Selamat Datang Kekuasaan Tanpa Batas

Oleh :
Husamah
Dosen UMM, Mahasiswa S3 Pendidikan Biologi FMIPA UM

Ide penundaan Pemilu 2024 yang bermakna otomatis perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah dengan vulgar disuarakan oleh beberapa orang yang kini tengah menjabat sebagai ketua partai. Setidaknya suara tegas tanpa malu itu muncul dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

Beredar pula kabar bahwa Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, disebut ikut terlibat dalam wacana tersebut. Setidaknya begitulah hasil laporan Majalah Tempo edisi 5 Maret 2022. Belakangan kabar tersebut dibantah oleh nama-nama atau perwakilan dari nama yang sudah terekspos tersebut. Untuk selengkapnya, agar lebih berimbang, dapatlah kita membaca https://nasional.tempo.co/ edisi Senin, 7 Maret 2022, sebagaimana yang dilaporkan Reporter mereka M Julnis Firmansyah.

Ternyata upaya yang diyakini banyak pihak sebagai aksi inkonstitusional dan kejahatan konstitusional tersebut terus berlanjut. Berbagai akrobat dilakukan para pendukung. Secara sepihak Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim memiliki big data (mahadata) 110 juta netizen yang setuju Pemilu 2024 ditunda. Sontak klaim tersibut mendapat kecaman banyak pihak terkait dengan validitasnya. Yang paling menarik adalah misalnya disampaikan Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi (jawapos.com, 12 Maret 2022). Anehnya, seperti dikomando, di berbagai daerah serentak bermunculan sejumlah spanduk dukung Jokowi tiga periode, dimana dapat kita lihat di sejumlah ruas jalan.

Opini ini sedikit akan menguraikan mengapa setidaknya kita sebagai anak bangsa perlu menolak wacana yang berbahaya tersebut.

Dari Kuasa Rakyat Ke Oligarki

Ada baiknya kita membaca ulang buku karya Saiful Mujani et al (2011) yang berjudul “Kuasa rakyat: analisis tentang perilaku memilih dalam pemilihan legislatif dan presiden Indonesia pasca orde baru”. Dengan tegas kita akan menemukan bahwa di Indonesia, rakyatlah yang berkuasa, bukan oligarki. Saiful Mujani et al dengan jelas menuliskan bahwa di Indonesia Rakyat berkuasa untuk memilih presiden dan anggota DPR, dua lembaga yang memiliki peran sangat strategis secara nasional. Ada ekonomi-politik dan psikologis, serta tentu saja sosiologis yang terlibat di dalamnya.

Kenyataannya, kita dapat melihat bahwa bangsa ini telah dikuasai oleh oligarki. Setidaknya, kita sependapat dengan pernyataan analis politik Northwestern University, Jeffrey Winters yang justru menilai demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat (Media Indonesia, Kamis 08 Maret 2018). Perlu diketahui awam, Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.

Dalam konteks penundaan pemilu seharusnya kita merenungkan apa yang telah disuarakan Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Menunda pemilu berarti mendorong negara ini agar kehilangan kualitas demokrasinya. Menunda pemilus berarti mendukung sepenuhnya aksi despotisme (kesewenang-wenangan). Jika itu terjadi, maka demokrasi kita dalam kondisi berbahaya, sehingga sudah saatnya kita menarik alarm demokrasi agar berbunyi meraung-raung untuk menyadarkan semua khalayak bangsa. Kita harus sadar bahwa bangsa ini mengalami kemunduran demokrasi-bahkan demokrasi itu dikebiri-dimana kuasa telah berada di tangan para politisi yang dibiayai dari kekayaan aktor-aktor oligarki. Kaum oligarki yang jahat itulah common enemy kita.

Hasrat Melanggengkan Kuasa

Amy Freedman dan Robert Tiburzi lewat artikel mereka berjudul Progress and Caution: Indonesia’s Democracy (Asian Affairs: An American Review, Vol. 39, No. 3 (July-September 2012), pp. 131-156) memuji indahnya demokrasi indonesia sepuluh tahun yang lalu. Menurut mereka, rakyat Indonesia memiliki kekuatan politik, kebebasan bersuara, dan berbagai hak sipil dan politik yang tidak terbayangkan lima belas tahun sebelumnya. Tidak dapat disangkal betapa banyak perubahan positif yang terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Pengalaman Indonesia, seperti negara-negara lain di Asia, menjadi contoh baik keberhasilan demokratisasi maupun kesulitan dan tantangan dalam konsolidasi demokrasi.

Artikel ini pada saat itu jelas melihat status demokrasi di Indonesia. Mereka menganalisis seberapa baik demokrasi telah dikonsolidasikan di Indonesia dan meskipun harus diakui masih ada tantangan yang dihadapi. Ironisnya, kondisi sekarang justru menunjukkan kemunduran yang memilukan.

Hasrat melanggengkan kuasalah yang menjadi sumber masalahnya. Menurut Wisnumurti (2012) diskursus kekuasaan memang lebih sering bersifat rakus. Pemenuha hasrat berkuasa selalu

ada dalam wilayah atau medan kehidupan tanpa dibatasi ruang, nasional maupun lokal.

Apa yang terjadi saat ini rasanya adalah realitas yang ditulis oleh Machiavelli [1469-1527] dalam karyanya fenomenalnya yakni Il Principe. Ia mengeaskan bahwa cara menggapai, dan mempertahankan, kekuasaan adalah dengan memastikan kita membuang etika ke comberan sejarah. Politikus harus melakukan segala cara untuk menggapai tujuan. Kekuasaan harus direbut dengan pelbagai cara. Tak peduli harus memakai trik yang paling kotor sekalipun. Dan jika kekuasaan sudah di genggaman, patut dipertahankan dengan kekuatan. Kekuasaan harus dijaga dengan metode ‘medis’. Setiap perlawanan dianggap sebagai virus wajib dimatikan. Ketimbang luka menyebar, anggota tubuh yang terinfeksi mesti dipotong (Setiyardi, 2017).

Apakah kondisinya mirip-mirip dengan kondisi saat ini? Kejernihan hati kitalah yang akan menentukan jawaban yang kita berikan.

Akhirnya, semoga ending dari semua kekisruhan ini adalah sebagaimana yang ditulis Fadrik Aziz Firdausi yaitu “Sejarah Pemilu 1997: Usaha Gagal Melanggengkan Kuasa Soeharto” (https://tirto.id/dmZE, 24 April 2019). Namun jika tidak, maka bersiaplah kita menikmati pahitnya cengkeraman syahwat kuasa dan oligarki sembari mengatakan “selamat datang kekuasaan tanpa batas”.

———- *** ———

Rate this article!
Tags: