Sembilan “Srikandi” Pansel KPK

Yeny OktarinaOleh :
Yeny Oktarina
Pengajar FKIP Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Perubahan selalu membawa harapan. Hal itulah yang kembali dilakukan Presiden Joko Widodo, lewat pengumuman nama-nama anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK). Perubahan paling nyata memang terkait dengan gender karena kesembilan anggota Pansel KPK itu seluruhnya perempuan.
Penunjukan sembilan perempuan sebagai Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden Joko Widodo memang tidak biasa. Di luar kebiasaan, seluruh anggota pansel itu adalah perempuan. Kendati saat ini sebetulnya sudah tidak relevan lagi membicarakan suatu isu berdasarkan sentimen gender, karena perempuan secara prinsip sudah memperoleh kesetaraan, tetap saja 100 persen perempuan di panitia seleksi itu menarik. Penilaian Presiden atas caloncalon anggota panitia seleksi itu tentu berdasarkan rekam jejak profesionalisme, kredibilitas, dan integritas. Namun, menentukan sembilan anggota terpilih yang kesemuanya perempuan dari 40 calon sangat mungkin juga dilakukan dengan kesadaran penuh atas isu gender.
Menelisik perilaku Jokowi yang sadar pada pencitraan media, penunjukan itu sangat mudah dicurigai sebagai trik menjaring sensasi pemberitaan. Pada era komunikasi politik yang didominasi dengan praktik komunikasi media massa, unsur-unsur nonsubstansial semacam itu sudah lumrah. Hanya saja, yang terpenting adalah jangan sampai unsur-unsur nonsubstansial itu mengalahkan unsur substansial. Dalam kasus penunjukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK, unsur keperempuanan itu tidak substansial karena substansi inti terletak pada rekam jejak profesionalisme, kredibilitas, dan integritas. Karena itu, menilai Panitia Seleksi “hanya” berdasarkan sentimen gender sesungguhnya tidak relevan.
Perempuan atau laki-laki, Panitia Seleksi tetap dituntut untuk bekerja total untuk menyeleksi calon-calon pimpinan KPK yang benar-benar komit pada semangat pemberantasan korupsi. Meski demikian, dari sudut pandang komunikasi politik, Presiden cukup berhasil menggaet perhatian publik dengan penunjukan sembilan “Srikandi” Panitia Seleksi Pimpinan KPK. Seleksi pimpinan KPK selalu merupakan arena yang keras karena kepentingan-kepentingan koruptor tidak akan tinggal diam. Adu kepentingan, intrik, ketegangan, dan intervensi selalu mengepung proses seleksi pimpinan KPK.
Menaruh harap pada Pensel KPK
Publik berharap, Panitia Seleksi akan menghasilkan calon-calon pimpinan KPK yang mampu menjawab keinginan masyarakat bahwa Indonesia harus bebas korupsi. Untuk itu, Panitia Seleksi juga harus bersih dan imun dari intervensi. Apakah keperempuanan akan menjamin bebas intervensi? Tentu tidak karena ada atau tidak ada intervensi tidak berhubungan dengan gender.
Mengingat pula tugas dan tanggung jawab pansel tidaklah ringan. Pansel berkewajiban memilih calon pimpinan KPK yang berintegritas dan memiliki komitmen pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Publik berharap pimpinan KPK diisi orang yang relatif sempurna, bahkan nyaris setengah dewa.
Harapan publik itu mungkin berlebihan dan mustahil tercapai. Namun, kita perlu memberinya garis tebal mengingat persoalan KPK di masa depan ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar memberantas dan membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.
Mengingat kepercayaan masyarakat terhadap KPK mulai tergerus setelah dua pemimpinnya terlibat kasus hukum. Kepercayaan itu terus melorot setelah terungkap fakta di persidangan praperadilan bahwa penetapan tersangka suka-suka pimpinan, bukan berdasarkan alat bukti yang kuat.
Berangkat dari realitas itulah mencari dan memilih calon pimpinan KPK setengah dewa itu menjadi tugas pansel. Pimpinan KPK itu ibarat sapu  bersih. Hanya sapu bersih itulah yang bisa dipakai untuk menyapu lantai kotor. Hanya pimpinan KPK yang bersih itu pula yang bisa diharapkan untuk menyapu korupsi dari negeri ini. Tugas pansel ialah mencari dan memilih sapu bersih. Karena itu, personel pansel pun harus bersih dan integritasnya tidak diragukan. Tidak kalah pentingnya, anggota pansel bebas dari konflik kepentingan.
Publik mengapresiasi kepercayaan Presiden kepada Panitia Seleksi yang 100 persen perempuan dengan harapan terobosan itu akan memberikan bobot integritas pada Panitia Seleksi. Tetap saja, aura femininisme pada Panitia Seleksi tidak boleh menjadi bias kekritisan publik pada kinerja sembilan “Srikandi” itu. Dalam sejarah dan berbagai studi, perempuan memang bukan hal asing dalam perubahan. Banyak catatan sejarah baru lahir karena kiprah perempuan. Pun begitu dalam dunia yang makin sarat dengan praktik korupsi.
Sebuah studi oleh lembaga dunia telah menemukan bahwa semakin tinggi keterlibatan perempuan dalam pemerintahan, berdampak pada tingkat korupsi yang lebih rendah. Itu disebabkan para perempuan dianggap memiliki standar etik yang lebih tinggi dan lebih peka pada kepentingan orang banyak.
Namun, hanya berkaca pada latar gender sesungguhnya ialah pengerdilan terhadap anak bangsa, dan juga pengotakan terhadap perang besar yang tengah dihadapi negara ini. Harapan di Pansel KPK justru muncul karena faktor yang lebih hakiki ketimbang urusan jenis kelamin.
Harapan baru dibuat Presiden Jokowi karena kesembilan sosok tersebut merupakan para ahli dengan kompetensi bidang yang lengkap. Tidak kalah penting, kesembilannya juga tidak terkait dengan kepentingan politik tertentu. Pada kursi ketua sekaligus anggota, Presiden menempatkan ahli ekonomi keuangan dan moneter Destri Damayanti. Sebagai wakilnya sekaligus anggota, duduk pakar hukum tata negara Enny Nurbaningsih. Di enam kursi anggota ada pakar pidana hukum dan hak asasi manusia Harkristuti Harkrisnowo, ahli teknologi informasi dan manajemen Betty Alisjahbana, ahli hukum pidana, ekonomi, dan pencucian uang Yenti Garnasih, ahli psikologi sumber daya manusia dan pendidikan Supra Wimbarti, ahli tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi Natalia Subagyo, ahli hukum dan perundang-undangan Diani Sadiawati, serta ahli sosiologi Meuthia Ganie Rochman.
Pemilihan sosok-sosok tersebut patut diapresiasi. Lewat nama-nama itu, Presiden Jokowi bukan hanya membuktikan independensi dari tekanan apa pun dan dari pihak mana pun, melainkan juga visi seorang pemimpin. Praktik korupsi yang semakin kompleks dan melibatkan banyak institusi membutuhkan strategi matang untuk menghadapinya. Maka, para srikandi itulah yang menjadi pilar penentu strategi untuk menghadapi perang tersebut.
Penempatan pakar moneter dan pakar hukum di dua pucuk teratas Pansel KPK menunjukkan bahwa Presiden Jokowi sangat memahami gentingnya praktik korupsi di Indonesia. Sudah banyak kasus memperlihatkan korupsi terjadi dengan memanfaatkan kelemahan tata kelola keuangan negara serta hukum yang dapat dibengkokkan. Namun, tentu saja sehebat apa pun catatan yang telah dibuat para srikandi itu barulah langkah yang amat awal. Harapan perubahan baru akan terjawab dengan hasil kerja pansel nantinya.
Hal itu disebabkan dalam kurun beberapa saat terakhir, KPK tengah menghadapi hantaman dari dalam yang berakibat pada tergerusnya kredibilitas lembaga. Berlama-lama menggantung status tersangka hingga penetapan tersangka yang dinilai tergesa-gesa memicu kritik amat keras terhadap KPK. Pansel KPK perlu pula mempertimbangkan hal itu. Pertanyaan selanjutnya, apakah kompetensi dan harapan yang menumpuk itu bisa dibuktikan dengan memilih figur-figur pimpinan KPK yang juga mendatangkan harapan dan memulihkan muruah lembaga antirasywah itu? Di situlah tantangan sebenarnya dimulai.

                                                                                                 ————————- *** ————————

Rate this article!
Tags: