Sekolah Iklim Nelayan

Jeda melaut karena cuaca ekstrem bisa dimanfaatkan nelayan untuk sekolah lapangan. Pengetahuan memadai tentang iklim bisa mengurangi kerugian nelayan (dan petani), sekaligus mengurangi dampak pedih musibah di laut. Terutama mencegah insiden fatal yang mengakibatkan korban jiwa, dan kerugian material besar. Namun sebenarnya, badai dan ombak tinggi, selalu bisa diprediksi. Sehingga bisa dihindari melalui ke-ilmuan yang diajarkan BMKG.

Saat ini, di seantero negeri, kewaspadaan iklim “dikawal” oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Sampai perlu memperkenalkan metode Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN). Sekolah khusus kepada nelayan, dan petugas Syahbandar di pelabuhan kecil. Karena anomali cuaca, SLCN sebagai pemahaman baru menggantikan “ilmu titen” yang biasa dimiliki nelayan dan masyarakat pesisir. Selama ini sudah sering terjadi, nelayan kehilangan kapal karena dihantam ombak besar.

Cuaca ekstrem bisa diprediksi melalui tanda-tanda dan perhitungan ke-iklim-an, termasuk ukuran kecepatan angin. Sehingga saat tanda badai telah Nampak, maka perkampungan tepi pantai terasa lebih ramai, karena nelayan memilih menambatkan perahu ke tepian. Kapal tongkang juga berlindung di balik perbukitan pulau, menghindari hantaman ombak. Di berbagai pelabuhan berjajar pula kapal barang menunda perjalanan. Musim cuaca ekstrem, seluruh “insan kelautan” memilih jeda melaut.

Mitigasi (dan sekolah bencana), sesungguhnya telah diamanatkan undang-undang (UU). Secara lex specialist, terdapat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.” Indonesia hanya mengenal dua musim (hujan, dan kemarau). Dengan catatan bencana lebih banyak pada musim hujan.

Namun peralihan musim menjadi cuaca yang tak terduga. Sehingga patut memahami kedua musim, dengan berbagai karakteristik. Termasuk cuaca peralihan musim. Karena gejala ekstremitas cuaca, sering terjadi di luar “ilmu titen” nelayan. Sehingga bencana yang terjadi di laut, dianggap sebagai musibah. Dalam UU Penanggulangan Bencana, terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” yang mengatur mitigasi bencana dilakukan secara tepat.

Bencana hidro-meteorologi sesungguhnya dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik. Termasuk bakal datangnya badai, dan potensi hujan lebat disertai petir, di darat, di selat, dan laut lepas. Potensi bencana di laut, berupa badai, dan ombak tinggi, bisa dihindari. Berdasar pemantauan BMKG saat ini, perairan dengan gelombang tinggi (2,50 m hingga 4,0 m) terjadi di perairan selatan Banten sampai pulau Sumbawa (NTB). Sedangkan di perairan Laut Jawa (bagian utara) bergelombang sedang.

Beberapa pelabuhan menengah memilih menutup jalur pelayaran. Diantaranya, sekitar pulau Bawean (lepas pantai Gresik, Jawa Timur), dan pulau Karimunjawa (Jepara, Jawa Tengah). Begitu juga pelabuhan Patimban (di Subang, Jawa Barat), menutup jalur ke Kalimantan. Pelabuhan di pulau-pulau kecil, seperti Kangean (di perairan timur Madura) juga ditutup. Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), terdapat 578 pelabuhan perikanan di Indonesia.

Kekayaan laut patut dieksplorasi secara benar, dengan me-minimalisir kegagalan panen, dan kecelakaan. Presiden meng-apresiasi sekolah nelayan, karena perubahan iklim memerlukan antisipasi yang, tepat, dan cepat. Hingga kini sekolah iklim telah dilaksanakan di 451 kabupaten (33 provinsi). Hasilnya, terbukti meningkatkan hasil panen sebesar 30%. Khususnya padi, dan jagung, melalui masa tanam yang tepat musim.

Dengan memperhatikan (sekolah) iklim, nelayan bisa meningkatkan hasil tangkap sebanyak 20%. Serta tingkat melaut lebih efisien. Sistem yang teruji dan tangguh bisa menjamin ketahanan pangan secara merata dan berkesinambungan

——— 000 ———

Rate this article!
Sekolah Iklim Nelayan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: