarga menjadi mandiri dalam menciptakan hidup sehat. Kemandirian keluarga dapat dilihat dari berbagai indikator, yaitu sejauh mana keluarga menyadari pentingnya kesehatan dan gizi, sejauh mana keluarga mengetahui apakah anggota keluarganya mengalami masalah kesehatan dan gizi, keluarga mengetahui apa yang harus dilakukan dan keluarga memanfaatkan dan berupaya mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan.
Sesungguhnya, investasi gizi untuk kelompok ini harus dipandang sebagai bagian investasi untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan pendidikan dan kesehatan. Perbaikan gizi pada kelompok 1.000 HPK akan menunjang proses tumbuh kembang janin, bayi dan anak sampai usia 2 tahun, sehingga siap dengan baik memasuki dunia pendidikan.
Selanjutnya perbaikan gizi tidak saja meningkatkan pendapatan keluarga tetapi juga pendapatan nasional. Di Banglades dan Pakistan misalnya, masalah kekurangan gizi termasuk stunting berdampak menurunnya pendapatan nasional (GNP) sebesar 2 persen – 4 persen tiap tahunnya. Masalah stunting di Indonesia, terutama di Jawa Timur, sejatinya harus dipopulerkan segera dan serentak, sehingga beberapa komponen bangsa sepakat dan konvergen (menyatu) dalam memperbaikinya.
——– ** ———

Tags: