Sempat Dinilai Aneh Tetangga karena Bawa Pulang Sampah di Rumah

 Supardi, pria Kelahiran Jombang saat memamerkan beberapa kerajinan terbuat eceng gondok dan pelepah pisang di kediamannya kawasan Kebraon Permai Blok C-46 Surabaya.


Supardi, pria Kelahiran Jombang saat memamerkan beberapa kerajinan terbuat eceng gondok dan pelepah pisang di kediamannya kawasan Kebraon Permai Blok C-46 Surabaya.

Kota Surabaya, Bhirawa
Dulu eceng gondok dianggap sebagai hama yang mengotori sungai karena tumbuhan ini memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi dan dengan mudah menyebar melalui saluran air. Namun, dengan sentuhan kreatif, tanaman apung yang satu ini bisa dijadikan kerajinan yang cukup potensial dan bisa menembus pasar ekspor.
Selama ini eceng gondok (Eichhorniae Crassipes) dikenal sebagai gulma air yang tidak berguna. Tapi sepertinya tidak bila dikreasi dengan kreatif, eceng gondok ternyata bisa memberikan nilai tambah.
Bisnis dan penyelamatan lingkungan jelas kegiatan yang berbeda. Namun bukan berarti keduanya tak bisa berjalan seiring. Contohnya, bisnis limbah eceng gondok yang ditekuni oleh pasangan suami istri Supardi dan Wiwit Manfaati, kini telah dilirik oleh warga asing.
Ketika Bhirawa menemui pencetus industri kreatif dari limbah yang beralamat di Kebraon Permai C-46 Surabaya tampak bocah sedang mengerjakan kerajinan tangan dari bahan eceng gondok. Di pelataran rumah pasutri ini terlihat tumpukan limbah eceng gondok dan pelepah pisang yang mengering.
Aris Aditya (15), bocah asal Kediri ini sangat tekun belajar membuat handycraft. Aris yang sempat berada di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih akibat terjaring razia oleh petugas trantib lantaran mengamen telah diperbantukan di usaha milik Supardi dan Wiwit.
” Saya di Liponsos sudah setahunan, dan barusan diajak ke sini (rumah Supardi) untuk belajar membuat aneka kerajinan dari eceng gondok dan pelepah pisang,” ujar Aris Aditya yang telah ditinggalkan kedua orangtuanya ini sejak kecil.
Aris yang kesehariannya mengamen di Terminal Purabaya dengan berbekal gitar kecil (ukulele) kini telah pandai membuat aneka macam kerajinan. Mulai tempat tisu, kotak pensil, hingga souvenir untuk pernikahan yang dilengkapi dengan lampu.
” Saya ingin buktikan kepada orangtua saya bahwa saya bisa sukses di sini (Surabaya). Setelah itu, ilmu yang sudah diberikan sama Pak Pardi dan Bu Wiwit akan saya bawa ke tempat kelahiranku (Kediri). Saya ingin merintis usaha sendiri,” kata Aris dengan penuh optimistis.
Tak hanya itu, bocah yang tidak tahu keberadaan orangtuanya ini juga akan mengikuti kejar Paket C agar bisa merasakan bangku sekolahan. ” Saya pingin sekolah, saya pingin seperti teman-teman di kampung saya yang setiap harinya berangkat sekolah,” inginnya dengan penuh harapan.
Sementara itu, Supardi dan Wiwit mendulang rupiah lewat produk-produk yang dihasilkan dari mengolah limbah eceng gondok dan pelepah pisang. Sukses bisnis yang dikerjakan pasutri beranak tiga ini tak membuat mereka besar kepala. Bahkan, dia sempat mendapat penghargaan Pahlawan Ekonomi Surabaya kategori Handycraft dari Wali Kota Surabaya Padahal dulu saat awal merintisnya dia sempat dipandang sebelah mata oleh tetangganya. “Saya sempat dinilai aneh oleh tetangga. Maklum setiap hari saya bawa sampah di rumah. Gimana nggak sampah kalau saya tiap hari mengumpulkan eceng gondok dan pelepah pisang kering, ” katanya sembari tersenyum.
Terkait Aris yang telah diambilnya dari Liponsos Keputih, Supardi berjanji akan terus mengajarkannya untuk membuat berbagai kerajinan dari limbah. Dia berkeinginan bocah tersebut nantinya bisa tumbuh dan berkembang di Kota Kediri. ” Saya ingin Aris Aditya ini sukses dalam segi keterampilan, karena itu saya akan didik sampai dia bisa menciptakan ide-idenya sendiri. Dan saya selalu ingatkan dia untuk tak meremehkan limbah-limbah yang ada di sekitar kita. Karena barang tak bermanfaat itu dengan sentuhan kreativitas bisa menjadi produk mahal,” kata Supardi yang juga Ketua UMKM di Kebraon ini.
Untuk menghadapi Pasar Bebas, Supardi mengaku terus berinovasi agar tidak ketinggalan kualitas dengan produk kerajinan sejenis dari negara-negara lainnya. Karena itu pria kelahiran Jombang ini terus update dan tiap bulannya ada inovasi produk baru. Saat ini yang sudah   dihasilkan antara lain, tempat tisu, kotak pensil, tas, topi, meja, sekat ruangan, taplak meja, tikar, tempat buah, hingga sepatu. Semua barang ini bahan dasarnya eceng gondok dan pelepah pisang.
” Apalagi saat Desember 2015 besok menyambut MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), kita harus bangga sama produk-produk dalam negeri. Kita harus pakai produk sendiri, ini kunci agar kita berdaulat. Kalau nasionalisme sudah mendarah daging, itu menjadi senjata yang paling ampuh untuk menghadapi MEA 2015,” ujar Supardi yang juga memberikan pelatihan di Liponsos Keputih.
Untuk menghadapi MEA, Supardi menambahkan dia juga menjaga kualitas dan kuantitas produk. Dia mengakui kualitas produk yang dihasilkan masih kalah dengan luar negeri. Karena itu inovasi-inovasi untuk menciptakan produk agar lebih baik menjadi tuntutan. “Untuk menciptakan inovasi itu butuh proses. Misalnya untuk membuat suatu karya pertama kali jelek itu wajar, dan kalau sudah membuat kedua kalinya harus lebih baik dari yang pertama. Hal itulah yang membuat kami terus berinovasi,” ujarnya.
Beberapa hari yang lalu, Supardi mengaku dapat pesanan bakiak berjumlah ribuan yang dikreasikan dengan eceng gondok dari warga Brasil. ” Dari situ menjadi indikasi Indonesia telah siap menghadapi MEA 2015 mendatang, produk kerajinan lokal mulai dilirik negara lain,” imbuh Supardi yang pernah berjualan bunga ini. [geh]

Tags: