Sekolah Surabaya Cemas Provinsi Kelola Dikmen

Merger SekolahSurabaya, Bhirawa
Perubahan wewenang mengelola pendidikan menengah (Dikmen) SMA/SMK dari pusat ke provinsi disambut antusias sekaligus was-was. Antusias di level provinsi yang akan memegang wewenang, namun was-was di level daerah hingga sekolah.
Khususnya sekolah-sekolah di Surabaya yang sudah terbiasa dengan pendidikan gratis melalui dukungan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (Bopda). Seperti diungkapkan Kepala SMKN 2 Surabaya Djoko Pramodjo, selama ini masyarakat Surabaya telah mengenal pendidikan gratis. Namun ketika dikelola provinsi, hal ini dikhawatirkan tidak akan berlaku lagi. Sebab, selama ini biaya operasional paling besar ditopang oleh Bopda.
“Yang paling dikhawatirkan itu kalau Bopda dihapus. Kalau kita hanya mengandalkan BOS saja, pasti tidak akan cukup untuk operasional,” tutur Djoko saat dikonfirmasi, Rabu (17/12).
Seperti diberitakan sebelumnya, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan pengelolaan Dikmen di bawah wewenang provinsi. Melalui undang-undang tersebut, Kepala Dindik Jatim Dr Harun MSi memastikan akan melakukan pemerataan mutu pendidikan. Sehingga tidak ada pengecualian untuk daerah tertentu. Termasuk Surabaya yang selama ini mengucurkan anggaran Bopda. Harun meminta daerah agar fokus ke Pendidikan Dasar (Dikdas) SD dan SMP sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tersebut.
Lantaran tidak lagi menerima Bopda, Djoko sudah mulai menghitung berapa kebutuhan yang akan dibebankan ke wali murid. Mengingat dana BOS tahun depan hanya senilai Rp 1,2 juta per tahun atau Rp 120 ribu per bulan. Sementara Bopda yang diterima sekolah selama ini nilainya mencapai Rp150 ribu per bulan.  “Kebutuhan untuk SMK itu besar. Setiap bulan kita butuh lebih Rp 300 ribu untuk satu siswa. Kalau hanya mengandalkan dana BOS tentu tidak nutut,” kata dia.
Dengan alasan itu, Djoko mengaku akan segera menyosialisasikannya ke wali murid. Selain biaya, kekhawatiran lain ialah gaji Guru Tidak Tetap (GTT) yang selama ini ditangani Pemkot Surabaya dengan nilai sesuai Upah Minimum Kota (UMK). Hal ini yang dikhawatirkan Djoko jika provinsi tidak mampu membayar gaji GTT sesuai UMK. “Tidak hanya GTT, selama ini kita juga mendapat tunjangan kinerja dari Pemkot Surabaya setiap tiga bulan sekali. Meski jumlahnya tidak besar, tapi itu cukup berarti untuk guru-guru,” tutur dia.
Di sisi lain, Kepala SMAN 19 Surabaya Mohammad Zainuri mengaku masih menunggu kebijakan resmi rencana pengambilalihan kewenangan mengelola pendidikan menengah (SMA/SMK) oleh Pemprov Jatim. Untuk saat ini pun dia belum dapat berkomentar banyak karena petunjuk teknis  maupun petunjuk pelaksanaan belum ada. “Kita ini kan prajurit, jadi tunggu resminya saja,” katanya.
Meskipun demikian, Zainuri berharap kebijakan yang selama ini sudah berjalan dengan baik tetap dilanjutkan. Seperti pemberian Bopda kepada sekolah-sekolah yang membuat pendidikan di Kota Pahlawan dikenal gratis. Jika ini diubah, dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat.
“Kami berharap UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah itu dapat sinkron dengan dengan kebijakan yang sudah jalan di Surabaya. Sehingga, kebijakan yang baik-baik tetap bisa jalan,” tegasnya.
Bagaimana dengan kebijakan rotasi guru? Zainuri yakin konsepnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab, rotasi guru tingkat Surabaya saja memiliki ketentuan tertentu. “Secara pribadi, rotasi guru di Jatim yang bentangannya luas tentu tidak mudah dan sederhana. Kami ikut saja. Yang jelas, pemberian bantuan harus ditingkatkan, jangan tiba-tiba dihilangkan,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Dindik Surabaya Ikhsan juga berharap program-program yang sudah berjalan tetap dipertahankan. Salah satu diantaranya ialah program Bopda. “Kita masih menunggu petunjuk dari pusat maupun provinsi. Jadi kita masih bisa berharap agar program-program yang sekarang tetap berjalan,” kata dia. [tam]

Tags: