Minyak goreng (migor) terus merangkak naik, seiring kelangkaan pasokan di pasar tradisional. Harga migor MINYAKITA kemasan sudah mencapai Rp 15.500,- per-liter, 10,7% diatas HET (Harga Eceran Tertinggi). Cukup mengkhawatirkan, karena tak lama akan mendekati bulan Ramadhan, dengan kebutuhan migor main meningkat. Pemerintah patut waspada tren kebutuhan CPO global juga makin meningkat. Niscaya bisa menekan pasar dalam negeri. Bisa jadi diperlukan moratorium ekspor CPO lagi.
Harga migor sudah pernah menekan perekonomian nasional (setiap rumahtangga). Sampai pemerintah harus memberi BLT (Bantuan Lansgung Tunai) migor kepada 20,5 juta keluarga miskin. BLT juga diberikan kepada 2,5 juta orang pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan makanan gorengan. Bantuan sebesar Rp 100 ribu per-bulan, diberikan sekaligus 3 bulan. BLT ber-visi meringankan beban perekonomian akibat melonjaknya harga CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit) global.
Pemerintah pernah terjerumus diguncang migor. Ironisnya, bukan hanya kalangan masyarakat miskin yang diberi BLT, melainkan juga kalangan industri minyak goreng diberi subsidi produksi. Pada saat CPO global melonjak, maka harga ke-ekonomi-an migor dalam negeri mencapai Rp 21.034,- per-kilogram! Seluruh pengusaha CPO berbondong-bondong meningatkan ekspor. Sampai ketersediaan minyak goreng dalam negeri sangat langka. Sehingga subsidi yang harus dibayar pemerintah sekitar Rp 49,238 milyar per-hari.
Harga migor melejit. Kemasan premium mencapai Rp 19 ribu per-liter. Sedangkan migor kemasan “bantal” (plastik sederhana yang tidak bisa berdiri) ditetapkan Rp 14 ribu per-liter menjadi rebutan. Harganhya melejit menjadi Rp 15.500,- per-liter. Karena selisih harga cukup mencolok, maka banyak konsumen (orang kaya) turut memilih migor kemasan “bantal.” Sehingga migor murah cepat habis, menjadi langka.
Pemerintah perlu waspada kebutuhan minyak sawit untuk produksi biodiesel B-35. Konon diperlukan 12 juta kilo-liter CPO untuk mencukupi produksi B-35 yang mulai dipasarkan masif pada Pebruari 2023. Maka pemerintah perlu mengurangi ekspor CPO, dan mem-prioritas-kan kebutuhan dalam negeri. Terutama kebutuhan produksi migor tidak boleh langka lagi. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan seyogianya segera meng-audit pabrik migor, dan menelisik agen besar, serta inspeksi pasar.
Terdapat 13 pabrik besar migor nasional, berjualan dengan 39 label merek dagang. Kapasitas produksinya mencapai 15,456 juta ton per-tahun. Termasuk migor curah tanpa merek dagang. Sebagian diekspor sampai ke China, dan Eropa. Tiada negara lain di dunia yang menandingi “semarak” merek dagang di Indonesia. Seharusnya kebutuhan migor dalam negeri terjamin aman. Sebagai produk hasil tanaman endemik nasional, ketersediaan migor dijamin konstitusi.
Lebih dari 80% perkebunan kelapa sawit merupakan tanah negara dengan status HGU (Hak Guna Usaha). Sehingga memiliki negara memiliki “hak kontrol” terhadap tanah negara. “Hak kontrol” penguasaan tanah sesuai amanat konstitusi. UUD pasal 33 ayat (3), menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.”
Konon, pemerintah akan meningkatkan DMO (Domestic Market Obligation, kewajiban pengadaan pasar domestik) sebanyak 450 ribu ton per-bulan (naik 50%). Dimulai pada Pebruari hingga April 2023. Pemerintah juga memiliki kewajiban berdasar UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Dalam pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan panga pokok pemerintah, dan distribusi pangan pokok untuk mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Maka stabilitas pasokan, dan harga pangan pokok wajib diwujudkan secara sistemik, tidak memberatkan perekonomian rumah tangga.
——— 000 ———