Sekolah Itu Menyenangkan di Tangan Guru Kreatif

Putri Hayuningtyas menunjukkan trophy penghargaan yang pernah dia peroleh dari lomba guru inovatif Bahasa Jawa yang digelar Dinas Pendidikan Jatim pertengan tahun lalu

Putri Hayuningtyas menunjukkan trophy penghargaan yang pernah dia peroleh dari lomba guru inovatif Bahasa Jawa yang digelar Dinas Pendidikan Jatim pertengan tahun lalu

Belajar bahasa dan budaya, kerap kali dianggap sulit bagi peserta didik di zaman modern ini.  Tuntutan penguasaan sains dan teknologi  di sekolah-sekolah membuat mata pelajaran bahasa dan budaya tersingkir menjadi pelajaran kelas dua.  Namun di tangan guru kreatif, apapun mata pelajaran bisa menjadi menyenangkan untuk dipelajari peserta didik.

Adit Hananta Utama, Kota Surabaya

Salah satu pelajaran bahasa dan budaya  yang saat ini tersingkir menjadi bahan ajar kelas dua adalah Bahasa Jawa. Mata pelajaran muatan local ini  diidentikkan dengan bahasa tradisional, nggak njamani dan tidak cocok untuk anak muda.
Siswa kerap menganggap pelajaran Bahasa Jawa tidak terlalu penting.  Apa lagi beberapa hal dalam Bahasa Jawa seperti menulis aksara Jawa dinilai terlalu  susah. Fakta ini persis seperti nasib pelajaran Bahasa Indonesia. Setiap tahun, nilai peserta ujian nasional selalu paling rendah dibanding  pelajaran lain yang diujikan.
Sesulit apakah mempelajari Bahasa Jawa sehingga menjadi momok siswa? Putri Hayuningtyas, guru SMPN 10 Surabaya punya jawabannya. Pelajaran Bahasa Jawa yang paling berat adalah pada penulisan aksara Jawa. Selain hurufnya hampir sama, pasangan-pasangan di setiap huruf juga kerap membingungkan. Karena itu, sebagian besar orang jawa sendiri tidak bisa menulis aksara Jawa.
Hal ini yang membuat Putri menciptakan metode baru pembelajaran Aksara Jawa agar lebih menyenangkan dan mudah diterima siswa. Putri mengajar aksara Jawa tanpa harus menyuruh siswanya menghafal satu per satu dari 40 aksara jawa yang terdiri 20 aksara inti dan 20 pasangan.
Metode itu dimulai dengan mengelompokkan 40 aksara menjadi enam kelompok. Yakni, paling mudah, paling sulit, aksara yang hilang ekornya dan aksara yang bagian depannya hilang. Dua kelompok lainnya adalah aksara yang hurufnya sama persis dan huruf-huruf yang mirip.
Misalnya aksara ke dua dibaca ‘No’ yang masuk dalam kelompok mudah. Untuk menghafal pasangan No, Putri meminta para siswanya membayangkan huruf aksara sambil mengucap kalimat ‘turun belok ke kanan’.
Begitu juga ketika harus menghafal pasangan aksara Bo, siswa diminta menghafal dengan kalimat ‘C plunker N’. “Pasangan ‘Bo’ kan seperti huruf C lalu melingkar membentuk huruf N. Jadi murid bisa membayangkan sambil memejamkan mata,” kata Putri.
Metode ini diakuinya lebih mengandalkan fungsi otak kiri dari pada otak kanan. Sehingga membutuhkan imajinasi dan kreativitas siswa. Pada pertemuan pertama, siswa sudah bisa menghafalkan semua aksara dan pasangannya. Sementara pertemuan ke dua adalah simulasi tes. Dari 38 siswa di satu kelas dibagi dalam dua kelompok, masing-masing berjumlah 19 anak.
Ke-19 anak ini lalu diminta maju satu per satu untuk membuat huruf dalam 10 menit. Kata-kata yang dibuat 19 anak bisa membuat sejumlah kalimat dalam satu paragraf. Setelah selesai, kelompok pertama diminta membaca hasil kelompok kedua. Begitu sebaliknya.
“Ternyata hanya dalam dua kali pertemuan mereka semua bisa menguasai aksara Jawa,”terang alumnus Jurusan Bahasa Jawa, Universitas Negeri Surabaya.
Kecepatan menghafal metode diakuinya ini jauh lebih cepat dibandingkan cara yang biasa dipakai. “Kalau cara yang biasa dipakai satu semester belum tentu siswa bisa menghafal,”kata guru bahasa daerah yang sebelumnya mengajar selama 23 tahun di SMPN 4 Surabaya. Atas metode ini, Putri juga berhasil meraih juara I Guru Inovatif dari Dinas Pendidikan Jatim.
Fakta semacam ini membuktikan bahwa kreatifitas guru mengajar menunjang proses belajar terbaik siswa. Sebab, pembelajaran merupakan proses  transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi.
Proses transfer pengetahuan dalam pembelajaran akan berhasil apabila waktu terlama difokuskan pada kondisi siswa beraktifitas, bukan kondisi guru mengajar. Dalam kasus ini, siswa memiliki kesempatan membayangkan sendiri materi yang sedang dia pelajari menggunakan imajinasi otak kirinya. Termasuk pada saat evaluasi, siswa lebih dominan karena mereka dituntut untuk saling memberi masalah dan saling memecahkan.
Masih dalam penjelasan buku sekolahnya manusia, guru menyampaikan presentasinya hanya 30. Sedangkan 70 persen digunakan untuk siswa beraktifitas. Keberhasilan pembelajaran juga lebih cepat terwujud apabila prosesnya dilakukan dengan menyenangkan. Karena ketika guru mengajar, belum tentu siswa ikut belajar. Bisa-bisa mereka justru bosan dan ngantuk
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya Ikhsan, strategi pendidikan yang tepat ialah dengan melayani anak sesuai karakter masing-masing. Setiap anak memiliki perbedaan. Karena itu, setiap anak punya cara yang berbeda pula untuk belajar.
Di Surabaya, ada program sekolah inspirasi yang mencakup inovasi pembelajaran guru.  Dalam hal ini dia menguraikan 20 strategi mengajar yang berlaku bagi guru-guru di Surabaya. Beberapa diantaranya ialah action research, gambar visual, applied learning, sosio drama, wayang, mind MAP dan diskusi kelas. “Sebelum menerapkan strategi itu, yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang terhadap siswa,” kata dia.
Ikhsan menuturkan, sekolah hendaknya menjadi sekolahnya manusia, maka guru pun seharusnya menjadi gurunya manusia. “Kita punya semangat menjadikan Surabaya sebagai kota layak anak. Maka yang dibangun adalah sekolahnya dulu agar ramah anak,” kata Ikhsan. [tam]

Tags: