Seandainya

Oleh :
Tyas W.

Perasaan Zarina carut-marut. Ia tercengang. Wajahnya tiba-tiba merah padam. Di depan kaca ia melempar amukan. Semua pernak-penik yang tertata rapi di meja riasnya melayang menumbuk kaca hingga pecah. Lagi-lagi urusan asmaranya kandas.
“Aku tidak ingin menjadi perawan tua,” lirihnya.
Ia perempuan yang baik. Zarina seorang perempuan biasa. Parasnya ayu, tuturnya santun dan logatnya lugu. Sejak remaja ia menjadi dambaan para pemuda. Tapi entah apa yang membuatnya belum menemukan jodoh di usia yang masuk lima puluh lima.
Hari itu Zarina meringkih dalam tangisan. Menerawang beberapa kisah asmara yang pernah ia jalin sebelumnya. Bersama Romi, perjaka muda, ia mengakui hanya dimanfaatkan. Seringkali ia diporoti, perjaka itu minta dibelanjakan ini-itu sampai kantongnya menipis. Bibinya mencak-mencak, “Kau bukan mesin ATM, jika lelaki itu benar-benar sayang, dia justru yang akan menanggung nafkah, bukan dirimu.” Akhirnya hubungannya dengan Romi rela disudahi meski ia tak sanggup melepaskan tambatan hati.
“Romi,” kenangnya terisak.
Zarina masih tak bisa menepis kesedihan yang bertumpuk. Kisah asmaranya dengan Pak Boni, petinggi tua renta, juga runyam. Berkali-kali istri petinggi itu memperingatkannya agar ia menjauhi suaminya. Tapi Pak Boni terus mengusik kehidupannya hingga ia tak dapat menghindari cinta. Pak Boni ingin memperistri sirri dirinya diam-diam. Nyaris saja ia setuju. Namun, lagi-lagi Bibinya menyangkal, “Wanita itu harus punya harga diri, Nduk. Kau bukan pelakor. Kau berhak menyandang status seorang istri. Jika kau menikung untuk dijadikan istri sirri, itu sama halnya kau dijadikan selingkuhan. Dan Bibi tidak rela harga dirimu diinjak-injak.”
“Bang Boni,” gerutunya di alam bawah sadar.
Hari itu Zarina benar-benar muak. Tak ada lagi harapan baginya untuk menikah. Semua lelaki pergi. Selalu begitu, ketika ia terlanjur jatuh hati pada seorang duda, jika bukan karena keinginannya memutuskan hubungan, maka pihak lelaki yang memutuskan ikatan. Adakalanya ia juga terpaksa mengakhiri kisah cintanya sebab khawatir mengulang kesalahan yang sama seperti masa silam, bertemu duda bermata jalang. Sementara ketika ia mulai menaruh hati kepada Ramzi-duda sejati, ternyata di akhir percintaan, keluarga lelaki itu tak merestui. Inilah yang terakhir terjadi.
“Ramzi,” keluhnya tak mampu membendung air mata.
Bagi Zarina pernikahan hanyalah ilusi. Ia hanya bisa termenung dengan pandangan teduh di depan cermin. Berdandan tersenyum ala pengantin baru. Tangannya meraba lembut kotak berisi make up lalu melukis rona merah di pipi dan bibirnya. Lamat-lamat, ia lalu menyisir rambut panjangnya dan memakai hiasan cantik untuk belajar memikat hati suaminya. Dengan sadar ia lantas berlagak manja mengambil parfum lalu menyiratnya di sekujur tubuh agar tercium semerbak wangi. Sekali lagi ia tersenyum. Sejurus kemudian ia melirik ranjang berselimut merah maroon. Di sampingnya sudah terlipat selembar sutra yang akan dipakai menjelang malam pertama. Ah, khayalan itu, ia menyadari, jangankan berbulan madu, jodoh saja masih di pelupuk rindu.
Setelah kemarahannya tumpah, perempuan paruh baya itu merebahkan kepala di lengannya yang tengah mengapit kedua lutut. Dia memejam, membiarkan keputusasaannya mereda, lalu bibinya datang mengendus membuka pintu kamar perlahan. Wanita yang dianggap sebagai ibu oleh Zarina itu sangat paham kejadian yang menimpa keponakannya, sebab Zarina telah lama tinggal bersamanya, sejak lulus SMA. Jika Zarina dilanda cemas, bibinya menenangkan dengan membelai lembut rambutnya yang terurai lurus turun hingga menyentuh punggungnya yang ramping.
“Sabar, kau pasti segera menemukan lelaki yang terbaik, Nduk,” hibur Bibi.
Zarina sesenggukan.
“Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?” terang Bibi.
“Tapi saya tidak tahu harus berbuat apa lagi, Bi. Jika saya tidak berusaha, selamanya jodoh akan tetap berada di tangan Tuhan. Namun, sekuat diri berusaha, cinta selalu hilang.”
Bibi diam termangu. Persis acap kali mendengar nyinyiran orang kelabu bahwa Zarina gadis tak laku. Kata orang bisa jadi ada jin pengganggu. Jodoh Zarina dihalangi tabir sihir sehingga setiap lelaki yang dekat dengannya selalu mencium keburukannya. Atau bisa juga, Zarina berhubungan dengan jin yang mencintainya sehingga makhluk itu tidak rela jika Zarina bersanding dengan selainnya. Ia jadi terpaku masa itu. Masa yang mengusik keyakinannya. Ketika pertama kali kakaknya yang tidak lain mamak dari Zarina rela berlayar jauh mendatangi rumahnya demi menitipkan anak gadisnya itu. Alasan terkuat adalah menghidari pelet. Ya. Selepas lulus SMA, Zarina dikecam oleh seorang lelaki lantaran penolakan cinta.
Tentu saja orang tua Zarina tidak setuju. Lelaki itu adalah duda yang kabarnya telah melakukan kekerasan rumah tangga, suka membentak dan memukul wanita. Istrinya kabur membawa dua anaknya. Kemudian lelaki itu luntang-lantung mencari untung. Entah bagaimana Zarina bisa bertemu dengan laki-laki bejat semacam itu.
“Aku tidak tahu dia pernah menikah, Mak,” sanggah Zarina.
“Segera putuskan laki-laki itu jika kau masih peduli kepada Mamak,” cerca Mamak.
Zarina menyetujui. Mereka tak lagi berpacaran. Ponsel dinonaktifkan. Lama juga tak berkabar. Namun, suatu hari datang sepucuk surat berisi kecaman. Zarina terkejut saat dikatakan bahwa dirinya tidak akan bisa memiliki keturunan. Ada bahaya kiriman yang ditiupkan ke dalam perutnya. Halusinasi muncul. Tubuhnya tiba-tiba menggigil dan perutnya terasa panas. Zarina meraung-raung ketakutan. Lalu mamaknya memilih menjauhkan Zarina dari marah bahaya dengan cara memindahkan dari tempat asalnya.
Mendengar cerita itu dari kakaknya, bibi Zarina setengah ragu. Pasalnya keyakinannya utuh hanya kepada Lillah Yang Satu. Pelan-pelan ia mulai menepis anggapan mistis itu. Namun, akhirnya kecolongan juga. Ia curiga kerap setiap bulan datang sebuah paket yang ditujukan kepada Zarina. Ternyata benar. Zarina mencoba menyembuhkan dirinya sendiri agar terhindar dari bala. Setiap hari ia meminum segelas air dari paket itu. Sekilas seperti air putih, tapi entah campuran di dalamnya. Air tujuh kembang sepengetahuannya. Selain itu ia rutin mengoleskan minyak wangi di bagian perut dan memakan sebutir telur bertuliskan Arabian. Aneh.
“Hentikan itu semua, Nduk! Bukankah kau ingin terbebas dari kesyirikan? Kenapa masih saja berhubungan dengan benda-benda tidak jelas ini?” Bibi geram.
“Ini hanya air putih, Bi! Za mendapatkannya dari guru spiritual yang mumpuni,” bantah Zarina.
“Jangan mencampuradukkan ketauhidanmu dengan dosa syirik sekecil apa pun!” Bibi memicingkan kening dan menuding-nuding wajah keponakannya.
Zarina tertunduk tak mengelak.
“Jika kau ingin sembuh, perkuat dengan tirakat menuju Rabb-mu.”
Bibi lantas meringkus barang-barang haram itu dan mengambil langkah ruhi. Dia mengajak Zarina bertemu seorang yang paham agama juga ahli perukyah. Dengan doa-doa mustajabah, Zarina berharap dapat dibersihkan dari gangguan jin yang menggoda. Entah apakah Zarina sudah terbebas dari belenggu syirik itu, tapi sesekali hari-harinya telah dilalui dengan kemampuannya mengendalikan diri.
Namun setelah sekian lama menunggu, Bibinya kembali dirundung pilu. Melihat kondisi keponakannya, ia jadi trenyuh. Entah mengapa kisah asmara Zarina masih saja putus nyambung di usianya yang tak lagi belia.
“Sabar, Nduk, ingatlah bahwa jodoh, rejeki dan pati itu sudah tertulis dalam kitab-Nya Lauhul Mahfuz,” terang Bibi sambil mendendangkan syair geguritan.
Panyuwunku amung siji marang Gusti Allah
Soko pethenge awang-awang tekan metune gemintang
Katresnan ati gadah sing duwe
Gusti mugi paringi kemirahan pitunjuke
Tresnaku biso tekan marang slirane
Patiku mugi biso nyanding deweke

“Sampai kapan Za menunggu, Bi?” Pikirannya berkelana di dalam kepala yang terpangku di pangkuan bibinya.
“Sampai kau bisa pasrah menerima keadaanmu, Nduk.”
“Za, bingung harus mencari orang seperti apa lagi yang tepat untuk Za.”
Bibinya mengembus napas dalam. Ia juga tidak punya jawaban.
“Seandainya, Za menemukan lelaki itu. Kawan putih abu-abu yang pernah mencintai Za, namun memilih perjodohan di bawah restu orang tuanya. Seandainya Za bertemu dengannya dalam keadaan duda, ditinggal mati istrinya, Za mau merawat anak-anaknya. Seandainya Za bisa menemukan kembali muara cinta sejati Za yang hilang itu, seandainya lelaki itu juga dituntun pada sebuah penantian panjang agar bertemu Zarina yang hilang di seberang lautan…”
Belum tuntas Zarina berandai-andai, bibinya lebih dahulu menengahi. “Hush, tidak baik mendoakan keburukan untuk orang lain. Tidak mulia pula orang yang terlalu banyak berandai-andai.”
Zarina terdiam. Ia menyeka bulir air matanya yang tersisa. Belaian bibinya membuat Zarina larut dalam lautan zikir-zikir suci. Dalam pejamnya mata, ia menitip pesan kepada Pencipta Alam, berharap kebahagiaan selalu berlabuh bersama ketakwaan di sisa kehidupan, sebab susah dan senang semua fana yang berjalan sesuai kehendak-Nya.

Tyas W adalah Penggiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo. Telah menulis 4 buku solo fiksi dan belasan buku antologi.

——— *** ———-

Rate this article!
Seandainya,5 / 5 ( 2votes )
Tags: