Sekolah Sebut Titipan, Dindik Akui untuk Gakin

sekolah mahalDindik Surabaya, Bhirawa
Pengisian romobongan belajar (Rombel) di sekolah-sekolah Surabaya yang ternyata overload . Data lapangan menyebut sejumlah sekolah ternyata menampung siswa lebih besar dari yang ditetapkan Dinas Pendidikan Surabaya yang seharusnya 38 siswa.
Idealnya, mengacu Permendikbud 23 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan menteri pendidikan nasional nomor 15 tahun 2010 tentang standar pelayanan minimal pendidikan dasar di kabupaten/kota, rombel untuk SD/MI tidak melebihi 32 peserta didik dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 peserta didik.
Dinas Pendidikan (Dindik) telah menetapkan rombel Surabaya sebesar 38 peserta didik per kelas. Sayangnya, meski telah mengambil kebijakan diatas ketentuan ideal, fakta di sekolah ternyata lain.
Sejumlah sekolah bahkan bisa menampung hingga 40-45 per kelas. Misalnya saja di SDN Puja (Pucang Jajar) Surabaya. Siswa kelas 6 yang terbagi menjadi empat kelas yang masing-masing menampung lebih dari 40 peserta didik.
Fakta serupa juga terlihat di SMPN 6 Surabaya. Dari total kelas yang tersedia sebanyak 24 ruang, jumlah siswa yang ditampung juga rata-rata diatas 40 peserta didik. Misalnya untuk kelas 7 yang terdapat 341 siswa yang ditampung dalam delapan kelas. Maka, satu kelas setidaknya harus diisi 42 siswa bahkan lebih. Hal serupa juga terjadi di kelas-kelas diatasnya.
Menurut informasi yang dihimpun Bhirawa, penambahan siswa yang melebihi batas rombel itu karena titipan sejumlah pihak. Pihak sekolah terpaksa menerima dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di sekolah.
Namun hal ini dibantah Kepala Dindik Surabaya Ikhsan. Dia mengakui, Surabaya memang belum dapat mencapai titik ideal dalam menentukan jumlah rombel. Hal ini lantaran untuk memperluas akses bagi siswa miskin agar bisa mendapat pendidikan gratis di sekolah negeri.
“Memang kita membatasi 38. Tapi itupun tidak bisa saklek. Karena harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat sekitar, khususnya warga tidak mampu,” tutur Ikhsan saat dikonfirmasi, Rabu (30/9).
Sejauh ini, lanjut Ikhsan, daya tampung untuk siswa miskin telah diberikan sebanyak lima persen dari total kuota siswa. Namun demikian, siswa miskin tidak selalu melalui jalur mitra warga. Karena mereka yang memiliki prestasi juga bisa masuk melalui jalur umum dan jalur prestasi.
“Jadi satu sekolah itu bisa saja lebih dari lima persen jumlah siswa mitra warganya,” ungkap dia. Siswa miskin, lanjut Ikhsan, harus benar-benar tertampung di sekolah agar tidak putus sekolah.
Terpisah, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman menuturkan, ketetapan rombel memang tidak harus mengikuti nasional. Daerah memiliki kemampuan tersendiri untuk menentukan rombel. Kendati demikian, sekolah tetap harus standar layanan minimal pendidikan untuk menjamin mutu dan manajemen kelas tetap terkendali.
“Rasio guru dan siswa harus diatur. Kalau tidak, guru akan kesulitan memanajemen kelas. Sebab, manajemen kelas ini yang paling banyak tidak dipahami guru,” ungkap Saiful. Jangan sampai karena isi kelas terlalu penuh sehingga proses belajar mengajar justru tidak maksimal.
Menurut Saiful, jumlah rombel berkaitan langsung dengan sarana prasarana. Dana sarana prasarana ini termasuk dalam delapan standar pendidikan nasional. Oleh karena itu, kebijakan yang ditetapkan daerah harus diprioritaskan sesuai standar pendidikan nasional. “Kalau memang Surabaya punya banyak anggaran, kenapa tidak dimaksimalkan untuk menambah ruang kelas atau unit sekolah baru. Tapi malah dipakai untuk seragam gratis. Seragam gratis itu tidak termasuk standar pendidikan,” ungkap Saiful. [tam]

Tags: