Seniman ‘Sambat’ Tak Dibina Pemkab Sidoarjo

Kader-kader seniman muda, terus dikembangkan Singo Menggolo agar kesenian tradisional tidak punah. [achmad suprayogi\bhirawa]

Kader-kader seniman muda, terus dikembangkan Singo Menggolo agar kesenian tradisional tidak punah. [achmad suprayogi\bhirawa]

Sidoarjo, Bhirawa
Seniman di wilayah Sidoarjo mengeluh, karena selama ini belum pernah sekalipun mendapat perhatian maupun pembinaan dari Pemkab Sidoarjo. Khususnya dinas yang menaunginya, yakni Disporabudpar (Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata) Sidoarjo.
Kondisi ini dialami Paguyuban Reog Ponorogo di Sidoarjo, dari 10 paguyuban yang ada, kini hanya tinggal tiga paguyuban yang masih eksis. Ketua Paguyuban Reog Ponorogo di Sidoarjo AKB Syamsul Hadi, Selasa(29/12) mengeluhkan karena para seniman, khususnya reog tidak pernah mendapat pembinaan dari pemerintah daerah. Kami berjuang sendiri, mengelola sendiri hingga membangun generasi penerus juga sendiri.
Apalagi dalam kondisi jaman yang sudah modern ini, memang sangat sulit untuk mengajak masyarakat bergabung dalam kesenian tradisional. Berbagai upaya dan inovasi dan kreasi terus kami lakukan, sehingga jumlah anggota kami yang tergabung dalam reognya, ‘Singo Menggolo’ ada sekitar 50 personil. ”Padahal waktu mendirikan tahun 2.000 lalu hanya lima orang, itupun mencari-cari orang dari teman luar kota yang masih peduli terhadap reog,” kenang Syamsul Hadi.
Saya berharap kepada Pemkab Sidoarjo, Provinsi Jatim ataupun pemerintah pusat hendaknya juga peduli terhadap kesenian tradisional, agar mereka tak punah. Caranya, setiap ada kegaiatan, kesenian tradisional itu juga harus ditampilkan. Jangan yang modern-modern saja, karena kesenian tradional ini juga mempunyai sejarah peradaban bangsa.
Jika banyak yang ‘nanggap’ otomatis pemerintah juga membantu ekonomi para pemain reog ini. Karena saya telah mengajak  mereka untuk bergabung kesenian, utamanya anak-anak pengangguran dan putus sekolah. ”Agar mereka tidak bertambah nakal lagi, akhirnya kami ajak untuk bergabung,” ujar Syamsul Hadi yang juga sebagai Humas Polres Sidoarjo.
Syamsul membandingkan dengan Surabaya, pemerintahnya sangat memperhatikan sekali. Para seniman, seperti reog dan kesenian campusari setiap minggu secara bergantian diberikan kesempatan untuk ‘tampil’ di Balai Pemuda Surabaya. Sehingga mereka sangat berkembang, tidak vakum, para seniman pun sangat merasa senang, tampil dengan penuh kreasi.
Beberapa waktu lalu, kelompok roeg yang dipimpin Syamsul pernah mendapat kesempatan main dua kali di Surabaya. Pada Bulan Mei 2015 lalu juga dapat kesempatan untuk main lagi. Tetapi Pemkot Surabaya memberikan kesempatan ‘manggung’ kepada seniman-seniman yang asli warga Surabaya, dengan menunjukkan tanda bukti KTP Surabaya pula. Karena saya warga Sidoarjo, lebih baik saya mengundurkan diri. ”Saya lebih senang mengembangkan kesenian di wilayah Sidoarjo sendiri,” tegas Syamsul Hadi yang juga mempunyai kelompok kesenian Campursari ‘Manggolo Budoyo’.
Saking cintainya kepada Sidoarjo, Syamsul berharap Pemkab Sidoarjo merasa peduli dengan kesenian-kesenian tradisonal yang ada. Waktu gelar pameran budaya akhir tahun kemarin juga menampilkan reog dari Surabaya. Mengapa seperti itu, padahal di Sidoarjo sendiri juga ada. Jadi saya sangat kasihan dengan teman-teman seniman Sidoarjo. ”Dari 10 kelompok reog, sekarang hanya tinggal tiga. Itupun jarang sekali yang ‘nanggap,’ artinya tidak ada yang peduli sama sekali, termasuk pemerintahnya,” keluh Syamsul. [ach]

Tags: