Sebuah Alegori dari Turki

(Membaca Realitas dari Balik Penjara)

Judul : Subuh
Penulis : Selahattin Demirtas
Penerjemah : Mehmet Hassan
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Maret, 2020
Tebal : 118 halaman
ISBN : 978-979-1260-97-8
Presensi : Muhammad Ghufron*

Karya sastra telah menjadi medium ampuh untuk menyampaikan detail peristiwa berupa narasi atau puisi. Ia merupakan ruang ekspresif dan aktualisasi dari gambaran imajinatif sastrawan. Instrumen untuk menyampaikan pesan-pesan adiluhung, juga sebagai kritik atas fenomena sosial yang terjadi.
Semua itu berawal dari lingkungan. Lingkunganlah yang turut serta membidani lahirnya karya sastra. Dengan kata lain, perkembangan mutakhir karya sastra sedikit banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur tendensi mengeksplorasi dan mengekspos realitas sosial yang problematik. Dari sinilah intuisi kepekaan sosial sastrawan serta kecenderungan berpikir kritis imajinatif mulai berdialektika.
Lahirlah karya sastra dalam berbagai jenis genre yang sanggup memantik api perlawanan dan membangkitkan jiwa-jiwa yang mulai surut. Karya sastra semisal novel akan berhasil mengisi relung-relung publik jika sang penulis benar-benar melebur pada sikap altruisme dan memahami intuisi publik.
Barangkali perpaduan antara pemahaman intuisi publik dan realitas yang problematik telah mengantarkan Demirtas mencipta novel Subuh. Novel ditulis di balik jeruji besi. secara semantik mengolaborasikan antara motivasi dan harapan dalam lingkungan yang begitu banal di Turki dan Timur Tengah. Ada satir politik yang terselip di setiap inti babakan cerita. Ini tak luput dari lingkungan praksis hidup Demirtas yang tertungkus lumus dengan dunia politik
Penulis yang juga seorang politikus progresif Turki itu menjadi tawanan sipil tatkala kelompoknya Partai Demokratik Rakyat (HDP) terus mendapat tekanan dari rezim berkuasa. Partai membawa seabrek misi agung. Menekankan nilai-nilai progresif, feminis, dan hak minoritas di setiap gerakannya. Mencita-citakan masa depan Turki yang egaliter dan demokratis merupakan titik penuntasan misi partai.
Di lain sisi, realitas kondisi politik Turki yang masih belum stabil, memaksa idealisme misi yang diusung itu terbenam dalam lingkaran bayang-bayang pemerintahan setempat. Pada 2019, kandidat-kandidat HDP yang memenangkan pemilu dilarang menjabat. Dan Dermittas sendiri sejak 2016 ditahan di Penjara Keamanan Tertinggi Tipe-F Erdine.
Itulah sekelumit deskripsi narasi perjalanan gerakan politis Demirtas hingga berakhir di dalam sel bui. Dari dalam bui, ia berkehendak menyuarakan kegelisahannya atas realitas problematik masyarakat Turki modern melalui pengalaman kesehariannya. Buku Subuh merupakan manifestasi penyatuan kegelisahan itu.
Alih-alih kelindan hidup yang tertungkus lumus dengan politik, justru tidak membuatnya abai pada suara kemanusiaan. Dirinya percaya bahwa hubungannya dengan politik bukan terletak pada abstraksi-abstraksi atau ideal muluk-muluk, melainkan orang-orang biasa: orang-orang biasa yang sanggup mengubah dunia. Kelak, lingkungannya yang demikian justru akan menciptakan karakteristik penting bagaimana karya-karyanya mengejawantah menjadi suluh.
Yang Mengalahkan Kegelapan.
Simbolisme Subuh merupakan sebuah alegori penuh harap dari kondisi kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran Turki. Menggambarkan dengan kesahajaan naratif bagaimana masyarakat pinggiran Turki modern hidup dalam situasi penuh cemas, getir, dan absurditas hidup yang begitu masygul. Di balik kemasygulan hidup itu, tersirat harapan dan ratapan penuh makna ihwal masa depan.
Keseluruhan cerita secara mendayu berusaha merepresentasikan detail peristiwa itu semua. Kita akan mengelih sebuah etos kerja tak kenal kompromi dari masyarakat pinggiran Turki saat menjadi korban perang akibat imbas dari kepentingan politik penguasa. Sebuah etos kerja dari pengalaman orang-orang yang tak tertangkap oleh liputan berita dan suara-suara yang kerap kali terabaikan.
Meski demikian, orang-orang yang kerap kali terabaikan akan selalu berusaha menampik realitas lingkungan tempat tinggalnya. Ada harapan yang tersemai sebagai suluh. Subuh mampu merepresentasikan sebuah cerita-cerita mendalam ihwal ratapan dan harapan.
Di balik kenestapaan dari seorang perempuan muda tukang bersih-bersih yang terjebak di tengah-tengah demonstrasi; buruh-buruh ilegal bawah umur yang bekerja membangun penjara; gadis cilik yang mengungsi menyeberangi lautan bersama ibunya, seorang petugas kebersihan yang tiba-tiba diseret le dalam penjara, ada sebuah harap yang harus dibangun dengan optimisme.
Sebab itu, optimisme asa di tengah gejolak politik dan situasi yang belum sepenuhnya relatif aman merupakan oase yang bisa menghilangkan dahaga keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi mereka. Mereka meyakini bahwa dengan harapan atma seseorang akan hidup, meski raganya terbelenggu.
Seperti yang tersirat pada “ Tak Seperti yang Anda Kira”. Biarkan cinta kita diuji dengan beragam interogasi dan siksaan besi tempa dan disiram air. Mari kita bertekad bersama demi dunia yang akan dibangun demi mereka yang tertindas. Mari kita ciptakan cinta melalui kerja keras, dengan mengibarkan perlawanan (Hal-43).
Kehidupan yang tak selamanya merestui cinta dan ketenteraman merupakan ujian hidup agar diri tetap menjadi pribadi yang tegar. Bak cadas di hamparan samudera luas, pribadi-pribadi masyarakat pinggiran Turki di tempa agar dirinya tak kenal kompromi dengan keadaan. Dari sinilah cakrawala itu muncul. Cakrawala-cakrawala yang akan bersiap menyingsing lorong-lorong pengap kejumudan dan ketidakadilan.
Sebab itu Demirtas lebih memilih metafora Subuh. Dalam sebuah wawancara, ketika ditanya mengapa dirinya lebih memilih Subuh sebagai judul buku, ia menjawab, subuh menandai momen pertama munculnya cahaya dari kegelapan. Subuh melambangkan harapan yang selalu memperbarui diri setiap hari. Kegelapan mengira dirinya abadi, dan persis saat ia percaya dirinya telah mengalahkan terang, subuh memberinya pukulan pertama.
Momentum Subuh menandai awal suluh kebangkitan, membangunkan harapan dan berlekas-lekas menyongsong era baru. Era di mana seluruh energi kolektif berpadu dalam ranah praksis. Menumbuhkan bulir-bulir harap di tanah yang bergelimang hasrat ego duniawi temporal merupakan pemantik kebangkitan itu.
Inilah intipati hikmah yang tersublim dalam setiap narasi kemurungan lanskap sudut kota Turki. Semacam alegori yang kembali mengajarkan pada diri manusia bahwa kejahatan atas nama kemanusiaan dan peradaban tidak selamanya berdiri tegak di atas penderitaan. Ia akan koyak apabila energi harap itu masih tumbuh dalam atma manusia.
Akhirnya, 11 cerita yang termaktub dalam Subuh pada dasarnya merupakan tragedi berkelindan apik dengan satir politik dan kesahajaan naratif. Kisah-kisah yang mampu menyentuh intuisi kita melalui pemahaman kritis imajinatif pada lingkup praksis politik penguasa. Kita disadarkan melalui suguhan cerita inspiratif bagaimana seseorang bisa menumbuhkan optimisme asa di tengah situasi krisis yang melanda.

*Member di SMART ILC, Pare, Kediri sekaligus Alumni Annuqayah.

Rate this article!
Sebuah Alegori dari Turki,5 / 5 ( 1votes )
Tags: