Sensor Mandiri Menjadikan Film Lebih Berarti

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Staf pengajar di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Sunan Giri (Unsuri), Surabaya.

Setiap liburan sekolah, kami menyempatkan diri mengajak anak-anak nonton film bioskop sambil sesekali makan malam atau sekadar jalan-jalan di mall ramai-ramai. Bukan hanya film nasional saja yang kami tonton, beberapa film impor yang khusus anak-anak pun menjadi menu menarik mengisi liburan sekolah.
Dari sekian kali menonton film anak-anak, ada beberapa film nasional yang memberi kesan dan perubahan bagi anak-anak, terutama anak terkecil kami Almira Arsya Izzaty (5) yang saat ini masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK). Ketika usai menonton film 3 Srikandi, misalnya, Almira mulai mengerti dan senang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dari film 3 Srikandi pula Almira mengerti pentingnya menjadi orang yang membanggakan bangsa dan negara. Film 3 Srikandi adalah film nasional yang mengisahkan perjuangan tiga srikandi atlet panah Indonesia Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies (Chelsea Islan), dan Kusuma (Tara Basro)  dalam ajang Olimpiade Musim panas ke-24 di Seoul, Korea Selatan 1988. Saat saat pertandingan yang menegangkan dan begitu heroik itulah yang membuat Almira begitu terkesan. Betapa pekikan dan teriakan Indonesia -Indonesia dan nyanyian Indonesia Raya bisa memompa semangat para Srikandi dalam film tersebut.
Sementara perubahan sikap lain juga ditunjukkan Almira seusai menonton film Kartini yang diputar bulan April 2017 yang lalu. Perubahan itu adalah kalau dulu setiap ditanya cita-cita, Almira akan menjawab ingin menjadi dokter atau polisi. Namun usai nonton film Kartini, ketika Almira ditanya cita-citanya maka dia akan menjawab ingin menjadi Kartini. Film yang penyutradaraannya telah dipercayakan pada Hanung Bramantyo cukup mampu menunjukkan sosok Kartini sebagai  pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Wanita keturunan ningrat yang berjuang membela kaumnya, memperjuangkan hak-hak kaumnya. Dan terbukti, gambaran sosok Kartini dalam film tersebut begitu berkesan dan menginspirasi sehingga Almira begitu ingin menjadi Kartini.
Sensor Mandiri Sejak Dini
Bagi kami orangtua tentu ikut senang dengan perubahan sikap Almira tersebut. Bukan persoalan karena kami ingin dia menjadi Kartini, tetapi lebih karena jawaban itu mencerminkan betapa film sesungguhnya kalau dibuat dan ditonton sesuai usianya akan memberikan dampak dan pengaruh yang sungguh signifikan. Dalam bahasa lain, kalau ada sensor mandiri, yakni film ditonton oleh usia yang tepat maka akan membuat film itu menjadi lebih berarti.
Menjadi Kartini, atau menjadi dokter, polisi atau profesi apapun bagi kita para orangtua tentu sama mulianya. Dan kita juga percaya bahwa cita-cita yang disampaikan anak seumuran Almira bukanlah harga mati karena seiring dengan perkembangan usianya nanti tentu akan mengalami perubahan. Bayangkan, kalau seandainya anak-anak seusia Almira di negeri ini berkesempatan menonton film Kartini, atau film-film lain yang mengajarkan tentang nasionalisme, kepahlawanan atau keberagaman tentu dampaknya akan luar biasa. Anak-anak sejak dini mulai akan menemukan sosok idola yang bukan saja nyata, tetapi juga pernah ada di negeri ini.
Namun demikian, anak tentu tidak bisa berdiri sendiri, lingkungan orangtua dan sekolah tentu akan sangat menentukan jenis tontonan apa yang akan berdampak baik bagi anak-anak kita. Lantaran itu, edukasi kepada orangtua tentang perannya dalam mendampingi anak-anak memilih jenis hiburan dan tontonan yang tepat untuk anak anak menjadi relevan untuk dilakukan. Termasuk di dalamnya tentu panduan orangtua agar anak-anak bisa memilih jenis film yang baik untuk mereka. Pada tahap berikutnya, panduan para orangtua ini juga diharapkan akan mendorong anak-anak sejak dini bisa mencintai film nasional.
Untuk menciptakan masyarakat yang mencintai film nasional perlu  dibangun sejak dini. Anak-anak harus dibiasakan melakukan sensor mandiri terhadap film-film yang beredar. Mereka harus diberi ruang apresiasi terhadap karya anak bangsa. Para siswa bisa  diajak  untuk nonton film nasional bersama-sama.  Setelah itu mereka  membahas  film yang ditontonnya bersama  serta meminta kesan dari isi filmnya. Siswa mesti diberi kesempatan  mengekspresikan ulang film  yang  ditontonnya. Para seniman dan budayawan perlu juga diundang untuk masuk ke sekolah. Mereka  memberikan inspirasi dan motivasi kepada para siswa tentang bagaimana  film itu dibuat dan untuk kepentingan apa. Diharapkan muncul generasi baru yang akan mencintai  film nasional.
Film sebagai Media Pendidikan Karakter
Para sineas kita sesungguhnya memiliki kemampuan luar biasa dalam memproduksi film-film yang berkualitas khususnya bagi anak-anak. Kita pernah punya film anak-anak yang begitu fenomenal seperti Petualangan Sherina yang begitu menginspirasi, ada juga film Laskar Pelangi yang mampu mengirim pesan bagi anak-anak kita. Belum lagi film-film kesejarahan dan kepahlanwan seperti Sang Pencerah, Kartini, Soe Hok Gie dan sebagainya. Film-film tersebut tentu membawa pesan yang akan sangat berharga kalau sampai kepada anak-anak kita. Hanya sayangnya, film-film itu masih sebatas menjadi film hiburan yang hanya dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi bisa melihatnya. Sementara bagi anak-anak yang kurang beruntung secara ekonomi tentu akan sangat sulit bisa mengakses film-film anak tersebut.
Kita masih ingat betul pada jaman orde baru, film menjadi sarana dan alat bagi pemerintah untuk menanamkan nilai nilai kepahlawan. Kita masih ingat betul, betapa masifnya mobilisasi siswa sekolah untuk menonton film-film seperti Cuk Nyak Din, Robert Wolter Monginsidi dan film-film kepahlawanan lainnya. Pemerintah melalui sekolah beramai-ramai mengajak siswanya untuk menonton film tersebut.
Bahwa apa yang dilakukan di masa lalu tentu tidak keliru kalau kita kembangkan lagi dengan memperluas cakupan dan jenis film yang layak ditonton untuk anak-anak. Banyak film-film karya sineas-sineas kita yang telah diproduksi dan mendapat pengakuan di dunia internasional. Bukan saja film soal kepahlawan, tetapi juga film yang memberi  inspirasi tentang pendidikan, kemanusiaan maupun tentang keberagaman dan toleransi. Tentu film-film tersebut akan menjadi lebih bermakna lagi kalau mampu dilihat oleh semua anak-anak Indonesia.
Dalam konteks inilah, pemerintah melalui kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ikut memfasilitasi agar semua anak-anak sekolah kita bisa menyaksikan film-film yang dinilai bisa memberikan pesan dan menanamkan karakter positif kepada anak-anak. Hanya menyandarkan kepada kesadaran masyarakat untuk menonton jelas tidak mungkin, karena secara faktual tidak semua anak-anak memiliki kemampuan ekonomi untuk bisa melihat hiburan film. Inilah sesungguhnya salah satu media penanaman karakter anak yang belum dimanfaatkan secara sungguh-sungguh.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

——— *** ———

Tags: