Sektor Konstruksi di Panggung AEC 2015

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya

Babak baru hubungan perdagangan antarnegara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yakni ASEAN Economic Community (AEC) 2015 perwujudannya sudah di depan mata. Konsep dasar AEC yang akan diimplementasikan mencakup arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, arus bebas tenaga kerja terampil, yang semuanya bermuara pada prinsip pasar terbuka bebas hambatan.
Kesepakatan untuk merealisasikan perdagangan bebas hambatan tersebut telah dituangkan dalam piagam ASEAN yang disahkan pada 2007 lalu. Karena sudah menjadi kesepakatan bersama maka tak bisa diperdebatkan lagi apakah bangsa ini siap atau tidak siap untuk menjalaninya.
Dalam era AEC ini nantinya, setiap negara ASEAN bebas masuk ke pasar negara lain dan setiap negara tidak boleh membatasi negara lain untuk berkiprah, termasuk di dalamnya adalah persaingan di sektor konstruksi. Implikasinya, tenaga kerja dan SDM di bidang konstruksi harus disiapkan matang. Para ahli konstruksi di tanah air harus siap berkompetisi dengan ahli konstruksi dan arsitek dari negara-negara di kawasan ASEAN. Bila tidak siap, maka bukan tidak mungkin proyek-proyek konstruksi yang dikerjakan di negeri ini akan menjadi makanan empuk bagi para tenaga konstruksi asing. Dan kita hanya akan jadi penonton di tengah persaingan keras di sektor konstruksi di negeri sendiri. Kalau tidak ingin nasib seperti itu menimpa bangsa ini, maka harus ada upaya serius untuk menjadikan sektor konstruksi di Indonesia mampu berbuat banyak saat berlakunya AEC 2015 nanti.
Tantangan Industri Konstruksi
Sektor konstruksi di Indonesia harus mulai dipandang lebih luas menjadi suatu industri. Sebab, konstruksi bukan hanya sekadar obyek pembangunan fisik yang menghabiskan anggaran, tapi juga mampu berbicara dan memberikan sumbangsih bagi pembangunan dan perekonomian bangsa. Untuk mewujudkan industri konstruksi tersebut dibutuhkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) konstruksi yang handal.
Sejatinya banyak peluang di sektor  konstruksi di baik di dalam dan luar negeri, mengharuskan penyediaan SDM yang terampil dan ahli. Menggeliatnya pembangunan fisik khususnya dalam mendorong tersedianya infrastruktur berbagai bidang di dalam negeri dan terbukanya peluang sector konstruksi di negara tetangga seperti di Timor Leste, Singapura, dan sebagainya tentu menjadi tantangan bagi tenaga konstruksi di tanah air.
Sektor konstruksi merupakan salah satu sektor ekonomi yang penting di Indonesia karena melibatkan lebih dari 160.000 penyedia jasa konstruksi. Oleh karenanya diharapkan para penyedia jasa konstruksi selalu meningkatkan usahanya agar mampu bersaing dan semakin dapat diandalkan dalam mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas, ramah lingkungan, efisien, tepat waktu serta bermanfaat di era AEC 2015 mendatang.
Salah satu tantangan besar bagi industri konstruksi nasional adalah mengupayakan agar struktur industri nasional dapat mencapai postur yang sesuai dengan amanah Undang-undang No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, karena daya saing yang masih terbatas pada pengusaha jasa konstruksi kecil dalam menghadapi fluktuasi pasar konstruksi yang ada.
Saat ini, mayoritas dari para penyedia jasa konstruksi merupakan pengusaha konstruksi kualifikasi kecil yang daya saingnya masih rendah, karena bagian terbesar dari pasar konstruksi nasional masih dinikmati oleh perusahaan jasa konstruksi skala besar. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penyedia jasa konstruksi yang ada di Indonesia lebih memiliki bidang usaha konstruksi yang bersifat umum dan sangat sedikit yang menekuni spesialisasi tertentu, sehingga menyebabkan tingkat persaingan yang sangat tinggi di antara berbagai pelaku usaha.
Ke depan, penyediaan jasa konstruksi besar dan kecil harus dipikirkan, apakah yang skala kecil digabung untuk menjadi besar atau dipertahankan, sehingga kita bisa siap bersaing dengan penyedia jasa konstruksi yang datang dari luar negeri. Atau bisa juga dispesialisasi meski kecil. Jangan sampai yang skala kecil malah lemah, harus fungsional.  Melihat kondisi rill dan tantangan yang dihadapi ke depan, semua pihak terkait diharapkan proaktif dalam setiap kegiatan regional untuk memahami dan mengantisipasi arah dan kebijakan yang dilakukan negara lain khususnya negara Asean. Harmonisasi sistem rantai pasok konstruksi juga penting dilakukan, karena langkah ini bertujuan meningkatkan daya saing.
Penopang Daya Saing
Kendala utama pembangunan di Indonesia baik ekonomi, sosial dan politik adalah infrastruktur yang belum memadai. Sederhananya, kalau infrastrukturnya bagus, maka semua  berjalan lancar dan negara kita pasti pasti maju pesat. Dalam konteks pembangunan ekonomi misalnya, sandungan pembangunan ekonomi adalah kondisi infrastruktur transportasi yang belum memadai, akibatnya terjadi ekonomi biasa tinggi.  Banyak produksi pertanian dari daerah yang tidak terpasarkan karena kendala infrastruktur jalannya yang buruk. Lantaran itu, problem utama pembangunan Indonesia  yang harus dibenahi adalah membenahi infrastruktur.
Berkaca dari kondisi tersebut, maka sektor konstruksi memiliki peran strategis untuk mendapat perhatian dengan mempertimbangkan bahwa  sektor konstruksi berhubungan erat dengan pembangunan insfrastruktur di berbagai bidang, seperti infrastruktur gedung, infrastruktur jalan dan jembatan dan infrastruktut bangunan fisik lainnya. Dengan demikian ketangguhan sektor konstruksi akan ikut menjadi penentu bagi ketangguhan bangsa ini dalam penyiapan insfrstruktur.
Pada wilayah lain pembangunan infrastruktur fisik (baca : konstruksi) akan menjadi pendorong akselerasi pertumbuhan dalam menghadapi pasar bebas Asean. Oleh karena itu penataan dan pembangunan infrastruktur mesti didukung oleh kesiapan di sektor konstruksi.
Kesungguhan untuk membenahi infrastruktur ini semakin menemukan relevansinya dengan mempertimbangkan bahwa ternyata tingkat  Competitiveness Index kualitas infrastruktur jalan di Indonesia berada pada peringkat 78 dari 148 negara. Begitu juga Logistic Performance Index, Indonesia berada pada peringkat ke 59 dari 155 negara. Dengan kata lain, sangat diperlukan peningkatan kualitas infrastruktur jalan tol untuk meningkatkan daya saing infrastruktur di era perdagangan bebas. Sebagai ilustrasi misalnya, dalam kuran waktu 35 tahun (1978-2013) panjang tol di Indonesia baru mencapai 784 km. Adanya rencana pembangunan jalan tol trans Sumatera dengan panjang 2.608 km, ini sesungguhnya adalah bagian yang terintergrasi dengan pembangunan infrastruktur lain.
Perdagangan bebas yang dikemas dalam konsep AEC 2015 itu bukan berarti perdagangan bebas sebebas-bebasnya. Namun pada hakekatnya, pengaturan perdagangan bersama melalui perundingan yang setara dan bertahap untuk menciptakan persaingan yang sehat dan efisien dengan memperhatikan kepentingan negara masing-masing. Oleh karena itu, pembentukan pasar Asean bukan hanya ditujukan untuk menciptakan persaingan “head to head” di antara sesama anggota ASEAN. Tetapi untuk mengintegrasikan dan saling melengkapi kapasitas pelaku usaha di antara negara-negara tersebut dalam meningkatkan daya saing bersama untuk menghadapi negara-negara non-ASEAN dalam era globalisasi yang lebih luas.
Oleh karenanya, pemberlakuan AEC 2015 tidak lantas dimaknai sebagai sebatas persaingan antara sesama Negara ASEAN di bidang konstruksi tetapi sesungguhnya juga untuk membangun kolektivitas sesama Negara ASEAN dalam menghadapi persaingan bebas yang lebih luas lagi di bidang konstruksi.
Rasanya tidak mungkin ada negara anggota ASEAN yang ingin sekadar sebagai penonton dalam era AEC 2015 nanti. Artinya, perlu ada saling pengertian untuk saling berbagi peran dengan mempertimbangkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan potensi Sumber Daya Alam (SDA) di masing-masing Negara anggota ASEAN. Sehingga kehadiran AEC 2015 bukan untuk menguntungkan atau merugikan salah satu negara, tetapi untuk memperkuat ketahanan ekonomi regional khususnya di sektor konstruksi di kawasan ASEAN.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

———- *** ———–

Tags: