Sedikit Demo Banyak Kenaikan UMK

Yunus Supanto(Upah Buruh Tahun 2017)

Oleh : Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Buruh tak bosan-bosan berdemo memperjuangkan hak memperoleh upah layak. Unjukrasa bukan hanya pada peringatan hari buruh sedunia (May Day), melainkan yang lebih marak dilakukan pada tiap penetapan upah. Itu menandakan, bahwa penetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten dan Kota) masih harus dikawal ketat. Konon jika tidak dikawal, kepala daerah akan salah duga, mengira rakyatnya telah cukup makmur dengan UMK tahun lalu. Padahal masyarakat (buruh) semakin tergencet KHL (Kebutuhan Hidup layak) yang semakin meninggi.
Sejak pekan akhir Oktober lalu, sudah beberapa kali dilakukan demo. Sejak lama pula demo buruh dijadikan “tumpangan” politik paling empuk. Bahkan manakala Pemerintah Daerah tidak cukup merespons positif, bisa jadi akan menyulut unjukrasa lebih besar. Tetapi saat ini, boleh jadi, tak perlu ada ribuan buruh unjukrasa. Tidak perlu mangkir kerja, dan menembus terik matahari demi memperjuangkan hak (kesejahteraan).
Saat ini, Daerah (kabupaten maupun kota) tida bisa lagi “bermain mata” dengan pengusaha untuk menetapkan upah buruh minimalis. Forum tiga stake-holder perburuhan tripartit (pemerintah, asosiasi buruh dn asosiasi pengusaha), sudah dihapus oleh pemerintah pusat. Sehingga upah buruh, mulai tahun 2016, ditetapkan berdasar UMK tahun sebelumnya, ditambah situasi perekonomian nasional, dan inflasi.
UMK 2017 ditetapkan berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sehingga Pemerintah Daerah (Propinsi serta kabupaten dan kota) mestilah transparan dalam menyusun KHL yang menjadi pilar utama penentuan upah minimum kabupaten dan kota UMK. Begitu pula akademisi (termasuk guru besar) yang “disewa” oleh Pemerintah, mestilah memakai “kacamata manusia.” Sebab, konon selama ini menghitung biaya makan saja, standarnya sekedar kecukupan kalori, mirip jatah kucing piaraan.
Perhitungan KHL, agaknya, selalu menjadi biang keributan dalam peyusunan UMK. Karena menyangkut kepentingan hajat orang banyak, lazimnya KHL dikalkulasi secara transparan, dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat. Begitu pula penetapan nilai komponen KHL harus bisa dimonitor dan diawasi oleh semua pihak. Selama ini KHL hanyalah diurus “setengah kamar” oleh tim kecil yang hampir tak terjangkau oleh siapapun (bahkan tak direkam kamera cctv).
Ke-ekonomi-an Upah
Kalkulasi KHL yang diurus “setengah kamar,” pasti, hanya akan berat sebelah. Artinya buruh semakin berat menanggung beban biaya hidup, terutama di kawasan urban. Buruh akan selalu tekor. Nilai UMK di bawah KHL sesungguhnya menciderai rasa kemanusiaan dan keadilan sosial. Bahkan, seharusnya UMK ditetapkan di atas KHL, seperti dilakukan Pemerintah propinsi Jawa Timur. Tahun (2017) ini berani mem-pagu UMK sebesar 30% diatas KHL bujangan. Namun masih tergolong pas-pasan untuk keluarga dengan dua anak.
Faktor KHL menjadi titik perdebatan, karena terdiri dari 180-an item dengan patokan harga berlaku. Sebagiannya dianggap bukan kewajiban perusahaan. Prosedur UMK dimulai dari usulan Bupati dan Walikota, serta rekomendasi Dewan Pengupahan Propinsi. Pihak pengusaha, dan aliansi buruh biasanya juga dihadirkan sebagai pembanding. Terutama untuk mengukur tingkat produktivitas. Jika produktivitas naik, maka buruh berhak memperoleh kenaikan upah lebih memadai.
Ukuran produktivitas bisa pula dilihat pada pertumbuhan ekonomi daerah, yang biasanya selalu dilaporkan tumbuh positif. Memang tidak mudah menghitung UMK dan UMSK (Upah Minimal Sektoral, sesuai jenis usaha). Selain ditakar dengan realita standar KHL, juga sangat dipengaruhi iklim perekonomian nasional dan global. Dan patut dicatat, bahwa buruh masa kini akrab dengan media masa, sehingga mengetahui iklim perekonomian nasional dan global. Serta “melek” regulasi.
Buruh atau pegawai berhak memperoleh kelayakan upah, sebagaimana dijamin UUD 1945 pasal 28D ayat (2), yang mengamanatkan: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Pemda memiliki kewajiban menegakkan amanat UUD ini sebagai upaya minimal pen-sejahteraan penduduknya. Itupun masih terdapat “utang” pemerintah dalam hal kewajiban Jaminan sosial (sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 2004).
Tetapi kepentingan pengusaha, mestilah diakomodir secara proporsional. Anataralain dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Segala pungutan liar dan hambatan perizinan usaha harus dikikis habis. Berdasarkan jajak studi yang dilakukan seorang ekonom (dan sudah dipublikasikan di Indonesia), komponen biaya buruh sebenarnya hanyalah 9% hingga 12% dari harga pokok produksi. Sedangkan besarnya pungutan liar bisa mencapai 19% hingga 24% dari harga pokok produksi.
Di Jawa Timur, saat ini peningkatan nilai UMK sekitar 7,5% dibanding tahun tahun (2016) lalu. Bahkan pada ring-1 Jawa Timur (Surabaya dan sekitarnya) kenaikan UMK mencapai 8,24%. Di Surabaya, UMK menjadi hampir Rp 3,3 juta (Rp 3.296.000,-). Pada daerah terdekat Surabaya (ring-1, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan dan Mojokerto), juga mengalami kenaikan nominal, menjadi sekitar Rp 3,2 juta. Sedang daerah dengan UMK terendah terjadi di kawasan selatan dan barat. Yakni, Pacitan, Ponorogo, Magetan dan trenggalek, UMK sekitar Rp 1,5 juta.
Perburuhan Ke-mitra-an
Maka sejatinya, andai pungli bisa dihentikan, maka pengusaha akan mampu menggaji buruhnya dua kali lipat. Presiden Jokowi telah membentuk tim satgas (satuan tugas) pemberantasan pungli, dibawahkan oleh Menteri Koordinator bidang Polhukam. Satgas pungli dapat menjadi perlindungan terhadap pengusaha. Harus diakui, pungli nyaris “di-lazim-kan.” Bukan sekadar dilakukan oleh jajaran birokrasi, melainkan juga aparat lain, termasuk perbankan. Dalihnya bermacam-macam. Ada modus kebersihan, modus keamanan, sampai modus sosial.
Kenaikan UMK bisa dianggap sebagai pencerahan paradigma ditataran Kepala Daerah (Gubernur serta Bupati dan Walikota) yang mulai peduli dengan masyarakatnya. UMK memang hak kewenangan gubernur untuk menetapkannya. Dalam UU Ketenagakerjaan, pasal 89 ayat (3) dinyatakan: “upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi dan / atau Bupati / Walikota.”
Mulai tahun 2016, standar upah buruh dikalkulasi dengan menyertakan pertumbuhan ekonomi, plus inflasi. serta bonus perhitungan KHL (Kebutuhan Layak) yang direvisi setiap 5 tahun. Sehingga untuk daerah-daerah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta, UMK-nya pasti lebih dari Rp 3 juta. Konon, gagasan pemerintah ini untuk menghindari rezim upah murah, yang dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Tetapi pemerintah wajib berupaya keras melindungi iklim investasi.
Pengusaha seyogianya juga mengubah paradigma perburuhan primitif, bagai budak dengan tuan yang berkuasa penuh. Karyawan atau buruh, mestilah dianggap sebagai mitra pengusaha. Mustahil, terdapat pengusaha sukses tanpa bantuan buruh. Sehingga seharusnya, terjadi simbiose mutualisme antara buruh dengan pengusaha. Saling menghormati dan saling menghargai. Keadaan buruh yang baik (secara fisik, psikologis dan sejahtera) niscaya meningkatkan produktivitas perusahaan.
Namun masih banyak perusahaan nakal ketika menangguk keuntungan besar dan memulai perluasan (peningkatan) produksi. Kenakalan pengusaha, antaralain dengan sistem kerja outsourcing (alih daya). Beberapa unit usaha terkait langsung dengan produksi, malah di-outsourcing-kan. Pada sisi lain, ketika memasuki bursa saham, jumlah pekerja dicatat sebagai kekayaan (aset) perusahaan, untuk meningkatkan bargaining harga saham. Sebab, dengan jumlah karyawan yang sangat banyak, secara langsung dianggap sebagai besar (dan bonafide).
Perusahaan nakal yang memanfaatkan celah peraturan outsourcing, wajib diperingatkan. Akal-akalan outsourcing, tak lain, hanya untuk menghindari kewajiban pemenuhan hak-hak karyawan (buruh). Khususnya berkait dengan tunjangan dan ke-asuransi-an. Karena standar upah buruh outsourcing berbeda dengan buruh tetap. Pemerintah seyogianya lebih cermat terhadap izin perluasan perusahaan padat karya. Boleh jadi, urgen pula untuk merevisi UU Ketanagakerjaan.
Di seluruh dunia, penetapan UMK dan KHL yang memadai menjadi simbol good governance dan clean government. Pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme), adalah yang menjamin kesejahteraan buruh, sekaligus kelaikan iklim investasi.

                                                                                                                    ——— 000 ———

Rate this article!
Tags: