Sekolah Inklusif Pintu Menuju Pendidikan Welas Asih

foto 2Pendidikan inklusif menjadi solusi bagi anak penyandang disabilitas memperoleh pendidikan layak tanpa diskrimanasi. Model sekolah ini sejatinya membawa misi lain: membangun suasana menyenangkan bagi siswa ABK.

Diananta P. Sumedi – Banyuwangi

Apresiasi positif datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat menghadiri deklarasi, Direktur Pendidikan Khusus Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr Mujito, mengatakan, “Semoga spirit pendidikan inklusi terus tumbuh di Banyuwangi.” Ia meminta para penyandang disabilitas tidak menerima lagi kekerasan, baik dalam bentuk verbal dan fisik sekaligus penuh empati.
Bagi Lilik Sekar Nurlika, butuh teknik khusus mengajari ABK. Utamanya soal kesabaran, ketelatenan, kasih sayang, dan ketulusan hati. Tanpa ini, ABK sulit menerima materi ajar yang disampaikan. Bisa-bisa malah ngambek. Dalam sekali menyampaikan mata pelajaran, ia harus menyisihkan waktu mengajar untuk para ABK. “Menyesuaikan kebutuhan para ABK. Memang kuncinya harus sabar,” ia membagi resep. Sejak 2010, Lilik mendapatkan pola khusus mengajari ABK.
Deklarasi sejalan dengan program beasiswa bagi para penyandang disabilitas berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Menurut Anas, ini bagian affirmative policy dan affirmative action agar ada kesetaraan kemampuan bagi semua warga tanpa memandang keterbatasan fisik.
Anas mengatakan, beasiswa yang diberikan meliputi biaya pendidikan dan biaya hidup. Bagi yang berprestasi, baik akademis, seni dan lainnya, bisa mendaftar untuk mendapatkan beasiswa lewat sekolah, desa atau dinas terkait. Pada alokasi awal, pihaknya menyiapkan Rp 150 juta. Anggaran bisa ditambah sesuai kebutuhan anak-anak penyandang disabilitas agar hak pendidikannya terpenuhi.
Pihaknya juga memfasilitasi pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas. Seperti pelatihan memijat bagi penyandang tuna netra dan pelatihan usaha ekonomi produktif. Harapannya ada saling sinergi dari semua elemen, baik pemerintah daerah maupun swasta, untuk ikut memberdayakan penyandang disabilitas di Banyuwangi yang jumlahnya mencapai 4.453 orang. Menurut Anas, ini upaya intervensi yang sifatnya charity dan amal dengan menghilangkan sekat. “Konsepnya pemberdayaan,” kata dia.
Kini, Bupati Anas ingin melapangkan jalan keberhasilan bagi ABK yang ingin berkembang. ABK tidak harus termajinalkan dan terkungkung dalam panti rehabilitasi semacam SLB. Termasuk mendorong penyediaan fasilitas tambahan bagi penyandang disabilitas di tempat umum. “Kami ingin melawan hal yang merintangi inklusi masyarakat dalam berbagai bentuk, mulai dari bias gender, perbedaan SARA, dan latar belakang keterbatasan fisik,” Anas menambahkan.
Ketua Pokja Pendidikan Inklusif Kabupaten Banyuwangi, Hamami, mengatakan saat ini ada 122 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif mulai tingkat PAUD, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK dengan jumlah siswa 450 pada tahun ajaran 2014/2015. Sesuai Perbup Nomor 68 Tahun 2012, kata dia, semua jenjang sekolah di Banyuwangi akan menyelenggarakan pendidikan inklusif pada 2016.
Untuk itu, pelatihan Guru Pembimbing Khusus digeber dengan melibatkan organisasi nirlaba. Pihaknya pun mengalokasikan dana insentif bagi GPK dan sekolah penyelenggara. Hamami menyarankan para orang tua ABK berkenan memasukkan anaknya di sekolah reguler. “Paling tidak anak disabilitas merasa dihargai, tidak ada diskriminasi, dan demokratis. Kami juga mengadakan gebyar sekolah inklusif dan memfasilitasi ABK yang punya kemampuan di atas rata-rata untuk ikut lomba,” ujar Hamami. Ia mengemas proses pendidikan bagi siswa ABK lebih menyenangkan. Hasilnya lumayan. Sedikitnya 13 siswa ABK mencetak prestasi moncer di berbagai lomba tingkat provinsi dan nasional.
Untuk mencetak sekolah inklusif yang menyenangkan bagi siswa ABK, Husni Matamim, ketua PGRI Banyuwangi, mengatakan ada dua pola yang mesti dibangun oleh sekolah.  Pertama, mengurai sekat pemisah antar siswa di sekolah inklusif menuju pendidikan tanpa diskriminasi. Kedua, memberi pemahaman kepada siswa sebaya bahwa manusia tidak sepenuhnya sempurna. “Learning together. Kalau ada siswa ABK malu atau minder untuk belajar dan bermain bersama, maka siswa lain harus mendekatinya. Ini untuk mewujudkan sekolah inklusif yang menyenangkan bagi siswa ABK,” ujar Husni.
Selain pendidikan di sekolah, dia menyarankan peran orang tua lebih ditonjolkan dalam mendidik siswa ABK.  Dengan berkonsultasi ke guru pendamping, orang tua bisa mengambil peran di rumah untuk membangun kepercayaan diri. Menurut Husni, pendidikan inklusif merupakan solusi jitu buat mengakomodasi anak yang menyimpan potensi di tengah keterbatasan fisik.
Langkah ini, kata Husni, sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Mengutip pasal 11, Husni mengatakan, “pemerintah daerah wajib memberikan layanan, kemudahan, dan menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”
Selain itu, landasan yuridis termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif. Surat Dirjen menyinggung penyelenggaraan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri atas SD, SMP, SMA, dan SMK.
Pendidikan inklusif bukan hanya bertujuan mengurai diskriminasi, membangun karakter siswa ABK, dan memberikan kesempatan pada siswa ABK untuk memperoleh pendidikan bermutu. Lebih dari itu, pendidikan inklusif mesti dipahami dalam bingkai bagaimana merekonstruksi suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Model sekolah inklusif jelas membuat siswa ABK merasa senang karena memperoleh pola pengajaran setara dan pengalaman belajar yang lebih bervariasi.
Banyuwangi bukanlah satu-satunya kabupaten yang mengimplementasikan pendidikan inklusif. Banyak daerah lain yang lebih dulu mengadopsi model sekolah inklusif. Namun paling tidak, model pendidikan inklusif telah berkontribusi menghantarkan kabupaten berjuluk “Sunrise of Java” ini menyandang status Compassionate City (kota welas asih) pertama di Indonesia.

                                                                                                    ——————— *** ———————-

Tags: