Selamatkan Generasi Muda dari Virus Radikalisme, Hidupkan Kembali P-4 dan BP-7

Jakarta, Bhirawa.
Menyelamatkan generasi muda dari paparan virus radikalisme, pendidikan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) layak dihidupkan kembali. Sejak BP-7 (Badan Pendidikan P-4) dibubarkan, tidak ada lagi Lembaga yang berkewajiban men-sosialisasikan dasar dan ideologi negara. Yakni Pancasila. Sejak P-4 ditiadakan, tidak ada lagi pelajaran mengenai dasar dan ideologi negara kepada pelajar, mahasiswa, kaum muda dan Aparatur negara.

“Akibatnya, generasi muda atau milenial, mencari-cari ideologi dan dasar negara yang dipakai negara lain. Meskipun belum tentu sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Kondisi ini semakin rumit, karena generasi muda lebih percaya kepada media sosial (medsos) daripada media massa konvensional (koran), dan keterangan resmi pemerintah,” ungkap Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah (PDIP) dalam diskusi 4 Pilar MPR, dengan tema

“Menangkal Penyusunan Paham Ekstremisme di Kalangan KaumMuda,” . Nara sumber lain Sekum PP Muhamadiyah Prof. Dr Abdul Mu’ti.

Ahmad Basarah lebih jauh menyatakan; hal tersebut terbukti dari tingkat kepercayaan masyarakat kepada Medsos tercatat mencapai 20,3%. Jauh lebih tinggi dibanding kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga pemerintah. Yakni hanya 15,3 persen saja.

“Harus diakui, negara pernah abai terhadap pentingnya sosialisasi dasar dan ideologi negara. Dianggap ya, sila-sila dalam Pancasila itu diartikan sesuai rezim pemerintahan yang berkuasa. Sehingga saat penguasanya berganti, Pancasila-nya pun harus berganti. Lalu, bagaimana anak-anak muda akan memahami Pancasila, jika sosialisasi Pancasila nya saja, tidak pernah mereka dapatkan,”kilah Basarah.  

Dikatakan, menjamurnya radikalisme dan bom bunuh diri yang melibatkan milenial, pasca dibubarkannya BP-7 dan hilangnya materi pendidikan P-4. Maka kaum milenial gampang dipengaruhi gerakan radikalisme dan aksi bom bunuh diri. Sebab, umumnya, kaum muda memiliki jiwa militan yang sangat kuat. Kepada anak-anak muda ini ditanamkan keyakinan, bahwa semua yang dari Barat itu adalah kafir dan thaghut. Termasuk masalah demokrasi dan Pancasila. Akibatnya, banyak anak muda yang terpengaruh dan larut dalam aksi radikalisme.

Diungkapkan, sepanjang 20 tahun terakhir, antara tahun 2000 hingga 2020, radikalisme dan teror om bunuh diri, tercatat, meningkat. Dalam rentang waktu 20 tahun, tercatat ada 553 serangan teror di wilayah NKRI. Artinya, rata-rata setiap bulan terjadi 2 kali aksi teror, yang pelakunya berusia muda, antara 18 tahun, 26 tahun. Mereka kaum milenial.

Prof Dr Abdul Mu’ti melihat, munculnya aksi ekstremis tempo dulu, didorong atas faktor ekonomi dan kesejahteraan. Pola tersebut kini telah bergeser menjadi persoalan ideologi, demokrasi dan politik. 

“Keterlibatan generasi milenial dalam aksi ekstremis pada usia muda, mereka tengah mencari identitas dan jati diri. Jika kaum milenial ini tidak dapat dibimbing dengan benar, niscaya mereka mudah terbawa arus yang mempengaruhinya,” ucap Abdul Mu’ti.

Dikatakan, ada kekosongan jiwa, dikalangan muda, sehingga gampang dipengaruhi. Juga kurangnya pengetahuan dan teladan yang bisa mereka temukan. Membuat kalangan muda makin anti Pancasila dan berkeinginan mencari ideologi baru. Ditemukannya Khilafah yang mereka sangka adalah ideologi yang bisa membuat negara menjadi maju.

“MPR yang punya tugas pokok men-sosialisasikan 4 Pilar, harus mampu mencari solusi. Bagaimana caranya supaya kekerasan seperti aksi terorisme dan aksi bom bunuh diri tak lagi terulang,” harapan Abdul Mu’ti. (ira)

Tags: