Seimbangkan Pembangunan Fisik dan Spiritual untuk Rajut Harmonisasi Berkeadilan di Lamongan

Bupati Lamongan Yuhronur Efendi beserta jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Lamongan melakukan ihtiar spiritual dengan berziarah ke makam leluhur Lamongan. (alimun hakim/ bhirawa).

Lamongan, bhirawa.
Menyongsong Hari Jadi Lamongan (HJL) yang ke-454 , Bupati Lamongan Yuhronur Efendi beserta jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Lamongan melakukan ihtiar spiritual dengan berziarah ke makam leluhur Lamongan.

Hal tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan fisik serta pembangunan lahir batin masyarakat Lamongan dalam merajut harmonisasi untuk Lamongan yang berkeadilan.

“Menyambut Lamongan sudah berusia 454 tahun kita awali dengan ziarah ke tokoh pendahulu, melalui kegiatan ini dapat dijadikan media untuk seimbangkan pembangunan fisik dan non fisik berupa membentuk mental spiritual masyarakat. Karena lembangunan yang sepenuhnya ialah pembangunan lahir dan batin,” tutur Bupati yang akrab disapa Pak Yes saat berziarah, Kamis (25/5) di Makam Mbah Sabilan, Mbah Punuk, dan Mbah Lamong yang bertempat di Kelurahan Tumenggungan Kecamatan Lamongan.

Ditegaskan orang nomor 1 di Kota Soto bahwa perjuangan yang telah dilakukan para pendahulu untuk Kabupaten Lamongan patut diteladani dan dijadikan spirit motivasi oleh generasi selanjutnya agar semakin meningkat dalam menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat Lamongan.

“Jasa para leluhur harus kita teladani dan jadikan spirit motivasi dalam menciptakan kejayaan Lamongan yang berkeadilan dan semakin megilan,” tegas Pak Yes.

Riwayat penentuan tanggal HJL sendiri diambil dari hari diwisudanya Rangga Hadi atau yang bergelar Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang dilakukan dalam pasamuan agung di tahun 976 H tepatnya pada Hari Kamis Pahing tanggal 10 Dzulhijjah 976 H atau bertepatan dengan 26 Mei 1569 Masehi.

Sebutan Mbah Lamong untuk Rangga Hadi terdapat sejarah tersendiri yakni berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “Ngemong” yang berarti mengayomi dalam menyebarkan ajaran agama, mengatur pemerintahan, dan kehidupan masyarakat di Kawasan Kenduruan, karena beliau merupakan santri Sunan Giri.

Begitupun dengan Mbah Punuk, dan Mbah Sabilan, keduanya merupakan tokoh penting dalam sejarah Lamongan. Mbah Sabilan yang hingga saat ini belum diketahui nama aslinya sangat erat kaitannya dengan tradisi calon pengantin perempuan yang melamar calon pengantin laki-laki di Lamongan.

Tradisi tersebut diambil dari kisah putri Adipati Wirasaba, Dewi Andanwangi dan Andansari, jatuh hati pada kedua putra Raden Panji Puspa Kusuma, yang melamar adalah pihak perempuan.

Mbah Sabilan juga merupakan seorang patih atau panglima perang dari adipati ke-3 Lamongan Raden Panji Puspa Kusuma ayah dari Raden Panji Laras dan Panji Liris sekitar tahun 1640-1665. Beliau diberi nama Mbah Sabilan karena meninggal sebagai sabilillah di medan perang. [aha.yit.gat]

Tags: